Personal Blog

MELACAK AKAR WACANA TEOLOGIS DAN HISTORIS KHILAFAH ISLAMIYYAH




 Dalam wacana teologisnya, genealogi khilafah bisa dilacak mulai terbitnya kitab klasik al-Ahkam al-Sulthaniyyah karangan Abu Hasan Ali al-Mawardi, yang hidup di era Abbasiyah. Al-Mawardi menyatakan bahwa khilafah adalah kepemimpinan politik yang berperan menggantikan Nabi dalam memelihara agama dan mengatur dunia (hiratsah al-din wa siyasah al-dunya). Khilafah merupakan sistem politik yang dirancang oleh Tuhan demi tegaknya pondasi agama (qawa’id al-millah) dan kemaslahatan umat (mashalih al-ummah).
Perlu buru-buru dicatat di sini bahwa al-Mawardi menulis kitab tersebut kala kelompok Buwayhid kian menguat dengan kesuksesannya merebut posisi-posisi strategis amir (gubernur) di sejumlah wilayah Abbasiyah. Al-Mawardi juga merupakan penasihat istana di masa Khalifah Al-Qadir Billah, yang diminta oleh sang Khalifah untuk merumuskan konsep khilafah dalam hukum Islam.
Wacana teologis khilafah ini dikritisi kemudian oleh Imam al-Juwayni, guru Imam Ghazali, yang bergelar Imam Haramain. Al-Juwayni menolak pandangan al-Mawardi bahwa pemimpin (khalifah) harus berasal dari bangsa Arab dan keturunan Quraisy. Al-Juwayni lebih menekankan pada prinsip kifayah (kapasitas) bagi seorang pemimpin, sehingga siapa pun khalifahnya asalkan memiliki kemampuan “memelihara agama dan mengatur dunia”, maka ia sudah Islami dan patut didukung.
Lalu lahir pula kitab al-Siyasah al-Syar’iyyah karangan Ibnu Taimiyah yang sama sekali tidak menekankan kewajiban menegakkan khilafah dalam bentuk formal-legalnya. Kitab ini lebih mengarah pada bentuk khilafah yang substantif.
Menurut Ibnu Taimiyah, tujuan utama pendirian negara ialah penegakan amar makruf nahi munkar, yang secara simbolik mengerucut pada prinsip “keadilan”. Dengan mantap, Ibnu Taimiyah menegaskan: “Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun kafir, dan menghancurkan negara yang zalim meskipun Muslim.”
Gagasan khilafah substantif Ibnu Taimiyah ini  juga diamini oleh Imam Ghazali kala menggagas fiqh politiknya. Dalam kitab Al-Iqtishad fi I’tiqad, al-Ghazali menyatakan bahwa dalam situasi yang tidak mungkin diwujudkan pemimpin yang memenuhi syarat syariah, maka penguasa yang tak sesuai kriteria syariah bisa dianggap absah sepanjang mampu menegakkan tatanan sosial yang adil (dalam bahasa al-Mawardi disebut hiratsah al-din wa siyasah al-dunya dan dalam bahasa Ibnu Taimiyah disebut amar makruf nahi munkar).
Secara historis, sepeninggal Nabi, Abu Bakar yang dinobatkan sebagai penerus Nabi oleh Ahlu al-Halli wa al-Aqdi (sejenis Dewan Sahabat) sama sekali tidak menyebut dirinya sebagai khalifatullah, tetapi semata “pengganti Rasul” (khalifah Rasulillah), di luar tugas kenabiannya. Dalam pidatonya, Abu Bakar berkata, “Taatilah aku selama aku taat pada Allah dan Rasul-Nya. Jangan ikuti aku kala aku melanggar perintah-Nya.” Begitu juga sikap politik Umar bin Khattab, pengganti Abu Bakar. Ia berkata, “Aku lebih tepatnya pengganti Abu Bakar, dan Abu Bakar adalah pengganti Rasulullah.”
Sebutan khalifatullah yang membuhulkan kesan bahwa seorang pemimpin merupakan “Kehendak Allah” baru muncul pasca Khulafaur Rasyidin, dimulai dari sosok Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menyebut dirinya sebagai khalifatullah dan menegakkan sistem pemerintahan monarki. Tampuk kepemimpinan diwariskan turun-temurun oleh Umayyah, yang terus berlanjut sampai dijatuhkannya Dinasti Umayyah melalui perang yang menelan puluhan ribuan nyawa oleh Dinasti Abbasiyah.
Begitulah silsisah historis penyebutan khalifatullah kepada pemimpin khilafah Islamiyyah, yang belakangan diidamkan untuk lahir kembali oleh sebagian kaum muslim di Indonesia. Disadari atau tidak, gerakan ini sejatinya merupakan obsesi romantik untuk menjadikan wajah masa lalu sebagai wajah masa depan; mengangkut langgam lama yang usang ke dunia baru yang sudah jauh berbeda.
Saya kira peran politik umat Islam Indonesia kini justru akan lebih produktif dan konstruktif bila diarahkan sebagai pengontrol kebijakan politik pemerintah demi tegaknya hiratsah al-din wa siyasah al-dunya dan amar makruf nahi munkar dalam setiap periode kepemimpinan negeri ini, timbang terus-menerus bergelut dengan legal-formal khilafah yang tidak ada landasan qath’i-nya itu.
Setuju?
Jogja, 11 Pebruari 2015
0 Komentar untuk "MELACAK AKAR WACANA TEOLOGIS DAN HISTORIS KHILAFAH ISLAMIYYAH"

Back To Top