Di dekat
Losari, saya berhenti di depan sebuah gerobak yang memajang tulisan “Pisang
Epe”.
“Bu, ini
pisang apa?”
“Epe…”
“Iya, itu
pisang apa?”
“Bukan apa,
tapi epe. E-p-e.” Diejanya.
“Iya, Bu,
ngerti, maksud saya apa gitu….?”
“Dibilang epe
kok dari tadi, masih apa aja…”
“Bu, maaf,
saya kan…”
“Epe lo?!”
“Kalau itu
apa, Bu, bukan epe. Yang bener, apa lo…gitu… Permisi, Bu….”
*adegan ini hanya joke fiktif.
****
Pukul 19.00
WIT, saya menginjakkan kaki di bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Wow jugalah
ini bandaranya. Gede, keren, modern banget. Bandara Jogja, ah…sudahlah. Finishing langit-langitnya mengingatkan
saya pada bandara Abu Dabi, Dubai.
Begitu keluar
dari pintu arrival, saya terkesima
sama sambutan hangat kawan-kawan Makassar. Hangat
banget! Banyak banget pula! Beneran lho, itu para penyedia jasa transport amat
bejibun. Haaaa….dan pilihan saya jatuh begitu saja pada seorang anak yang
sangat belia. Saya taksir paling masih seusia sekolah SMA.
Guys, betapa shock-nya saya ketika ia kembali dengan mobilnya, Xenia, ke tempat saya menunggu. Modif abis!
Mulai dari lampu interior yang meling-meling
sehingga dari luar saya bakal kelihatan kayak ikan dalam sebuah akuarium, lalu
jejeran botol bekas minuman di dashboard,
hingga jok yang telentang abis, dan tentu saja music!
“Keren nih
mobilnya,” kata saya sambil nyengir. Kebayang deh kalau yang naik mobil ini
bapak tua sekeluarganya, apa kata duniaaaa…?
Alunan musik
dangdutan ala Makassar berdentum, mungkin
kalau di Jogja disebut dangdut koplo,
mengiringi suara mufler yang
memekakkan telinga. Gestur sopirnya
kelihatan bangga sekali dengan tampilan mobilnya. Sumpah, baru kali ini saya
naik angkutan umum dengan modifikasi beginian.
Di tengah jalan,
dia menawarkan saya untuk wisata ke Toraja yang jaraknya 10-12 jam, dan tentu
saja saya tolak, dengan alasan saya sibuk kerja ini. Gileee kali, naik mobil
sejauh itu dengan kondisi bising knalpot, jok ambruk abis gini, plus ban ceper
yang menimbulkan bunyi grek-grek aspal menyergap kabin.
“You are gahool finished, Man,” gumam
saya dalam hati, “meski tentu saja lo bakal lebih smart jika mobil lo ini kagak dipakai untuk jasa transport beginian
atuh.”
Ngoaahaaahhh….
Saya
menyimpulkan bahwa kota Makassar ini hanya di
bawah dikit dari Bandung.
Luas kotanya sih kayaknya luasan Makassar.
Padat dan macetnya di bawah Bandung
dikitlah.
Tiba di jalan
Nusantara, di kiri jalan, berderet kafe dan bar yang sebagiannya kelihatan rada
vulgar dihuni para teng crentel. Gadis-gadis
berbaju minimalis terlihat teng teletek.
“Dipilih,
dipilih….!” Kira-kira begitu deh tagline-nya.
Haaaaa….
Sisi lain
Makassar sebagai sebuah kota
besar. Sisi lain sebuah kota
besar yang tak terhindarkan keberadaannya. Saya pun teringat wajah lain Bukit
Bintang Malaysia
yang punya pula deretan tempat beginian. Setiap kota pasti punya cerita beginian. So, biarin sajalah, nggak usah ribetin
itu. Pemerintahnya aja diem kok, kenapa ente
yang rempong bingit mau ngubah dunia seragam, woyyy…
Okay.
****
Pukul 10.30
hari Sabtu, saya naik taksi menuju Battimurung. Lumayan jauh sih, sebagian
jalannya juga lumayan memar. Ohhh, ini lokasi air terjun itu lho. Kalau di
Jogja, kira-kira nyaris serupa Telogo Putri di Kaliurang. Overall, biasa aja. Yang menarik di sini ialah penjelasan penjaja
cindera mata bahwa kata Battimurung berarti “Membanting Kemurungan”. Haaa, entahlah, benar atau tidak, tapi itu
cukup menghibur saya untuk ngakak dan kemudian membeli serenteng cindera mata
berupa gantungan kunci seharga Rp. 150.000. Maka jika kau berkesempatan datang
ke Battimurung, jumpailah penjaja cindera mata gantungan kunci itu, lalu
mintalah ia bercerita padamu tentang arti Battimurung, agar kau bisa membanting
kemurunganmu di sini. Glek!
