Lagi-lagi, tulisan ini untuk membayar utang
saya dari postingan sebelumnya tentang Tips Membuat Kalimat Lincah.
Ya sih, utang yang saya ciptakan sendiri dan harus saya bayar sendiri pula, ngoaahhaaa…
As we know-lah, bahwa kekayaan diksi alias kosa kata
alias vocabulary alias mufradat merupakan salah satu alat penting
bagi penulis fiksi untuk melancarkan dan memperindah aliran ceritanya.
Caranya bagaimana?
Hindari satu hal ini: MENGHAPAL KBBI. Mending
kau ngapalin al-Qur’an deh…
Saya punya trik yang saya adaptasi dan
eksplorasi dari kredo lama penyair Indonesia kawakan, Sutardji Chalzoum Bachri.
“Bebaskan kata dari makna”.
Apaan tuh? Emangnya makna selama ini dipenjara
oleh kata ya?
Betul, Kawan.
Ini masalah mindset.
Masalah terserius minimnya penguasaan diksi
seorang penulis ialah karena terjebak pada makna definitif alias definisi lazim
terhadap sebuah kata, selain tentunya faktor jam terbang menulis dan membaca
sih.
Tentu saja, definisi itu penting. Iya, saya
setuju. Tapi, hal yang saya ingin tambahkan kemudian ialah bahwa definisi
bukanlah satu-satunya rezim makna yang harus saya amini. Mempercayakan
hidup pada sebuah definisi tunggal adalah warisan lama positivisme ala
Descartes, dan I say no!
Karenanya, saya mengamini kredo “Bebaskan kata
dari makna” itu, sebab itulah yang akan membebaskan mindset kita
dari penjara positivisme. Iya sih, kredo itu memang berwarna postmodernisme,
dan I say yes! FYI aja, saya memang pengagum postmodernisme, meski saya sering
kritis pula terhadapnya dalam beberapa bagian *abaikan ini*.
Misal, kata melangkah jelas definsinya
adalah maju. Tapi, buat saya, melangkah boleh saja didefinisikan gerakan
mundur, menyamping, memutar, bahkan melonjak-lonjak, dll. Bebaskan kata melangkah
dari makna definisi tunggal bergerak ke depan.
Misal lain:
Mata. Definisi lazim berkata bahwa mata adalah alat
untuk melihat. Ini tak salah. Tapi buat saya dengan menggunakan filosofi
“Bebaskan kata dari makna” itu, mata bisa saja dilekatkan dengan
predikat menusuk, menukik, menghunjam, menerjang, memanah, menguliti, menjerembabkan,
dll.
Rumah. Iya benar bahwa kata rumah menunjuk
pada definisi sebuah tempat tinggal. Tapi buat saya, dengan prinsip “Bebaskan
kata dari makna”itu, rumah bisa saja disebut sarang, kandang,
tempat bertapa, istana, kapal, huma, gubuk, bahkan hati, dll.
Merebahkan. Definisi makna kata ini kita pahamlah. Tapi,
buat saya, itu bisa digantiin dengan membanting, menghempaskan,
menghunjamkan, meletakkan, menyandarkan, menelungkupkan, merubuhkan,
mengambrukkan, dll.
Melintas. Definisi kata ini setara dengan makna kata lewat.
Saya boleh saja mengembangkan dengan kata membelah, mengayun, menyeberangi,
melindapi, melesatkan, melangkahi, bahkan menjauhi.
Telinga. Definisi menjelaskan bahwa ia bermakna alat
untuk mendengar, maka kata mendengar begitu lazim
dijadikan predikatnya. Tapi dengan “Bebaskan kata dari makna”, saya bisa
saja meluaskannya predikatnya dengan padanan kata menampung, menyelinapkan,
memasukkan, menyimak, menyesapi, menelan, menghirup, mengucurkan, dll.
Begitu luasnya varian padanan diksi yang bisa
kita ciptakan jika kita berpegang pada filosofi “Bebaskan kata dari makna”
itu, bukan? Bukankah kau tidak lagi perlu menghapal KBBI dengan cara demikian?
