Personal Blog

Novel JAMAS BON: (BAB 2: BAI’AT JAMAS BON)



Resmi sudah Bush menjadi bagian dari Jamas Bon, Penjaga Masjd dan Kebon, sejak dibai’at oleh Mbah Siwon, sesepuh masjid al-Huda tersebut. Ia menghuni kamar seukuran 3x3 itu, bersama 3 orang lainnya. Hanya ada satu lemari kayu untuk dipakai bersama, karpet hijau yang telah gundul untuk dipakai tidur bersama, beberapa peralatan memasak yang bergeletakan untuk dipakai bersama, beberapa kardus tua, dan beberapa biji buku yang dipajang di rak dinding.
Anggota Jamas Bon yang paling lama menghuni kamar itu adalah Dirman. Anak Jombang. Katanya, saat berkenalan dengan Bush, ia masih keturunan keluarga pesantren Denanyar. Gus, anak kiai. Cuma ia mengaku rendah hati sehingga  tak mau disebut gus. Badannya tinggi sekali, tapi ceking sekali. Tidak tampan, tentu saja. Kemana-mana selalu memegang HP, yang disebutnya sebagai smartphone, yang katanya jauh lebih ia cintai daripada urusan makan.
Anggota kedua anaknya pendek tapi gemuk. Asal Tegal. Saking pendek dan gemuknya, ia terlihat bagai buntalan. Namanya Rahman. Dulu, Mbah Siwon secara berkelakar menyebutnya butun, yang artinya perut, kata jamak dari batnun. “Saking perutmu itu bukan satu lagi, tapi tumpukan perut….” kata Mbah Siwon sambil terkekeh. Sejak saat itu, ia lebih dikenal dengan panggilan Butun.
Anggota ketiga adalah Jumak. Anak Jember, tapi jago bahasa Madura, dan baru menghuni kamar itu sebulanan sebelum kedatangan Bush. Jumak murah senyum, sampai-sampai agak sulit dipahami untuk apa dia tersenyum pada sesuatu atau seseorang yang bagi orang lain dianggap tidak lucu. “Biar dapat pahala menyenangkan hati orang dan sekaligus low profile,” katanya pada Kak Syaikho saat ditanya tentang kebiasaannya menebar senyum itu. Jumak ini selain kuliah, juga menulis. Ucapan-ucapannya kadang terasa terlalu formal sistematis. Terstuktur rapi. Sekalipun dalam obrolan harian. Meski tidak selalu juga sih. Saat berkenalan dengan Bush, ia mengenalkan diri sebagai cendekiawan muda Indonesia.
Dulu, Kak Syaikho adalah sesepuh Jamas Bon. Sejak berkeluarga, ia tidak menghuni kamar tersebut lagi, tetapi di belakang masjid, di sebuah rumah, bersama istri dan anak-anaknya. Ia disepuhkan di lingkungan masjid al-Huda tersebut, karena ia paling lama menjadi anggota Jamas Bon dan juga dedikasinya yang sangat tinggi terhadap segala aktivitas masjid tersebut, dari urusan ibadah sampai bersih-bersih.
Dari keempat anggota Jamas Bon itu, hanya Bush yang belum kuliah. Tepatnya, baru akan kuliah. Ia sudah mendaftar di UIN, dan besok akan ikut ujian seleksinya. Maka, saat akan dibai’at di malam hari usai shalat Isya’ oleh Mbah Siwon, ia berbisikpada Kak Syaikho.
“Kak, jangan lama-lama ya bai’at saya…”
“Tergantung Mbah Siwon. Saya nggak berani mengatur beliau, kan beliau juga yang memimpin acara itu nanti….”
Bush galau. Ia benar-benar merasa harus belajar sesiap-siapnya untuk ujian besok agar lulus. Lulus demi mewujudkan impian mulia orang tuanya menjadi satu-satunya mahasiswa dari kampung Nyabakan tercintanya. “Biar kamu jadi teladan bagi pemuda-pemuda lain di kampung ini.” Ucapan K. Ali itu terus dipegang oleh Bush.
