Personal Blog

Ukuran Celana

“Berapa ukuran celanamu…?”

“27… Kamu?”

“34 nyaris 35…”

“Besarnya!! Kok masih pake kata nyaris sih?”

“Sebab kadang 34 muat kadang nyesek….”

“Sejak kapan pake ukuran itu?”

“Beberapa bulan lalu, sebelumnya sih hanya 32, lalu jadi 33, entah tiga bulan lagi udah kudu pake ukuran berapa…”

“Iya, aku juga, dulu aku pake ukuran 30, lalu jadi 28, lalu sekarang jadi yang ukuran 27, itu pun udah rada longgar…”

Obrolan tentang ukuran celana itu memang akan senantiasa bergerak terus-menerus tanpa ada habisnya, entah itu yang “membesar” atau “mengecil” ukurannya. Mau besar atau kecil, membesar atau mengecil, tetap saja yang namanya celana dikenakan dengan tujuan untuk menutup kemaluan. Cukupkah segitu? Nggaklah. Selain sifat fungsionalnya itu, celana juga mengusung “nilai kepatutan” dan “nilai keelokan”.

Boleh jadi seorang lelaki mengenakan celana yang pas ukurannya sehingga berhasil menjalankan fungsi menutup auratnya, tapi bila celana itu pake kembang-kembang plus brokat gitu, apakah itu patut untuknya? Atau, boleh saja ada seorang cewek pakai celana dengan ukuran yang pas, sehingga fungsi celana itu tercapai, tapi ternyata kok ada bolongan besar di bagian pantatnya, apakah itu elok?

Hooo..hooo…ternyata mengurusi celana saja sungguh bukan sekadar soal ukuran ya, tapi juga kepatutan dan keelokan.

Jika dua poin ini sudah turut merasuki, maka suka nggak suka, kita kudu mengindahkan standar nilai “sosial” dan “agama”.

Anda bisa saja kan pakai celana pendek super cekak sampe begitu metetnya memperlihatkan pangkal batang pahamu saat Anda sedang berlibur di Kuta. Secara sosial, it’s oke. No problem. Tapi coba Anda pakai itu di jalanan Jogja, busyeeetttt dah! Anda memang tak akan ditilang polisi karenanya, tapi siap-siap saja ribuan mata setajam silet menyobe-nyobek pangkal paha Anda.

Belum lagi jika dengan celana begitu Anda masuk ke gang-gang kampung, udah malam lagi. Bisa kebayang bagaimana situasi yang akan Anda hadapi. Jika mendapatkan suaat-suitt, masih mendinglah. Atau, dikasak-kusuki sebagai wanita murahan bin pelacur, masih lumayanlah. Tapi gimana kalau lantas tiba-tiba badan Anda terseret ke pematang sawah, dibanting-banting di atas tanah, dan tahu-tahu Anda telah belepotan cap bibir, mulut, dan tongkat alias diperkosa?! Alamakkk….

Inilah ilustrasi tentang betapa pentingnya mengindahkan standar nilai sosial di mana Anda berada, untuk urusan pakai celana sekalipun.

Gimana menurut agama? Emang adakah ayat tentang celana dalam kitab suci?

Aiihhh…ini terlalu merendahkan kesucian kitab sucilah kalau urusan ukuran celana saja kudu dihukumkan dengan ayat. Tetapi bahwa kitab suci sebagai sumber ajaran agama memuat tentang menjaga martabat dan harga diri, itu jelas tersedia. Dan di sinilah letak ukuran celana itu bisa disimak.

Jika mengenakan celana itu memiliki tujuan dasar untuk menutup kemaluan, tentu patut dicermati mengapa kemaluan harus ditutupi kan. Yupz, nggak lain nggak bukan, demi terpeliharanya harga diri dan mertabat itu. Ini jelas mengandung konsekuensi makna logis bahwa jika Anda tidak mengindahkan asas terpeliharanya harga diri dan martabat dalam bercelana, sama halnya Anda sejatinya tidak mengenakan celana itu sendiri. Resikonya tidak bercelana? Tercerabutnya harga diri dan martabat Anda sebagai manusia. Bentuknya macam-macamlah, mulai dari pelecehan (lisan atau jawilan) hingga persetubuhan (atas dasar suka atau tidak).

