Personal Blog

SAKITNYA PERPISAHAN

Perpisahan dua hati selalu menyisakan perih. Luka. Bukan hanya urusan cinta sepasang kekasih, tetapi juga urusan cinta sebagai sahabat dan keluarga.

Betapa senangnya hati kala kita diperjumpakan dengan orang-orang berharga dalam hidup kita. Pacar, teman, kakak, adik, ponakan, dll. Tetapi selalu saja beberapa waktu kemudian kegembiraan itu akan berubah menjadi kesedihan. Jumpa dalam suka, pisah dalam duka. Selalu begitu alur hidup kita semua, dan apa yang bisa lakukan untuk menepis perpisahan itu?

Nggak ada.

Tuhan telah menggariskan bahwa pertemuan selalu diiringi perpisahan, kesenangan selalu disertai kesedihan. Cepat atau lambat, hukum kausalitas itu pasti terjadi.

Rasa, ya, rasa di dalam hati yang sedemikian membuncah untuk menampik perpisahan, menjauhkan kesedihan, takkan pernah mampu membujuk Tuhan untuk tidak menterjadikan perpisahan itu.

Lantas, setelah perpisahan tercipta, terbitlah memori, kenangan, nostalgia, romantika. Inilah satu-satunya diary hidup yang bisa kita rangkai kembali laksana sebuah “reka-ulang sebuah peristiwa”, meski itu hanya berada di alam imajinasi, bukan kenyataan. Karena ia hanya sebuah imajinasi, maka ia tidak konkret, begitu abstrak, begitu rapuh untuk disaput angin dan hilang entah kemana, untuk beberapa jenak kemudian kembali terangkai dalam rongga ingatan kita.

Tak ada seorang kaya pun yang mampu menghindarkan dirinya dari rangkaian-rangkaian ingatan, imajinasi, tentang seseorang yang begitu berharga dalam sejarah hidup kita, yang telah pergi dari kehidupannya, terpisah dengannya, baik yang untuk sementara waktu atau pun yang selamanya karena telah kembali ke haribaan-Nya.

Oh God…

Sungguh pilu hati setiap kita setiap kali ingatan tentang orang-orang tercinta yang telah terpisah itu menyeruak ke alam ingatan ini.

Rasanya, segala kebaikan belumlah tuntas kita persembahkan padanya, agar ia bisa jauh lebih senang dan bahagia dengan diri kita saat bersama dulu. Rasanya, tak ada yang jauh lebih berharga dalam hidup kita kecuali membahagiakannya dengan apa pun dan bagaimana pun yang kita miliki dan berikan.

Tetapi waktu telah menyaput segalanya dalam wupa perpisahan. Tak ada ampun, tak ada toleransi, tak ada empati. Yang ada hanyalah “terjadilah, maka terpisahlah…”

Bila perpisahan yang kita alami hanyalah sementara, yang amat mungkin untuk kembali bersua, seringkali kita berpikir bahwa nanti pun akan bertemu lagi. Ya, nanti dan nanti. Inilah penyebab utama kita semua begitu abai untuk memaksimalkan kesempatan yang masih ada lantaran kuatnya keyakinan menghunjam diri bahwa nanti masih ada waktu.

Padahal, sejatinnya, semua kita nggak pernah sungguh-sungguh tahu apakah benar kita masih akan bisa berjumpa lagi dengannya nanti?

Bukankah amat besar peluangnya untuk kita terlebih dahulu yang menghadap-Nya, atau dia yang meninggalkan kita selamanya? Saat itu benar-benar terjadi, masih bergunakah keyakinan bahwa nanti kita akan kembali bertemu?

Sungguh, kita semua begitu hobi untuk menunda kesempatan bersama dengan orang-orang terkasih, terbaik dalam hidup kita, lantaran kebutaan mata hati kita untuk menempatkan kesempatan sebagai peluang yang langka. Keyakinan bahwa kesempatan berjumpa lagi nanti itulah pembunuh sejati pengabaian kita pada betapa langkanya waktu yang tersedia untuk bersama.

Tahu-tahu, kita tersungkur dalam luka saat perpisahan itu telah benar-benar terbit di depan kita.

Tahu-tahu, kita menyesal setinggi gunung, bahkan menyalahkan kehendak Ilahi, dan menjanjikan sejuta kebaikan untuk dipersembahkan padanya.

Selalu saja semua kita begitu.

Otak kita sadar benar bahwa semua kita sedang berjalan menuju gerbang perpisahan sejati, yang dalam bentangan jalan itu kita punya waktu untuk berjumpa dan berkumpul dan berbahagia dengan orang-orang tercinta, tetapi kita selalu abai untuk mewujudkannya.

Siapa pun yang lebih dulu tiba ke gerbang perpisahan itu, waktu untuk berjumpa takkan pernah kembali ke hadapannya. Tak ada kata mundur untuk siapa pun. Semuanya harus maju melangkah, ke depan, ke gerbang perpisahan itu, bukan menoleh dan kembali ke belakang.

Kita hanya bisa merekam catatan-catatan indah tentang orang-orang terkasih itu, sebelum kita sendirilah yang kemudian direkam dalam helai-helai sejarah oleh orang-orang di belakang kita, yang mencintai kita.

Apakah kita akan terus membiarkan diri kita tenggelam dalam lembar-lembar catatan indah itu saja, padahal saat ini kita masih memiliki kesempatan untuk menikmatinya secara nyata, beneran, dan sedemikian indahnya?

Ahhh…hidup ini sungguh begitu singkat, tetapi kita saja yang berani menganggapnya sangat panjang, sehingga akibatnya kita begitu gampang remeh mengabaikan kesempatan-kesempatan langka yang takkan terulang lagi itu semata mengejar kesemuan-kesemuan materi yang itu pun akan kita tinggalkan.

Bodoh sekali ya kita ini kalau dipikir-dipikir…


Jogja, 30 Desember 2011
0 Komentar untuk "SAKITNYA PERPISAHAN"

Back To Top