Dengan memberanikan diri, sebelum acara bai’at dimulai, Bush mendekati Mbah Siwon yang duduk di sebelah Kak Syaikho. Ada Dirman, Butun, dan Jumak pula. Jadi ada 5 orang dalam acara bai’at itu.
“Mbah, tolong acaranya jangan lama-lama ya, saya harus belajar….” kata Bush, yang langsung disambut dengan gelengan kepala dan tatapan tajam oleh Kak Syaikho.
Mbah Siwon yang sehari-harinya jualan nasi rawon di pasar Kliwon dan punya beberapa sarang tawon, yang anak gadisnya yang ayu kabarnya sangat mengidolakan Siwon dari Korea itu, tersenyum pada Bush.
“Wah ini, calon anggota yang kritis…” ujarnya.
“Maaf lho, Mbah….” Malah Kak Syaikho yang menimpali, karena ia merasa risih dengan keberanian Bush. Iya,  Kak Syaikho memang suka nggak enakan orangnya.
“Nggak apa-apa, namanya juga anak muda, suka kritis, meski kadang sulit dibedakan lagi dengan bawel….”
Jdes! Jgeerrr!
Bush mengangguk, merasa bangga. Belum apa-apa aku sudah dipuji kritis, apalagi kalau sudah kuliah nanti ya, gumamnya dalam hati.
Maka acara bai’at pun dimulai, dipimpin Mbah Siwon.
“Kamu harus menjalankan syari’at Islam dengan baik….”
“Iya.”
“Kamu harus menjaga nama baik masjid al-Huda ini….”
“Iya.”
“Kamu harus mengajari anak-anak kecil mengaji di sore hari.”
“Iya.”
“Kamu harus turut menjaga kebon masjid….”
Bush mendongak kali ini. “Sekalian sama kolam ikannya ya, Mbah?”
“Maksudmu?” tatap Mbah Siwon.
“Saya ini jago mancing di kampung, pernah ikut acar mincing rame-rame se kecamatan, saya menang. Kalau Mbah tidak percaya, saya bawa alat pancing sakti saya kok. Ini pancing keramat mbah, jorannya dari bambu bekas mengukur jenazah untuk menggali kuburannya.Tunggu sebentar….”
Tanpa menunggu jawaban, Bush langsung masuk ke kamar di sebelah masjid, lalu tak lama keluar lagi sambil membawa peralatan pancing lengkap: joran bambu, senar, dan mata pancing yang agak karatan.
“Ini, Mbah, mata pancing yang karatan ini karena disepuh sama bapak saya dengan doa khusus….” Bush bersemangat menceritakan sejarah pancing saktinya.
“Bush….!” teriak Kak Syaikho.
“Biar Mbah Siwon yakin, Kak, kalau saya jago mancing.”
“Ya sudah, taruh sini pancing saktimu, biar jadi saksi sekalian untuk bai’atmu ini.”
Bush pun meletakkan pancingnya di depan Mbah Siwon. Kak Syaikho menunduk, menggaruk-garuk pecinya yang tak gatal.
“Kamu harus rajin kuliah sampai lulus….”
“Iya.”
“Kamu jangan pacaran sebelum lulus….”
Insya Allah….” sahut Bush, kali ini diikuti suara spontan Dirman, Butun, dan Jumak.
Mbah Siwon menebar matanya berkeliling, menatap wajah-wajah keempat anggota Jamas Bon itu.
“Kalian tahu….”
“Tidak, Mbah…”
“Ya jelas tidak tahu wong saya belum selesai ngomong disamber aja begitu. Gimana mau tahu kalian ini?” Mbah Siwon mulai memperlihatkan kesalnya. “Pacaran itu haram!”
Dirman, Butun, dan Jumak saling bertatap. Lalu Jumak berkata, “Mbah, maaf sebelumnya, itu Lubna, puteri Mbah, pacaran lho….”
“Hah?! Apa iya?! Sama siapa?!” muka Mbah Siwon menegang. Tampak ia kaget benar dengan ucapan Jumak.
“Kami sering melihatnya diantar oleh cowoknya di depan Indomart itu lho, Mbah….” timpal Dirman.
“Wah ini, ini, iniiiii, haram ini….!” Mbah Siwon menahan malu dan marah.
“Cowoknya sih jelek, Mbah, tapi pakai mobil Jazz putih. Pasti lebih mahalan Jazz-nya daripada orangnya….”
