Personal Blog

KESUNYIAN LAUT DI DALAM BATIN (Jawa Pos, 24 Januari 2016)


Mungkin kini kau paham, bagi para lelaki pemurung sepertiku yang baginya cinta, penderitaan, kebahagiaan, dan kepedihan hanyalah alasan untuk memelihara kesunyian abadi, kehidupan ini tidak menawarkan kebahagiaan ataupun kesedihan yang luar biasa.

Berkali-kali halaman 440 dari novel Namaku Merah karya Orhan Pamuk ini saya baca, berkali-kali itu pula imajinasi saya terlesat bagai anak panah pada sosok Pangeran Gautama. Anda benar, Sidharta Gautama, lah, yang saya maksud, tepat saat ia tertegun menyaksikan tiga jenis penderitaan (tua, sakit, dan mati) di luar tiga istana megahnya (istana musim panas, musim dingin, dan musim hujan), yang ternyata (bisa) mendera manusia. Pengeran Gautama lantas meninggalkan semua “sangkar emas” yang selama ini dikungkungkan ayahandanya agar ia tak pernah melihat penderitaan. Berkelana ke tempat-tempat jauh; pelosok desa, ngarai, sungai, laut, lembah, dan hutan. Untuk melayari “kesunyian laut di dalam batin”: apa arti hidup ini….
Setelah puluhan tahun berkelana, ia disinari “pencerahan” di bawah pohon Bodhi, lalu mengajarkan nasihat kasunyatan Budhisme yang hingga kini diamini oleh jutaan manusia dari berbagai belahan dunia.
Teramat acap memang, dalam grafik yang sama sekali tak lagi sanggup dipermanai, segala apa yang kita definisikan “kehidupan” justru mencerabut inti tujuan kehidupan itu sendiri. Para bijak bestari lantas memilahnya dengan kata-kata ajaib yang dicoba-ramu semanis syair-syair M. Aan Mansyur di buku Melihat Api Bekerja, seperti “Engkau adalah impianmu, maka bermimpilah setinggi-tingginya.”
Tak ada yang silap dengan kata-kata ajaib nan bestari itu. Di jagat modernisme yang sangat bising dan gegas ini, kelindan-kelindan impian, resolusi, dan target hidup telah tertabalkan sebagai “proyeksi masa depan” (dalam bahasa Martin Heidegger), sejenis “pemaknaan atas tujuan hidup”, sehingga Anda akan distempel ganjil bila tak seturut shafnya. Bagaimana mungkin kita mengaliri hari-hari yang mengalir tanpa keinginan? Tetapi, mohon rehat sejenak, jika tidak ke lautan, hendak kemanakah aliran hari-hari penuh keinginan itu dimuarakan?
****
Seorang kawan berbisik bahwa ia telah “membasuh hidup” dengan cara mengendarai motor dari Lombok hingga Titik Nol, Sabang. Ia berkisah tentang nikmatnya kopi Gayo, derita sepanjang hayat para penyeberang akibat pungli petugas-petugas pelabuhan, hingga orang-orang daerah yang murah hati menyuguhinya kamar tidur tanpa pungutan sepeser pun. “Uang dalam hidup beberapa orang bukan lagi uang,” ujarnya dengan mata berkabut.
Saya tertunduk, malu, semoga pula Anda. Ia memungkasi kisahnya dengan sitir yang lebih dalam melukai bebal: “Aku sungguh-sungguh ingin berduka pada diri sendiri, tetapi tak mampu.” Betullah Pamuk di sini, betapa menakutkannya menjadi seseorang yang berhati batu.
Hati batu. Ini biangnya! Pangeran Gautama menjadikan “tua, sakit, dan mati” sebagai titik sipapas penanggalan “hati batu” yang puluhan tahun dirawat kemewahan istana-istana ayahandanya. Tokoh “aku” dalam novel Pamuk, yang saya kutip di awal, “memelihara kesunyian abadi sebagai pemecah “hati batu” yang dinamai cinta, penderitaan, kebahagiaan, dan kepedihan. Kawan saya itu menjadikan “ritual naik motor” dalam bentang jarak yang tak masuk akal, yang disebutnya “membasuh hidup”, sebagai pemecah “hati batu”.