Namun, ada rambu-rambu yang juga kudu kau
ketahui sebelum menerapkan prinsip tersebut.
Pertama, diksi adalah alat bercerita
Ketahuilah dan peganglah selalu bahwa fungsi
utama penggunaan diksi-diksi dalam menulis cerita ialah untuk mengalirkan
cerita dan memperindah bahasamu. Agar tak monoton, maka tulisanmu harus
variatif. Kemampuan memvariasikan kalimat-kalimat jelas sangat dipengaruhi oleh
kekayaan kosa kata, di antaranya.
Kedua, jangan sok-sokan bermentereng dan
bermewahah dengan diksi.
Segmen pembaca yang kalian tuju jelas harus
diletakkan di posisi utama selalu saat kalian menulis cerita. Tidaklah cocok kalian
menulis cerita dengan diksi-diksi setinggi angkasa padahal segmen pembacamu
adalah anak ABG penyuka komedi. Fairness dalam menggunakan diksi
sangatlah penting. Maka kalian harus selalu paham sedang menulis cerita
bergenre apa dan ditujukan kepada segmen apa.
“Wahai manusia, bukankah Tuhan tidak suka
pada orang yang berlebih-lebihan.” *nggak nyambung deh ini*
Ketiga, pahami selalu bahwa bahasa adalah konsensus
Seperti dituturkan Ludwig Wittgenstein, dan
saya menyetujuinya, bahwa bahwa adalah konsensus, alias kesepakatan. Orang akan
paham bahasamu jika kau meletakkan diri di dalam langgam atau rel konsensus itu.
Bahasa kita yang Indonesia ini jelas sebuah konsensus.
Dari Sabang sampai Merauke paham apa arti kata menerjang atau menggalau.
Kalau bahasa kumaha etah mah atau kadiya sapohon atuh, itu konsensus
lokal orang Sunda. Orang Madura nggak paham. Apalagi orang Arab, kan.
Poin di sini ialah perhatikan benar, teliti
benar, apakah sebuah kata yang kau pakai dalam penulisan ceritamu bisa dipahami
oleh konsensus umum pembacamu tidak? Rambu-rambu konsensus ini vital banget.
Mau seliar apa pun kau kembangkan filosofi “Bebaskan kata dari makna” itu,
tetap saja kau harus mengindahkan hal tersebut.
Misal:
Ini kali ketiga ia menghina gadis buta yang
diam-diam kusayangi itu. Tanpa berpikir dua kali lagi, kupanahkan mataku
ke wajahnya. Tajam, sehunjam anak pisau yang dilesatkan seorang ninja.
Pahamkah kalian dengan kata yang saya bold
itu? Pasti paham, bahwa makna yang saya maksudkan ialah “Aku menatap tajam-tajam
ke arahnya”. Inilah pertanda diksi saya masih sesuai dengan rel konsensus bahasa
Indonesia itu.
Tapi, bayangkan jika kau gunakan diksi begini:
Ini kali ketiga ia menghina gadis buta yang
diam-diam kusayangi itu. Tanpa berpikir dua kali lagi, mataku memanjatnya.
Begitu cepat, sampai habis seluruh mukanya kunaikin.
Pahamkah kalian? Nggak pas banget. Ganjil
banget. Aneh banget.
Contoh lain:
Kepalanya dilipat di depanku.
Dalam-dalam ia menyembunyikan wajahnya dari lesatan mataku.
Paham kan dengan diksi yang saya bold
itu? Iya aja deh, paham. Tapi coba kau pakai diksi beginian:
Kepalanya disetrika di depanku.
Dalam-dalam ia menyembunyikan wajahnya dari papan mataku.
Nggak, ini menyulitkan pembaca untuk
memahaminya karena melenceng dari konsensus umum berbahasa Indonesia itu.
