Personal Blog

LOVE YOUR GOD AND YOUR NEIGHBOUR...


Cinta yang tulus di dalam hatiku
Tlah bersemi karenamu…
Hati yang suram kini tiada lagi
Tlah bersinar karenamu….

Mencintai adalah memuliakan. Segala yang berkebalikan dengan upaya pemuliaan, otomatis bukanlah kecintaan. Tak pernah ada cinta yang sungguh-sungguh cinta yang membiarkan dirinya untuk menyakiti dan melukai.
Mari, mulai munculkan beberapa pertanyaan untuk hati kita masing-masing:
Apakah aku sudah mencintai Tuhanku?
Agak abstrak memang untuk menguraikan jawaban ini, tetapi patut untuk kita jadikan sandaran bersama bahwa semua ajaran agama, yang kita yakini berasal dari Tuhan, selalu mengajarkan tentang berbuat baik dan kasih-sayang pada sesama. Maka, jika ini sandaran kepatuhan kita pada Tuhan, tentu saja cinta kita pada sesama berbanding sejajar dengan cinta kita pada-Nya.
Lalu, bagaimana dengan ragam ibadah yang diajarkan agama-agama itu?
Mari cermati, ibadah apakah sih yang tidak mengangkat nilai dasar memuliakan orang lain?
Shalat?
Shalat pun muaranya adalah pada “mencegah dari perbuatan keji dan munkar”, yang jelas sekali bahwa ini berkaitan dengan sesame, bukan pada Tuhan. Bagaimana bisa kita akan berbuat keji pada Tuhan coba? Nggak bisa. Ranah keji jelas adalah ranah manusia, dan kekejian dengan sendirinya menumbalkan manusia lainnya.
Puasa? Haji? Zakat?
Sama saja, semua ibadah mahdhah dalam Islam itu sepenuhnya bermuara pada pengajaran dan penggemblengan untuk memampukan pelaku ibadah-ibadah itu berbuat mulia pada orang lain.
Bagaimana dengan kebaktian bagi kaum Kristiani?
Sama saja, bukan?
Tujuan puncaknya ialah untuk menghadirkan kasih Kritus pada jemaatnya yang tentu saja berkaitan langsung dengan perilaku dalam kehidupan sosial kesehariannya.
Ya, ya, ya, sampai di sini, menjadi benderang bahwa mencintai Tuhan adalah mencintai keluarga, tetangga, sahabat, orang lain, yang hadir dalam kehidupan kita.
Lantas, pertanyaan selanjutnya, apakah kita sudah mampu mencintai orang lain dalam kehidupan kita?
Mari kita evaluasi diri masing-masing.
Apa yang akan kita lakukan kalau ada orang yang berkata buruk tentang kita?
Apa respons kita jika ada orang lemah yang tampak lapar dating ke rumah kita?
Apa sikap yang kita ambil bila ada orang yang menyakiti hati kita, meski kita merasa tak punya salah padanya, atau bahkan kita telah banyak berbuat baik padanya?
Marah, inilah sikap umum yang kita dahulukan sebagai respons kita. Ya, marah, kita mengekspresikannya dalam banyak bentuk, yang semuanya berpuncak pada semangat untuk mengentaskan diri sendiri dari hal-hal yang tidak kita inginkan.
Mari tanya kemudian, apakah sikap marah kita menganugerahkan kebahagiaan pada diri kita sendiri?
Sama sekali tidak. Kita tahu itu. Kita merasakan itu. Amarah selalu saja membakar habis diri kita sendiri, dalam segala situasi dan sisi, sehingga kita menjadi sangat tak nyaman dengan bahkan diri kita sendiri.
Percayakah Anda bahwa rasa tak nyaman yang menimpa diri kita akibat sikap marah kita itu merupakan bukti bahwa kelak benar-benar sungguh ada neraka yang penuh ketaknyamanan untuk diri kita?
Ya, ya, ternyata neraka pun bisa hadir dalam kehidupan kita di dunia ini, yang ketaknyamanannya ternyata kita sendiri yang menyulutnya, hanya gara-gara kita memilih bersikap marah.
Bayangkan umpama kita memilih sikap sabar, bukan marah, tetap berbaik hati pada orang-orang yang kita anggap menyakiti diri kita. Niscaya kita akan merasa biasa saja, tetap enjoy dengan diri dan kehidupan kita.
Ya, ya, percayakah Anda bahwa kenyamanan yang kita rasakan ini adalah serpihan surga yang kita rasakan dalam hidup sekarang ini yang disediakan oleh Tuhan untuk kita kelak di akhirat?
Tapi, mengapa kita cenderung memilih marah ya daripada sabar?
Apakah dengan marah lantas masalah kita reda? Tidak kan. Apakah dengan marah lantas kita menjadi sosok yang jumawa dan gagah di hadapan masalah hidup kita? Nggak pula kan.
Sebaliknya, apakah kalau kita ngalah, bersabar, lantas martabat kita menjadi terkikis? Kehormatan kita menjadi pudar? Keindahan rumah kita menjadi punah? Nggak pula kan.
So what?
Ahhh, ternyata kita begitu suka mengejar hal-hal semu dalam hidup ini, yang kita anggap begitu penting dan menentukan mutu hidup kita, padahal sejatinya itu justru menjerembabkan kita ke lembah ketaknyamanan. Marah adalah kesemuan, yang tak ada batasnya, tak ada wujud maknanya, kecuali memuncratkan permusuhan dan pertikaian yang jelas berpuncak pada ketaknyamanan diri kita sendiri.
Sabar adalah pilihan terbaik, karena melaluinya kita takkan pernah kehilangan kenyamanan apa pun dari diri kita, dan sungguh berkat sikap sabar itu pulalah kita akan menjadi sosok yang mampu mewujudkan love untuk orang lain dalam hidup kita, bahkan termasuk pada orang yang telah menyakiti diri kita.
Love your God and your neighbour, inilah pesan dasar kita beragama, dan ternyata, esensi semua itu adalah tentang berbuat baik dan santun pada semua orang yang hadir ke dalam kehidupan kita, meski mungkin saja kita disakiti oleh orang tersebut.
Sulitkah?
Sulit jika Anda lebih suka mengejar kesemuan, bukan kesejatian. Sulit jika Anda lebih gandrung membangun neraka dalam hidup Anda, bukan surga.
Itu pulalah sebabnya mengapa orang yang bisa tampil penuh love dalam hidupnya adalah orang yang sangat mulia hidupnya, berbanding terbalik dengan orang yang gagal menebar love selalu saja adalah orang yang penuh nestapa dalam hidupnya.
Jogja, 30 Januari 2012
0 Komentar untuk "LOVE YOUR GOD AND YOUR NEIGHBOUR..."

Back To Top