Setiap kita, secara eksistensial, tak terperi menghausi “ritual-ritual” pemecah hati batu itu. Soal bentuk ritualnya, tentu tak tepermanai maujudnya; tetapi hakikatnya adalah semata kasunyatan. Sidharta Gautama, usai mendapatkan pencerahan di bawah pohon Bodhi, menyebutnya “kesunyian laut di dalam batin”.
Bahwa jagat modern yang membelenggu hidup kita kini sangatlah lesat dan berisik, yang setia bermurah hati memasungkan jiwa tergesa dan berkekurangan, itulah fakta-fakta paling jemawa penahbis kematian kasunyatan di dalam “laut batin” kita. Hidup yang selalu beriuh dan bergegas, muhallah mengkuasakan sejenak waktu berteduh dan berhenti agar sempat membatin. Berpuluh tahun lamanya kita biarkan pasungan batin itu, padahal kita sepenuh mafhum bahwa sejak detik itu jugalah kita tidak lagi sepenuh manusia. Manusia yang tak sepenuh manusia, menukil George Orwell, tidaklah lebih afdal daripada binatang yang tidaklah lebih binatang daripada yang selainnya.
Jika Anda percaya kesahihan agama, mari ingat-ingat sejenak wejangan Nabi Agung, Muhammad Saw., di sini ribuan tahun silam bahwa pada diri manusia terdapat “segumpal daging”; bila ia baik maka baiklah seluruh hidup kita dan bila buruk maka buruklah seluruh hidup kita. “Segumpal daging” itu adalah hati. Sabda Nabi itu menjadi garansi primordial bahwa setiap kita memiliki hati, tetapi siapakah di antara kita yang sepenuhnya menggunakannya dengan cara merawat “kesunyian laut”?
Derasnya keinginan-keinginan selalu menjadi iblis asali “kesunyian laut” semua kita. Sidharta Gautama tulen benar menggariskan betapa keinginan merupakan sumber penderitaan. Tentu saja, tak peduli apa pun pangkatnya, semua kita berantidot pada tabungan hasrat derita. Tetapi, faktanya, siapakah di antara kita yang benar-benar sanggup mengusir berahi keinginan bertahta di lubuk hati?
Hanya “kesunyian laut di dalam batin” perisai terbaiknya. Ini sama sekali bukan pelajaran enggan bekerja, berkarir, dan bercita-cita. Ini sepenuhnya tentang menghidupi “aku yang batin  di hadapan meja modernisme “aku yang materi”.
Bertahun-tahun, sejak kanak, kita dibentuk oleh keberisikan dan ketergesaan tiada tara jagat materialisme ini, sehingga “aku yang batin” tersingkirkan dari hidup kita, dikangkangi “aku yang materi”. Doktrin “aku berpikir maka aku ada” sangat badai meremukkan “aku membatin maka aku ada”. Risikonya telah kita panen bertubi-tubi: terasing dari refleksi, kontemplasi, dan pemaknaan setekun air mengukir batu. Hati nurani hanya termiliki, tanpa terpakai. Memburailah segala tamsil keinginan, menghamburlah segala tamsil penderitaan. Hidup menjadi sunyi dari kasunyatan.
Inilah banjaran isyarat paling nyata atas kebiasaan kita hidup dalam pasungan keberisikan dan ketergesaan. Pengalaman-pengalaman kehidupan, sebutlah cinta, kebahagiaan, penderitaan, dan kesedihan, tak lagi menjadi altar makna “kesunyian laut di dalam batin”, selain siklus hidup belaka: lahir, besar, kawin, beranak, mati, dan hilang.
Apa bedanya kita dengan sapi?
Jogja, 10 Januari 2016

*) Edi AH Iyubenu, rektor Kampus Fiksi, kandidat doktor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. @edi_akhiles
Tag : Artikel
0 Komentar untuk "KESUNYIAN LAUT DI DALAM BATIN (Jawa Pos, 24 Januari 2016)"

Back To Top