Personal Blog

DEK GARA BELI ROKOK




Kebiasaan saya yang saya tahu agak gimana gitu ialah terlalu banyak merokok di saat sedang menulis. Juga nongkrong.
“Dek Gara, ayah bisa minta tolong nggak?”
“Apa, Yah?” sahutnya sambil mainan tablet.
“Tolong ayah dibeliin rokok.”
Ia mengangguk, lalu saya julurkan selembar uang 50.000. “Belinya dua ya.”
Dengan sigap ia berangkat naik sepeda ke warung Mas Maji yang jaraknya sekitar 200 meter dari rumah. Saya pun melanjutkan menulis.
Tak lama kemudian, Dek Gara muncul sambil membawa seplastik belanjaan. Saya memperhatikan isi plastik belanjaannya. Ada chiki, oreo, potato, dan lainnya. Banyak sekali. Tapi rokoknya tak kelihatan.
“Ini kembaliannya, Yah,” katanya sambil mengangsurkan dua lembar uang ribuan.
“Rokoknya?”
“Oh ini.” Dikeluarkannya sebungkus rokok dari sakunya.
“Kok satu?”
Lha, uangnya kurang kok kata Mas Maji. Lha ayah bawain uangnya sedikit.”
Saya terdiam, mikir. Sebentar, sebentar, tadi saya membawakan uang 50.000. Harga sebungkus rokok 17.000. Kembaliannya 2.000. Bukankah harusnya sudah sangat lebih untuk sekadar beli dua bungkus rokok, ya?
Oh, baiklah, kini saya mengerti. Rupanya, begitu sampai di warung Mas Maji, ia memborong kebutuhannya dulu, lalu sisanya dibeliin rokok, dapat sebungkus, dan kembalian 2.000.
Baiklah. Baiklah.
Saya tertawa sendiri. Anak kecil memang gitu ya. Nothing to lose mbolak-mbalikke urutan yang semestinya sesuai instruksi: beliin rokok dulu baru sisanya beli jajanan. Tapi justu karena hal demikian saya menjadi  bisa tertawa.
Kadang saya menginginkan Dek Gara jadi anak-anak terus saja, biar terus lucu. Sebab, kebanyakan orang gede itu tak lucu.
Jogja, 29 April 2015
6 Komentar untuk "DEK GARA BELI ROKOK"

Hahhahahhaa paling suka disuruh Ayah beli rokok, kembaliannya tak tumbaske jajan.

saya lucu loh, Om, apalagi kalo lagi tidur wkwkw

Hla yen tetep jd anak kecil terus piye sing tuwo tambah.tuwo sing cilik ben ttp cilik. Gak ono sing nglanjutke nulis mengko. He he he

Back To Top