Kalau pernah berhasil melewati hujan badai,
kenapa harus menggigil terkena gerimis?
Ibnu Hajar
Dear, Anak muda….
Anak muda yang
baik ialah anak muda yang galau, penuh emosi, sarat ambisi, kebak
keingintahuan, dan sejenisnya.
Maka sungguh
aneh bila kau mengaku anak muda, tetapi mentalmu begitu lemah dengan mencukupkan
diri pada apa yang baru kau genggam segumpal.
Anak muda harusnya
“nakal”; kenakalan yang akan menghantarnya mencecap asam garam kehidupan yang
seluasnya, yang kelak akan membuatnya mengerti mengapa manusia harus menempuh
masa muda sebelum dewasa.
Dear, Anak muda….
Tentu saja,
adakalanya kau akan merasa pilu, hopeless,
useless, dan sejenisnya. Orang tua pun kadangkala mengalaminya. Hanya saja,
bila orang tua yang mengalaminya, ia sudah lebih duluan mengerti timbang kamu
karena ia lebih dulu hidup timbang kamu, bahwa rasa pilu, hopeless, useless, dan sejenisnya merupakan sunnatullah fi al-hayah, sehingga
kegalauan orang tua takkan sebodoh kegalauanmu.
Orang tua
lebih mengerti karena lebih dulu menempuhinya, bahwa selama kita hidup maka
selama itu pulalah kita sesekali akan tertawa dan menangis; menepuk dada dan
meringkuk; diam dan berkata.
Dear, Anak muda….
Menempuh hidup
ini seringkali pula bukan untuk diri sendiri. Bisa jadi kita melakukan sesuatu,
sebutlah menyelesaikan skripsi, lalu mengenakan toga dalam upacara wisuda,
bukan sebagai sesuatu yang menyenangkan hati kita. Bila kau tengah mengalami
perasaan seperti itu, tolehkanlah kepalamu kepada kedua orang tuamu. Mereka
yang keriput, kusut, lelah, ringkih senantiasa ikhlas memberimu uang, sarana,
dan peralatan yang kau butuhkan selama ini, baik yang beneran dibutuhkan atau
sekadar kepura-puraan dibutuhkan, kendati untuk itu semua mereka harus membalik
kepala jadi kaki, malam pun dianggap siang, dan seterusnya.
Saat kau
menatap mereka dalam lelap, kurasa dengan kelembutan nurani kau akan mengerti
bagaimana sepatutnya seorang anak sesekali memberikan kesempatan pada orang
tuanya untuk tersenyum, mengenakan jas yang rapi, bersepatu mengkilap, lalu
berfoto di pelataran kampus dengan latar lukisan wisudamu, dan memajangnya
dalam bingkai cerita atau dinding rumah.
Dear, Anak muda….
Menjadi
idealis jelas membutuhkan landasan paradigmatik; menuntut kemampuan berpikir.
Semakin kau pintar, semakin idealislah dirimu. Kadang kala, kau merasa sesuatu
itu bullshit, omong kosong, fucking damn, dari kacamata idealismemu.
Lalu kau mengantipatinya sedemikian rupa.
Kelak, kau
akan mengerti, betapa sesuatu yang dulu kau sampah-sampahkan itu sejatinya
begitu berarti buatmu dan keturunanmu manakala sesuatu itu telah melintas
bertahun silam. Kelak, kau akan mengelus dada penuh sesal pada dirimu sendiri
kala anakmu berkata, “Ayah saja nggak lulus kuliah, masak aku harus kuliah!”
Sekolah atau
kuliah boleh jadi memang tak akan lantas menjadikanmu kaya raya. Kuliah dan
kerja sungguh dua hal yang berbeda diktumnya. Ini barangkali yang sesekali
buatmu enggan menyelesaikan sekolah dan kuliah atas pandangan picik idealismemu.
Tetapi, ingat
selalu, Anak muda, pada saatnya kau akan berkeluarga, memiliki anak, lalu
menjadi bagian dari sebuah komunitas pekerja dan sosial.
Anak akan
meniru keteladanan ayahnya. Karirmu bagaimana pun akan ditopang oleh
legal-formal ijasahmu. Narasi sosialmu bagaimana pun akan dipengaruhi oleh
pangkat pendidikanmu.
Saat kau ditabrak oleh kenyataan hidup begitu,
sungguh telah sangat terlambat bagimu untuk menyadari betapa hidup ini tak bisa
ditatap hanya dengan kacamata idealisme; hidup ini juga harus ditimang dengan
ayunan kompromi dan kebijaksanaan.