Lalu saya
pindah ke tempat penangkaran kupu-kupu. Sepi. Rupanya, tutup. Meski ini weekend. Tapi berkat kebaikan sang
sopir, saya diijinkan masuk juga. Baru masuk sekitar sepuluh meter, saya
memilih keluar segera saat gerimis datang dan terutama setelah melihat beberapa
ekor kaki seribu berpacaran, eh…berta’aruf
ding, di jalan berundak. Waahh, saya bener-benar nggak mujur kali ini.
“Oke, Pak,
lanjut ke Fort Rotterdam aja,” kata saya kemudian
sambil memejamkan mata menikmati kenyataan.
Saya pun masuk
ke benteng yang jadi ikon kota Makassar
ini. Ada apa
sih di sini? Nggak ada apa-apa. Hanya tembok-tembok tebal khas warisan kompeni.
Saya kira, benteng Vre de Burg Jogja masih lebih eksotis lho. Maaf. Panas mengunyah
kepala. Kepala saya dikentang habis-habisan oleh matahari di sini. Di tengah areal
benteng ini, ada sebuah konter cindera mata. Mudah-mudahan saya menemukan
sesuatu yang unik di sini. Kaos kali. Bertuliskan Fort Rotterdam gitu.
Saya pun masuk
ke konter itu dan yang saya jumpai adalah kaos-kaos dengan desain kopi dan
kopi. Siaapppp grak! Saya pun guling-guling 10 kali, salto 10 kali, lalu kayang
10 kali, lalu sit up 10 kali, lalu pingsan 10 kali! Pas 50 kali semua aktivitas
itu saya lakukan di sini.
Untung,
kemudian es kepala muda dan semangkok sup buah menyadarkan saya kembali di seberang
benteng ini. Saya memutuskan pulang ke Aston.
Keesokan
harinya, Minggu pukul 09.30, saya dijemput oleh dua kawan Pacarita, Pak Bahtiar
dan Pak Gege, untuk menuju ke Kafe Belima, tempat diadakannya acara Kampus
Fiksi Roadshow Makassar. Acara yang semula
di-plan di Universitas Hasanuddin
diubah ke sana.
Sebagai orang asing, tentu saya sih iyes
aja no. Pak Bahtiar dan Pak Gege amat sangat ramah. Khas orang Makassar. Iya lho, orang Makassar
itu overall ramah-ramah memang.
Firasat saya
mulai nggak enak setelah melihat jalanan yang ditempuh mobil APV biru ini kian
lama kian menyempit. Tanda tepian kota.
Pukul 09.00, kecemasan saya menyata. Kafe Belima ini adalah sebuah ruko di
pinggiran kota
dengan jalan tanah membelah di depannya. Begitu turun dari mobil, saya melihat
beberapa orang yang tak banyak tengah membersihkan tempat acara. Sebenarnya,
saya ingin kayang-kayang lagi di sini 100 kali sekalian biar jadi atraksi unik
gitu. Tapi saya memutuskan duduk saja di teras ruko sebelah sambil menikmati
kegalauan. Detik demi detik berkelejaran, membuat saya kian teringat event-event Kampus Fiksi roadshow di banyak kota
lainnya sebelum Makassar ini.
Sampai pukul
09.40, saat acara mau dimulai pukul 10.00, tempat ini belum siap. Beberapa
peserta yang datang nongkrong di parkiran ruko sebelah. Saya pun mendatangi
mereka, say hello, berbincang, dan memohon
maaf atas keadaan ini. Hati saya gemetar hebat saat dua orang peserta bercerita
bahwa mereka datang dari jarak 300 KM dari Kafe Belima ini.
Pukul 09.50
saya mengajak para peserta masuk aja. “Yuk, lesehan,” kata saya sambil
memberikan contoh. Pukul 10.00 tepat saya minta panitia membuka acara. Acara
pun dibuka tanpa sound system,
proyektor, dan banner apa pun meski
desain banner sudah saya emailkan
jauh-jauh hari.
I’m so sad.