“Ohh, Lubna itu yang cantik itu kan ya?” sela Bush. “Yang kemarin kamu panggil-panggil pake suitan itu kan?”
Dirman mendelik ke arah Bush. Kak Syaikho tercekat tak kuasa mengeluarkan sepatah kata pun di antara ulah keempat anak buahnya itu.
“Pakai Jazz? Mobil kan? Bukan jas hujan, kan?” tanya Mbah Siwon. Suaranya agak reda. Mungkin ia sudah berhasil menguasai emosinya.
“Iya, Mbah….” sahut mereka serempak.
“Ya sudah, nanti saya bilangin Lubna supaya diteruskan….” Ucapan Mbah Siwon terpenggal oleh tangannya yang bergerak cepat menyumpal bibirnya sendiri. “Eh, anu, maksud saya nanti saya nasihati dia….”
Dirman, Butun, dan Jumak saling pandang. Juga Bush. Dalam hati, Bush membantin, jadi kalau cowoknya pakai mobil supaya dipelihara ya, Mbah, pacarannya supaya jadian sampai menikah.
Mereka tak kuasa menyembunyikan senyumannya.
Jadi gimana, Mbah?” tanya Bush.
“Apanya?”
“Pacarannya haram tidak sekarang?” tukas Jumak.
“Biar ada hukum pastinya, Mbah,” timpal Dirman.
“Diam!” Kak Syaikho bersuara tegas. “Dengarkan Mbah Siwon!”
Mbah Siwon menarik napas, lalu berkata dengan berat. “Sudah, sudah, intinya, kalian harus jadi anak yang rajin dalam hal ibadah dan usaha menjaga kebun itu. Kebun itu adalah kebun hibah, milik masjid ini, milik umat. Pendapatan dari pohon-pohon mangga di kebun itu, juga ikan-ikan di kolamnya, ya untuk masjid ini. Jadi kalian harus merawatnya....”
Tak ada sahutan.
“Kamu paham, Bush?”
“Iya, Mbah.”
“Ya sudah, dengan mengucap hamdalah, kita tutup acara bai’at Bush ini ya.”
Belum juga Mbah Siwon mengucap salam, Bush nyeletuk. “Mbah, mau tanya satu lagi, biar lebih jelas.”
“Iya?”
“Suatu hari kalau saya jadi orang sukses, punya mobil bagus, saya mohon ijin sama Mbah Siwon untuk menikahi Lubna ya….”
“Bush…!!!” pekik Kak Syaikho.
“Saya juga mohon ijinnya, Mbah….” timpal Jumak.
Jumakkk…!!!” jerit Kak Syaikho.
“Saya juga….” sahut Dirman.
“Dirman…!!!” lengking Kak Syaikho.
“Saya….” tukas Butun.
“Kaliannnnnnn…..!!!” Kali ini Kak Syaikho berdiri, lalu menjewer telinga keempat anak Jamas Bon itu tanpa ampun.
Mbah Siwon hanya geleng-geleng kepala, lalu mengucap salam, dan pergi dengan gontai. Sampai tak sadar kalau sendalnya tertukar dengan sandal Kak Syaikho.
“Kalian keterlaluan sih?!” suara Kak Syaikho meninggi. “Itu Mbah Siwon, orang terhormat di sini, kok dipermainkan begitu?”
“Kak, saya serius….” sahut Bush.
“Saya juga, Kak….” kata Dirman.
“Saya juga….” seru Butun.
“Saya….” timpal Jumak.
Kak Syaikho berdiri tegak di depan mereka dengan wajah memerah dan dada kembang-kempis. Ia terdiam beberapa jenak. Mengatur napas. Setelah derum murkanya mereda, ia berkata lagi. “Pokoknya kalian jangan macam-macam di sini. Kuliah yang benar, jaga masjid yang benar, dan juga rawat kebon yang benar. Paham?!”
“Benar!!!” sahut mereka serempak.
“Ah….” Kak Syaikho lalu pergi tanpa mengucap salam. Tampak benar ia yang penyabar kali ini dibikin malu dan marah oleh anak-anak Jamas Bon itu.