Dan kegagalan memelihara harga diri dan martabat itulah yang oleh agama dinyatakan sebagai “dosa”.

Sampai di sini, menjadi terang buat kita semua bahwa sungguh hidup ini bukan soal “aku suka atau tidak suka” (like or dislike) belaka. Hidup ini adalah selalu tentang harmoni dalam kebersamaan, bukan kesendirian.

Jika kamu hidup di hutan, sendirian, silakan kamu mengenakan celana ukuran besar atau kecil, yang paling kamu sukai, entah itu tidak patut dan tidak elok. Tidak pakai celana pun nggak masalah. Paling-paling kamu beresiko masuk angin atau mengkeret kayak ulat kadut kelaparan.

Tapi lantaran kita hidup di antara orang lain, yang selalu saja tersemat “ukuran-ukuran” atas segala hal, yang ukuran-ukuran itu bukan semata bermakna fungsional, tetapi juga ikatan sosial dan agama, demi terjaminnya harmoni bersama itu, termasuk dalam hal mengenakan celana, maka sungguh tidaklah logis kita berbuat atas dasar “aku suka atau tidak suka” saja. Apa-apa yang “aku suka” belum tentu lantas “mereka suka”. Apa-apa yang “aku tak suka” belum tentu “mereka tak suka”.

Bila kita gagal menjadi bagian dari harmoni kebersamaan itu, maka tunggu saja risiko-risiko buruk yang akan menghempaskan kita ke tepian kehidupan. Sebuah kondisi yang kita semua selaku individu sangat tidak pernah menginginkannya.

Kalau begitu, apakah ini berarti bahwa kita harus sudi “mengorbankan diri” untuk mencapai harmoni kebersamaan itu?

Hemm…selalu saja ada “ongkos sosial” yang kudu kita bayarkan dalam hidup ini. Bila Anda pelit untuk membayar “ongkos sosial” itu, siap-siaplah untuk menerima “denda sosial” itu.

Soal berapa besar ongkos sosial itu, tentu sangat bergantung pada standar nilai sosial yang melingkari kehidupanmu. Anda yang hidup di kampung yang ketat dalam hal norma pacaran, misalnya, jelas harus membayar lebih mahal dibanding mereka yang hidup di pusat kota yang lebih longgar norma pacarannya.

Sampai di sini, sejatinya cukup mudah buat kita semua untuk memadukan “aku suka dan tidak suka” dengan “mereka suka dan tidak suka” itu, yang keberhasilan pemaduan ini akan menghadirkan harmoni buat kita semua (aku dan mereka). Ini hanya soal ukuran kan, dan setiap kita selalu berkubang dalam ukuran kita, karena itu patuhilah ukuran kita itu. Perkara di luar sana ada ukuran-ukuran yang lain dengan ukuran kita, biarkanlah itu menjadi ukuran-ukuran tersendiri yang tidak perlu membuat kita silau dan terkesima untuk mengambil ukuran berbeda itu ke dalam ukuran hidup kita sendiri.

So, cukuplah pakai ukuran celanamu yang sesuai dengan ukuranmu sendiri. Jangan sekali-kali nyoba pakai ukuran celana orang yang tidak pas untuk dipakai di sini, karena niscaya itu hanya akan membuat Anda tidak nyaman sendiri dengan ukuran celana asing itu.

Don’t try this at home! Kecuali kalau Anda adalah tipe orang yang betah dalam ketaknyamanan alias muka tembok, kuping badak, dan hidung pesek!

Jogja, 19 November 2011
0 Komentar untuk "Ukuran Celana"

Back To Top