Lalu, saya
meratap pada salah satu panitia untuk mengusahakan setidaknya ada mike. Saya nggak sanggup membayangkan
acara yang diikuti 100-an orang ini, berdurasi 4 jam-an, harus ditempuh tanpa mike. Alhamdulillah, setelah saya memulai sesi setengah jam kira-kira, mike pun datang. Makasih Pak Gege untuk mike-nya.
Whatever keterbatasan persiapan
kawan-kawan yang mengundang saya untuk acara Kampus Fiksi Makassar ini, alhamdulillah-nya sih para peserta
antusias sampai acara ini selesai. Betul, kondisinya memang tidak sesuai sama
sekali dengan standar Kampus Fiksi yang biasa saya tangani. Tapi, saya
sampaikan ke panitia, terima kasih lho sudah saya repotin begini, dan juga saya
katakan kepada para peserta, “Bagaimana pun kalian desak-desakan begini, terbatas
begini, kita harus bersyukur acara ini bisa digelar sampai rampung. Yang
penting kalian semangat bahwa materi yang saya sampaikan ini bermanfaat buat
bekal kalian jadi penulis fiksi.”
Pukul 15.00,
acara Kampus Fiksi Roadshow Makassar
ditutup dengan tepuk tangan meriah semua peserta. Semoga, lain kali, saya bisa
kembali lagi bikin event tersebut
dengan kondisi yang lebih matang.
Terima kasih
buat kawan-kawan panitia lokal dari Pacarita. Utamanya kepada Bapak Nur, owner Kafe Belima yang keramahan dan
semangatnya sungguh luar biasa. Saya salut padamu, Pak…
Ada satu curhat peserta
yang menyesakkan dada di akhir acara ini. Seorang gadis kira-kira usia kuliah
awal dituntun oleh seorang ibu mendekati saya. Ternyata ia (maaf) tuna netra.
Ia lalu
bercerita pada saya bahwa ia telah mengumpulkan beberapa tulisannya dan
kawan-kawannya dan diserahkan ke sebuah penerbit indie di Semarang (ia menyebut
nama dengan lengkap sih, clue-nya
dengan awalan N dan akhiran A, di tengahnya ada huruf T), dan ia sudah menyetor
sejumlah uang. Sekian lama bukunya tak pernah jadi. Berkali-kali dihubungi
nggak direspons.
OMG, so
bedebahnya kamu! pekik saya dalam hati.
“Saya harus
bagaimana, Mas?”
Speechless. Sejenak, saya nggak tahu
harus berkata apa. Saya kebayang jerih-payahnya untuk nulis dalam sikon
terbatas fisik begitu, lalu semangatnya ia ngumpulin dan milihin karya
teman-temannya, lalu berhematnya ia dan kawan-kawannya untuk ngumpulin duit,
dan DITIPU!
Damn!
Afuuuuuuu!
Dengan suara
lemas, saya hanya bisa berkata gini, “Dik, udah ya lupain masalah itu, anggap
saj itu bukan rejekimu. Sekarang, ayo kamu semangat lagi nulisnya, nulis yang
baik ya, ntar kalau udah jadi, serahin ke saya, akan saya terbitkan kalau emang
baik. Kalau belum, bisa direvisi. Yang benar itu penulis dibayar, bukan
membayar…”
Ia tersenyum.
Saya pun
tersenyum, meski hati terluka.
Memang, salah
satu materi saya ialah membahas tentang penerbit mayor dan indie. Betul, mau
mayor atau indie bisa saja sama brengseknya. Tidak semua mayor itu baik, serupa
tidak semua indie itu jelek. Tapi, saya memang tak setuju dengan proses kreatif
lewat penerbit indie, sebab ia tak menyediakan kompetisi seleksi dan display di market luas sebagai seleksi
pasar pembaca, yang itu sangat mutlak pentingnya untuk menaikkan level mutu
proses kreatif setiap penulis. Titik.
****
Besoknya, hari
Senin, sebab nggak dapat tiket balik, saya pergi ke Benteng Somba Opu. Dekat
sih, dari Aston paling hanya 15-20 menit. Jalanan menuju daerah cagar budaya
ini memang kurang terawat. Tapi, mata saya seketika melek benderang saat saya
mulai menyaksikan deretan rumah-rumah adat Sulawesi
di sini!
WOW banget!
Ini baru
keren!
Saya pun
segera turun dan berjalan kaki berkeliling dengan keringat bercucuran. Ini
fantastis, Kawan!
Eksotisme,
keunikan, dan kekhasan ragam rumah adat benar-benar terpajang sempurna di sini.
