Personal Blog

Ini Ceritaku Tentang Malaysia dan Negeri Para Bedebahku

(Kutuliskan ceritaku ini dengan kemaluan kembang-kempis menahan marah)

Tanggal 22-24 Oktober 2011 aku terbang ke Kuala Lumpur. Cukup 2,5 jam sudah mendarat di sana. Bandaranya? Ah, masih lebih megah Bandara Sutta Cengkarengku. Sampai di sini, aku bangga dengan negeriku.

Tapi rasa bangga mulai luruh saat bus yang bertuliskan “Bas Persiaran” ini mulai melaju. Semua jalan raya di sini berwujud tol! Benar-benar tol yang setara dengan tol kebanggaan negeriku di Jakarta itu. Semuanya! Bahkan hingga bus melaju sekian jam lamanya menuju Ginting Highland, semuanya tetap tol. Busyeeetttt! pekikku.

Dan, di sepanjang tol super panjang ini, di kanan kiri, hutan-hutan buatan begitu rindang, hijau, teduh, nyaman dipandang.

Semua pengendara melaju di jalurnya masing-masing. Bus harus melaju di jalur kiri, dan jalur selebihnya hanya boleh dipakai oleh mobil-mobil pribadi atau untuk menyalip saja.

Dan yang lebih menakjubkan, nggak ada sopir yang membunyikan klakson sedikit pun!

Kata Pak John, pemanduku, “Di sini klakson hanya dipakai bila ada pengendara lain yang sangat membahayakan posisi kita. Kalau di luar itu kok membunyikan klakson, itu berarti kita tidak berakhlak…”

Busyeetttttt lagiii!!!

Saat melintasi kota Bukit Bintang, tampak keramaian mulai terjadi. Tapi, tetap saja nggak kudengar pekik klakson. Juga saling sikat meliut kanan-kiri khas di negeri ini. Semua berjalan di jalurnya dengan sabar dan tertib. Sopirku pun tak sepatah pun melontarkan makian serapah. Dan, yang kembali menyentakku, semua kendaraan selalu memberikan jalan pada para pejalan kaki yang melintas. Semuanya!

Buseyeetttt bangeett kan!

Bus terus melaju hingga malam menerpa di ketinggian Ginting Highland. Kami dipandu menuju sebuah stasiun kereta gantung. Konon, jika naik ke Ginting Highland dengan menggunakan bus bisa memakan waktu 3 jam, tapi dengan kereta gantung ini hanya perlu waktu sekitar 15 menit.

Pak John mengingatkan bahwa koper yang melebihi kapasitas tidak boleh dibawa naik sendiri, tetapi harus menggunakan truk khusus. Tentu ini demi keselamatan semua penumpang kereta gantung yang berkapasitas maksimal 8 orang ini.

Dan, saat memasuki peron, dua teman kami tidak diperbolehkan membawa kopernya karena melebihi kapasitas. Dan ini benar-benar nggak bisa dinego! Tidak bisa! Nggak ada suap, sogok, kasak-kusuk bawah meja khas negeriku.

Busyeetttt banget nggak tuh!

Mulanya, aku agak cemas saat menaiki kereta gantung yang melaju di atas jurang dan lembah tinggi ini. Tapi, demi mengingat betapa seriusnya petugas Malaysia menjamin keselamatan penumpangnya, rasa cemas pun luruh.

Memasuki hotel raksasa di Ginting Highland ini, serasa aku masuk ke sebuah negeri yang tak pernah ada di dunia nyata. Dengan lokasi terasing sendiri, jauh dari jangkauan kota, tapi pengunjungnya amat sangat ramai. Parkiran mobil yang berlantai-lantai itu penuh semua. Teramat sangat banyak orang asing datang ke sini. Tumplek-blek. Tapi tidak ada kekacauan, padahal polisi atau satpam juga sangat sedikit.

Semua berjalan dengan damai dan tertib. Bener-bener surga bagi semua pelancong.

Keesokan harinya, kami pun menuju Sepang. Saat memasuki sirkuit ini, benar-benar amazing. Gagah, raksasa, menakjubkan. Dan, lagi-lagi sangat sulit kutemukan polisi atau satpam yang bertugas menjaga keamanan di sini. Yah, lantaran tanpa dijaga pun, ternyata kesadaran publik Malaysia sudah begitu besar.

Usai race, kamu menuju kota Bukit Bintang, bermalam di sana. Habis mandi, aku keluar hotel melihat suasana kota.

Ah, kota Bukit Bintang yang disebut-sebut sebagai jantung Kuala Lumpur ini ternyata sangat biasa saja. Gebyarnya kalah jauh dibanding Senayan City. Kayaknya nggak jauh beda dibanding sekelumit Malioboro Jogja. Ya, kecil sekali kotanya. Ah, di sini, aku kembali bangga dengan negeriku.

Bro/Sist, sebenarnya Malaysia nggak ada apa-apanya dibanding negeri ini bila ditilik dari segi aset alam dan SDM.

Malaysia hanya punya sedikit minyak. Malaysia hanya punya sekelumit keelokan alam. Bandingkan dengan negeri ini yang punya banyak tambang minyak, kekayaan alam lainnya, keragaman tujuan wisata yang sudah dieksplor atau belum. Sekadar gambaran kecil, tujuan wisata Malaysia nggak ada secuilnya dibanding Bali. Ya, cukup satu Bali saja! Bablas tuh Malaysia!

Kekayaan alam Malaysia dibanding Freeport saja langsung tiarap. Ya, satu Freeport saja.