Dear, Anak muda….
Saya pernah
begitu muda sepertimu. Orang di atas saya usianya akan mengatakan hal yang sama
pada saya, lantaran mereka juga pernah seusia saya kini. Dan sekarang saya pun
mengatakan hal yang sama padamu yang berada di bawah usia saya.
Kau tahu, saya
merelakan diri untuk lelah menggeluti tumpukan buku di atas meja, membacanya
sambil mengeluh nyeri pinggang, sesekali membukanya sambil tiduran, lalu
menuangkannya dalam banyak tulisan, dari blog sampai makalah kuliah, bukan demi
saya. Bukan demi menambah pundi uang saya. Bukan demi pangkat akademik saya.
Saya rela
kuliah sampai jenjang doktoral semata demi almarhumah
ibu yang dulu meminta saya berkali-kali agar saya meneruskan kuliah sampai jadi
doktor.
Kau tahu, ibu
saya hanyalah wanita biasa, pedagang kelontong di pasar Anom Sumenep, yang
tentu saja tak kenal siapa itu Ibnu Taimiyah, Mohammad Abduh, Abed al-Jabiri,
Nashr Hamed, Jasser Auda, Fazlur Rahman, Abdullah Saeed, bahkan Nurcholis
Madjid, Amin Abdullah, dan Komaruddin Hidayat.
Ibu saya hanya tahunya mengirimi saya uang untuk kuliah, lalu mendoakan
saya di malam buta kala saya cekikik sama teman-teman atau tengah lelap
mendengkur.
Ibu saya hanya
bisa berkata, “Kalau kamu jadi doktor, anak-anakmu kelak pasti malu jika hanya
sarjana.”
Saya punya dua
orang anak yang saya tempa sejak mungil untuk sekolah, ambil les bahasa hingga
musik. Saya ajak mereka keliling ke berbagai pelosok dunia pula. Saya kenalkan
mereka pada Ka’bah, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.
Semata demi
kelak mereka mengerti betapa ayahnya ini ingin mereka menjadi insan yang lebih
cerdas dan bijak dibanding ayahnya. Dan saya tahu itu hanya akan bisa dicapai
bila saya meraih level tertinggi akademik, bukan sekadar sarjana, apalagi
tamatan SMA.
Kau tahu, Anak
muda, saya terus menulis sampai hari ini bukan demi duit. Bukan. Bukan pula
demi martabat. Bukan. Duit dan martabat bolehlah saya klaim sudah begitu ruah
dalam hidup saya sampai saya tak tahu harus membeli apa lagi. Keruahan yang
saya raih dengan taken, bukan given; diperjuangkan dengan darah dan
air mata sejak nyantri di Manbaul Ma’arif Denanyar Jombang dulu, bukan impian
kosong tanpa perbuatan.
Saya rajin
menulis sampai kini semata untuk mencambuk rasa malasmu dan sekaligus
memberitahumu bahwa apa pun itu dalam hidup ini haruslah diperjuangkan, bukan dikhayalkan
belaka.
Dear, Anak muda…
Saya berharap
kelak kau akan tampil sebagai insan sukses di Indonesia. Tetapi bila ternyata kelak
kau menjadi manusia kere, melarat, bacalah kembali surat ini. Mungkin saat itu
saya sudah tak ada lagi untukmu, tak lagi bisa menyaksikanmu meringkuk di pojok
kamar dekilmu dengan mata berlinang sesal.
Bila itu
benar-benar terjadi, sesalmu tiada artinya lagi, lantaran kau telah
mencampakkan kesempatan di masa mudamu akibat kebebalanmu untuk sekadar
mengerti bahwa takdir itu engkaulah penciptanya. Lantas, betapa sangat bodohnya
bila dengan ringan iman kau lalu berteriak, inilah kehendak Tuhan pada hidupku.
Ciihhh…!
Jogja, 11 Pebruari 2015
Tag :
Utak Atik Manusia
10 Komentar untuk "SURAT UNTUK ANAK MUDA"
Waktu tak kan pernah kembali lagi, jangan sampai menyesal seperti saya ini.
Semangat mas
terimakasih mas edi, artikelnya sangat bermanfaat.
bernas...
Ini pembakar semangat ! Great !
this awesome brother,,! thank you !!
Terimakasih untuk suratnya :)
terimaksih pak, surat ini telah menyadarkan saya
Maksud dari kalimat Kalau pernah berhasil melewati hujan badai,
kenapa harus menggigil terkena gerimis?
Ibnu Hajar