Personal Blog

CINTA DAN TINJA

Hemm, sori dori mori aja, kalo judulnya aja kerasa rada bau ya. Tapi, percayalah, aku nggak bermaksud merusak selera makanmu, apalagi mengingatkanmu pada torehan tinja yang bercerepetan kala kamu mencret, atau keburu muncrat di celana sebelum orang di dalam toilet yang kamu antri keluar.

Bukan itu poinku.

Coba iungat-ingat, berapa sering mulutmu ngomong cinta? Haiishh, gak perlu marah kusebut mulut, apalagi balas dengan kata, “Mulutmu juga…!!”

Sering banget kan. Siang malam, bangun tidur hingga mau tidur, selalu saja kita (setidaknya ingat) ngomong cinta. Dalam konteks apa pun. Kalau ditanya, apa sih cinta itu? Woww, seabrek deh jawabannya. Yang rambutnya kriting, bisa jawab rada kriting, yang lurus, jawabannya bisa juga rada kriting. Yang chubby bisa jawab dengan banyakkkk sekali, yang kerontang kena busung lapar pun bisa ngomong cinta. Ahh, cinta itu berjubel, gitu kesimpulannya.

Lalu, hemmm…ini yang agak nggak enak nih. Tiap hari pasti kamu juga eksis to dalam hal pertinjaan?

Beol, maksudnya.

Minimal sekalilah, itu yang normal. Kalau lagi rewel dan bawel, bisa berkali-kali. Keceripit juga mungkin to.

Nah, ternyata, oh ternyata, sampai di sini kan setara tuh, ingatan dan kegiatan kita tentang cinta dan tinja itu. Eksis terus setiap hari dalam hidup kita.

Tapi, ingat-ingat lagi, apakah perlakuan kita pada keduanya yang sama-sama menemani hari-harimu itu sama?

Beda jauhhhhh!!!

Kalau asumsi kita jarak langit dan bumi itu jauh, ternyata ada yang lebih jauh lagi lho, yakni jarak antara aku dan kamu saat kita terpisah. Haiishhh, preeetttt…preetttt… Nah kan, di satu sisi ngomong dengan kesan cinta yang dalammmmmm banget, tapi di sisi lain, sontak, langsung mencret.

Hahhh…apakah ini pertanda bahwa meski kita memperlakukan cinta dan tinja itu dengan begitu sangat berbeda, tapi sejatinya keduanya itu dekat?

Kalau ditilik dari cara perlakuan kita terhadap cinta dan tinja, emang jauh sekali. Mana ada orang yang doyan ngebahas tinja, kecuali dalam keadaaan error (ya kayak aku pas lagi nulis nih, errooorrrr….). Juga mana ada warung yang menyediakan nama menu “Pecek Tinja”, misalnya. Kagak ada. Mengapa? Karena tinja kita posisikan sebagai kotoran, sampah, bau, tidak menarik, semempesona apa pun cara tinja itu menyodorkan tampangnya pada kita. Kita selalu memalingkan muka pada apa yang kita nyatakan sebagai sampah!

Sebaliknya, cinta, kita letakkan sebagai bunga, yang wangi, indah, menarik, penuh passion dan chemistry. Berbeda sekali dengan tinja yang sampah, yang kita letakkan sedemikian rendahnya (sepitank itu kan digali ya, begitu rendah dibanding permukaan bumi aja), cinta kita taruh di tempat tinggi dalam hidup kita. Itulah sebabnya nggak pernah ada orang yang bilang cinta pada kekasihnya sambil menunggingkan pantatnya ke wajah pasangannya. Selalu saja dengan muka yang ceria, menghadap sahdu, kalaupun tampangnya emang nggak sahdu, setidaknya ya dibikin sok sahdulah, ya itu semata dalam rangka meninggikan tempat cinta. Sebaliknya juga nggak pernah ada orang lagi buang tinja sambil berdiri kan.

Sampai di sini, kelihatan betul bahwa cinta itu dimuliakan dan tinja itu dihinakan.

Tetapi, lanjut nih ya, yang penting untuk selanjutnya kita cermati ialah bahwa kini nih begitu banyak orang yang menggunakan cinta, mengatasnamakan cinta, bukan untuk tujuan tinggi dan mulia itu, tapi sampah dan hina itu. Gombal, palsu, bohong, kampret, ngibul, nipu, kurang ajar, dll., menjadi sederet bukti bahwa cinta bisa berderakat begitu rendahnya layaknya tinja. Dalam istilah lain, mungkin pas disebut sebagai “cinta yang mentinjai” atau “tinja yang mencintai”, hallahhh…yang mana aja terserah deh. Yang pasti, potret cinta yang nggak lagi berkedudukan mulia sejatinya adalah tinja yang dibungkus tinja atau tinja yang dikemas cinta.

Hemm…waspadalah, sebab cinta yang model begini ujungnya akan segera melumatmu menjadi mangsanya, sehingga kamu pun terjerembab jatuh kemudian, puruk, nangis, mewek, sedemikian pilu sakitnya.

Mana ada cinta yang mulia yang mensyaratkan kudu hubungan seksual sebagai buktinya? Ahh, itu cinta yang mentinjai tadi, atau tinja yang mencintai.

Mana ada kekasih yang mulia yang melulu menyukai kelebihan kita dan emoh dengan kekurangan kita padahal kita sepaket utuh? Ahhh, itu cinta palsu berkedok tinja namanya atau tinja asli berkedok cinta palsu.

The most important bagi kita untuk mampu melihat atau merasakan sendiri apakah yang kita hadapi ini cinta atau tinja, sejati atau palsu, cukup dengan menyodorkan pertanyaan begini: “Apakah saat jauh aku merindunya?”

Rindu, kangen, ini nih kata kuncinya.

Apakah kamu merindukan hadirnya tinjamu setelah kamu berpisah darinya? Mestinya tidak. Tapi jika ternyata iya, berarti kamu sedang bermasalah dengan jati dirimu sebagai manusia yang sehat lahir batin, haaaa…

Apakah kamu merindukan hadirnya kekasihmu saat terpisah atau jauh darinya? Mestinya iya. Tapi kalau ternyata tidak, berarti kamu sedang bermasalah dengan jati diri cintamu.

Yuups, saat berpisah, jauh, hadirnya rindu itu adalah pertanda paling dasar bahwa yang kamu rasakan, yang kamu hadapi, adalah cinta. Ketidakhadiran rindu pertanda ketidakhadiran cinta yang tinggi itu. Sebab sifat dasar cinta selalu ingin bersama.

Sebaliknya, saat berpisah dan jauh dari tinjamu, kamu merasa lega, plong, dan tidak akan pernah mengingatnya sama sekali, apalagi merindukannya untuk kembali bersua denganmu. Sebab sifat dasar tinja adalah sampah untuk kamu jauhi.

So, any comments?

Kamulah yang mampu melihatnya sendiri pada pasanganmu atau merasakannya sendiri pada dirimu: “Apakah aku cinta ataukah aku tinja?”

Jogja, 8 Desember 2011
0 Komentar untuk "CINTA DAN TINJA"

Back To Top