Mulai dari rumah adat Toraja, Bugis, Mandar, dll. Utuh dan kokoh, padahal
katanya sudah berusia ratusan tahun. Memang sih, sebagiannya juga nggak
terurus. Bahkan, di deretan rumah adat Toraja, ada satu rumah yang sudah hancur
begitu saja. Duh, ke mana nih pemerintahnya ya, warisan budaya sekeren ini
disia-siaain gini aja? Hiiks…
Di ujung
perjalanan keliling benteng luas ini, saya singgah ke museumnya. Ditemani
seorang petugas di sana, saya mendapat banyak cerita tentang benteng
ini. Tentang perjuangan Sultan Hasanuddin mempertahankan benteng ini dari
serbuan kompeni. Duh, sayang sekali sih kalau ingat perjuangan beliau itu, yang
kini terlihat nggak begitu diurus begini. Beliau pasti akan sedih sekali jika melihat
anak cucunya nggak peduli sama kekayaan budaya adiluhung ini, malah repot berpolitik aja.
Jika kau ada
waktu cukup, tentu akan lebih eksotis jika kau pergi ke Tana Toraja sekalian.
Berjarak tempuh 10-12 jam naik mobil, jauh memang dari kota
Makassar. Ada
bus yang nyaman kok untuk menuju ke sana.
Kalau mau nyewa mobil juga bisa, asal jangan mobil modif yang ngangkut saya
dari bandara itu lho, dijamin kau akan kram di tengah jalan!
Semoga lain
kali saya berkesempatan datang ke Tana Toraja di saat upacara adatnya lagi
digelar. Kabarnya, kerbau-kerbau yang dikorbankan di sana bisa berharga 100 jutaan. Wow!
Jika kau tak
punya banyak waktu di Makassar, datanglah ke
benteng Somba Opu ini. Eksotisme rumah-rumah adat Sulawesi akan membuatmu lupa
akan betapa biasanya Fort
Rotterdam, Pantai Losari,
maupun Battimurung.
Last, wajah lain yang buat saya amazing sama Makassar
ialah begitu banyaknya kafe. Mulai dari kafe branded macam Starbuck, Kopitiam, Black
Canyon, hingga kafe-kafe pinggir jalan
dan kaki lima.
Dan, sepanjang amatan saya, selalu saja setiap kafe itu dipenuhi pengunjung!
Wow, kota ini benar-benar kota
kopi ya, kota
nongkrong, dan pastinya asyik sekali bisa menjadi bagian darinya, meski hanya
dalam jeda 4 hari. Dan, di beberapa kafe yang saya singgahi, rata-rata kopinya
memang ueeenaakk! Bahkan, di warkop sederhana
sekalipun, kopinya maknyes! Keren dah
Makassar untuk bab kafe dan kopi ini.
Well, titip kaki bentar, pegel. Catatan saya ini tentunya nggak
utuh benar, sebab saya hanya 4 hari di Makassar.
Thanks kawan-kawan di Makassar. See you next time….
Bagaimana pun,
saya termasuk orang yang percaya pada dogma umum kaum traveler, bahwa setiap
tempat punya keunikannya. Meski kali ini, saya memang gagal menemukan hal itu….
Jogja, 14 Mei 2014
16 Komentar untuk "MAKASSAR, KOTA SERIBU KAFE (Catatan Kampus Fiksi Roadshow Makassar 11 Mei 2014)"
:"3 Salam saya untuk kakak itu, semangat ya kak. Kita sama-sama semangat nulisnya.
Mobil Modifnya keren ye :P
Saya sih juga pas pertama kali survey lokasi udah ngeduga apa yang akan bapak rasakan. sama dengan perasaan saya saat lihat lokasinya (6 hari sebelum acara) Huh semoga ketika kemari bisa lebih siap lagi..
Keren catatannya....essip pokonya.
salammm dek
iyaaa makasih komennya bang
duh kah
Bener-bener kebanting banget kemurunganku baca tulisan ini.....hahahaha....kocak abis ;) Semangat Pak!
Sukaaaaaaaaaaaaa :) #peserta kampus fikisi Makassar :)
Battimurung :)))
Horeeeee ketemu lagiii
Sayang sekali, saya ketinggalan info soal kampus fiksi. :(
Membaca tulisan ini seperti melihat dan mendengarkan Pak Edi dengan materinya di kampus fiksi kemarin.
waahhhh
asyiikkk hadir yaaaa
Wah, saya ke-pret-pret sambil nangis bacanya ini pak.... Duhhhh
kereeeen gan :D
Download film gratis