Dirman, Butun, Jumak, dan Bush hanya saling tatap lalu masuk kamar. Dirman kembali ke HP-nya. Jumak menyalakan laptop tuanya. Butun mengunyah kripik singkong bawaan Bush. Dan Bush sendiri melinting tembakau pemberian pamannya sambil melipat kedua kakinya di depan dada dalam posisi jongkok. Serupa dengan pelajaran pamannya saat melinting tembakau ya harus berposisi begitu supaya rokoknya gurih.
“Assalamu’alaikum…..”
Sebuah suara membuat mereka semua menoleh. Kak Syaikho rupanya.
“Wa’alaikum salam….” sahut mereka nyaris serempak.
“Maafkan saya ya, tadi saya marah….”
“Iya, Kak, sama-sama, saya juga mohon maaf….” balas Bush.
“Saya juga, Kak….” kata Dirman.
“Saya juga….” seru Butun.
“Saya….” timpal Jumak.
“Assalamu’alaikum.” Lalu Kak Syaikho pergi.
“Wa’alaikum salam….” sahut mereka nyaris serempak lagi.
Sambil menghabiskan genggaman kripik terakhirnya, Butun berkata, “Kak Syaikho ya memang begitu orangnya. Jika dia sampai marah, meski kita yang salah, dia pasti akan minta maaf.”
“Iya, dia baik banget, penyabar sekali….” sahut Dirman.
“Kok aneh ya?” gumam Bush.
“Kok aneh?”
“Iya aneh, habis marah minta maaf, padahal bukan dia yang salah, harusnya kita yang minta maaf kan?”
“Justru itu hebatnya Kak Syaikho, nggak kayak orang jelek kayak kamu!” seru Butun.
“Wooow, menghina ini, menghina ini!” Bush menegak.
“Lho marah, dibilangin kok marah,” seru Butun sambil berdiri di atas meja kecil yang lagi dipakai laptop Jumak. Tanpa ampun, laptop itu pun terjatuh.
“Lho, sialan!” Jumak menarik tubuh Butun. Sampai terguling dan menimpa tubuh Dirman.
“Hei, kalian, kena aku lagi, asemmmm!” Dirman memekik sambil mendorong tubuh Butuh.
Bush merangsak maju memegang leher Butun sambil memekik, “Jangan macam-macam kamu sama aku ya! Aku orang Madura!”
“Aku orang Tegal!” pekik Butun.
Kamar itu seketika kocar-kacir. Tak jelas siapa berantem dengan siapa. Mereka bergulingan semua. Buku-buku berantakan. Dus-dus berserakan. Karpet sampai tersingkap tak karuan.
“Jamas Boooonnnnnnnn….!!!”
Jeritan panjang itu sontak menghentikan kekacauan acakadut itu.
“Ini sudah malam, jangan berisikkkkkk….!!!”
Mereka saling tatap. Diam. Itu suara Kak Syaikho. Mereka menunggu dengan dada gemetar apa gerangan yang akan terjadi kemudian.
Sekitar 5 menit mereka terhenyak dalam sunyi, tanpa suara. Tak ada tanda-tanda Kak Syaikho akan memasuki kamar itu. Lalu mereka saling senyum. Kemudian bersama-sama memberesi kamar yang berantakan.
“Kak Syaikho yang berisik tadi….” ucap Butun.
“Iya.”
“Benar.”
“Tepat.”


3
MAKAN ENAK

“Aku pengin makan enak!” teriak Bush sambil keluar dari kamar mandi.
“Tempe!” sahut Dirman.
“Ikan mas pepes!” sahut Bush.
“Punya duit?”
“Nggak ada sih.”
“Lalu?”
Bush mengambil pancingnya, lalu berbisik, “Mancing di kolam.”
“Hei, itu milik masjid ini tahu!”
“Lho iya, aku tahu.”
“Kok mau dipancingi?”
“Aku kan amil di sini, namanya amil ya boleh ambil jatah.”
“Ah, sialan, enak aja kamu….”
“Ya sudah, kalau nggak mau, aku mau makan pepes ikan mas sendirian.”
“Eh ikut….” teriak Butun yang baru pulang kuliah.
“Aku juga ah, kan aku juga amil….” sahut Dirman.

To be continued.

5 Komentar untuk "Novel JAMAS BON: (BAB 2: BAI’AT JAMAS BON)"

Mau doong jadi amil masjid yang punya kolam, jadi bisa ambil ikan sesuka hatinya. Punya kebon jugakah..:)

pak edi ini makin mboiisss sajaaa :D

Ngoahaaaa.....next ttg.....makanan enak menurut Jamas Bon

Back To Top