Tapi kenapa negeriku ini, yang kaya raya ini, yang jubelan SDM-nya selalu siap menjadi tenaga kerja potensial untuk membangun semua bidang kehidupan ini, kok kayak rempeyek di hadapan Malaysia?!

Busyeettt bangeteeeee ngettt!

Ingat benar aku kata-kata Pak John, bahwa Malaysia mulai mengalami kemajuan sejak dipimpin Mahathir Muhammad. Ya, di zamannya, semua sektor ekonomi digalakkan, termasuk pembangunan Sepang itu. Begitu pula Ginting Highland yang memiliki jumlah kamar sampai 7.000 dan selalu penuh di saat weekend!

Hukum ditegakkan dengan keras. Bahkan, seorang sopir yang terbukti bersalah dalam sebuah kecelakaan, akan dihukum penjara 12 tahun dan dicabut SIM-nya selamanya!

Mereka yang terbukti memperkosa akan dihukum puluhan tahun penjara plus dirotan 25 kali, yang sekali dirotan itu sakitnya nggak akan hilang sampai berbulan-bulan!

Tapi di sini, di negeri kaya gemah ripah loh bajingan ini?

Hukum hanya sebuah bahasan untuk menghabiskan anggaran. Ketika disahkan, prakteknya sangat bisa ditawar. Mulai dari lingkaran pusat hingga RT, segala urusan bisa diatur asal ada pelicinnya. Uang menjadi panglima! Yang kaya, yang kuat jaringan, begitu steril dari hukum.

Kalau di Malaysia, pengusaha yang ngemplang pajak akan disita asetnya sampai miskin semiskin-miskinnya, di sini mah para pengusaha bukan hanya nggak bayar pajak, tapi ngakali pajak, dengan berbagai trik dan sogokan, sehingga negara justru harus membayar “kelebihan pajak” kepada pengemplang pajak. Bukannya nyetor, malah dikasih duit.

Bohong besar kalau kita nggak kuat membangun sirkuit segagah Sepang, resort area seelok Ginting Highland, atau pun tol selebar dan sepanjang tol-tol di Malaysia. Kita bukannya nggak punya uang, tapi uang-uang kita dimakan habis-habisan oleh segelintir elit negeri ini, dari pejabat, politikus, pengusaha, hingga para bedebah siluman itu.

Uang-uang pajak negeri ini selalu keteteran untuk menyumpal mulut-mulut busuk para brengsek itu. Sungguh, mulut-mulut itu takkan pernah mencapai puncak kenyangnya sebelum disumpal dengan batu, pasir, semen, dan digantung lehernya, disita aset-asetnya sampai miskin.

Kalau negeri ini mau maju, mengejar ketertinggalan di hadapan Malaysia, nggak ada cara lain kecuali dengan melakukan pembantaian besar-besaran, struktural, terhadap para bedebah itu.

Dalam situasi demikian, rakyat menjadi sangat selalu kekurangan. Segala sesuatu untuk sekadar kebutuhan hidup normal mereka harus dimuluskan dengan duit. Nggak ada duit, KTP macet. Urusan sertifikat tanah nggak lancar. Ngurus IMB pun ruwet. Apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang melanggar hukum.

Ingatkah Anda pada teori bunuh diri (suicide) ala Emile Durkheim? Ia menyatakan bahwa fenomena bunuh diri sebenarnya merupakan aksi protes sosial atas keterdesakan pelakunya di hadapan kuasa struktur elit sosial.

Mengikuti teori sosial ini, sejatinya segala bentuk kekerasan sosial di sekitar kita, mulai sikut-menyikut di jalanan, klakson memekik-mekik, hingga pemerkosaan mikrolet, pesta seks dan miras kaum pelajar, tawuran, dan sebagainya, merupakan aksi protes kelompok minor sosial atas kekejian struktur elit sosial itu.

Dan untuk mengubah kekejian struktur elit sosial itu, kita membutuhkan pemimpin berkarakter tegas macam Mahathir Muhammad. Yang isi kepalanya selalu tentang bagaimana membangun negeri ini, dengan resiko-resiko benturan politik sekalipun.

Sosok ini yang sepi di negeri ini.

Yang ada hanya sosok pesolek, mirip Ayu Ting Ting, yang begitu sibuk dengan urusan jerawat di dahinya, sehingga lupa bahwa di sekitarnya terdapat jutaan mulut yang lapar akibat ulahnya.

Persetan politik, persetan sistem parlementer, persetan segala kalimat manis dari mulut partai-partai politik yang sangat Marxis itu, yang selalu saja bermuka penuh munafik demi memuaskan libido serakahnya atas kekayaan.

Sungguh, demi Tuhan, aku dan jutaan orang di negeri bedebah ini telah amat sangat capek dengan semua ilusi kecantikan para pesolek itu. Aku nggak peduli siapa presidennya, menterinya, pimpinan partainya, kiainya, karena yang kubutuhkan kini hanyalah figur macam Mahathir!

Malu benar aku jadi rakyat negeri ini, malu banget aku mengaku sebagai orang Indonesia yang kekayaan alam dan SDM-nya melimpah ruah tapi rakytanya hidup dalam kere merana lantaran diurus oleh kaum borjuis yang piawai dandan mulu!

Aku nggak butuh dandananmu, wangi parfummu, senyum palsumu, tapi action-mu. Aku butuh Mahathir, bukan kamu!

Titik!

Jogja, 31 Oktober 2011
1 Komentar untuk "Ini Ceritaku Tentang Malaysia dan Negeri Para Bedebahku"

lo mendarat di LCCT, bandara biaya rendah. lo gak landing di KLIA. skrg LCCT dah pindah ke KLIA2. lo punyer cengkerang tiada nilai.

Back To Top