Begitulah cara mengendalikan keliaranmu saat
menggunakan diksi yang berbasis pada prinsip “Bebaskan kata dari makna” itu.
Fairness atas konsensus umum itu harus dijadikan alat ukurnya.
Keempat, banyakin baca buku deh
Iya, dengan membaca, kalian akan
mengetahui beragam diksi yang ternyata dikuasai oleh penulis lain, dan itu
menarik untuk kalian save dan gunakan pula dalam penulisan cerita kalian
sendiri kemudian. Biar hasil bacaan kalian nggak hilang, biasakan mencatat
diksi-diksi yang menurutmu menarik.
Cara membaca seorang penulis pasti berbeda
dengan cara membaca seorang pembaca murni. Penulis saat membaca sebuah novel,
misal, haruslah menelisik ragam teknik yang dipakai penulis novel itu. Bukan
melulu menikmati ceritanya. Kalau sekadar menikmati ceritanya, itu sih cara
membaca pembaca umum aja.
Kelima, duduklah selalu di kursimu sebagai
penulis cerita
Maksudnya, kalian sedang menulis
cerita, kan, bukan puisi? Nah, secara umum, puisi memang mensyaratkan pesona
bahasa. Estetika bahasa. Wajar saja bila puisi, sebagiannya, tampil begitu
kelam, gelap, sulit dimengerti secara sekilas oleh pembacanya. Tapi, kalau
cerita, pahamilah bahwa pembacamu menginginkan aliran cerita, bukan
bahasa-bahasa pekat gelap gulita mati lampu gara-gara nunggak bayar tagihan
listrik, ngoaaahhhaaaa…
Bahwa penulis berpengalaman tentu akan berhasil
menjangkau cara berbahasa yang indah, ya itu memang capaian kekerenan yang
lahir melalui proses kreatif yang panjang. Itu proses pencapaiannya. Tapi,
tetap saja, sebagai penulis cerita ya harus bercerita. Bukan berpuisi, bukan?
Nah itu, simple kan, so simple
bahkan.
Dan, kali ini alhamdulillah saya tidak
membuat hutang lagi. Nggak dulu deh, saya akan pergi jauh dulu ke negeri
Ottoman dengan bebas, tanpa dibebani utang apa pun pada kalian.
Jogja, 2 Pebruari 2014
Tag :
Kumpulan Cerpenku,
Pasar Makalah
15 Komentar untuk "TIPS MEMPERKAYA DIKSI (Edisi Bayar Utang, Lunas!)"
Terima kasih Mas Edi, ini adalah ilmu yang kusuka, membuka wawasan, dan tentu memberi pencerahan. Semoga!
Makasih, Pak Edi, sudah ngelunasin hutang-hutangnya. Setelah ini baiknya ngutang lagi deh, dibayar kapan-kapan juga nggak papa.
Latihan:
Ucapannya seringkali merobek-robek wajahku di depan orang banyak, disusul tawa mereka yang menebas habis harga diriku.
Apa kira-kira seperti itu, Pak? hehe
Rahman: iyes itu sdh ok bingit
hatiku sobek-sobek sebab LDR kelamaan tanpa ujung pangkal...*ditabok pak bos*
Matur nuwun Pak... sederet rambu-rambu yang mampu menguak imajinasi untuk segera menuangkan segenap perasaan melalui sentuhan jari jemari di atas keyboard putih yang selalu setia menemani hari-hari saya.
ngabantu banget. nice post, Pak :)
Senang dapat wawasan baru bebaskan kata dari makna! Diksi, saya sedang mempelajarinya dan mencarinya...
makasih mas Edi, sangat bermanfaat sekali artikel ini, bikin nambah semangat nulis :)
senang jika ada manfaatnya yaa
Huaaa, keren. Mataku hingga tak sanggup melirik ke arah lain, selalu saja gatal ingin kembali melihat materi yang ada pada halaman ini. Menulis ialah hobi, materi ini menambah kekuatanku untuk menulis kembali. Berusaha membuat buku yang tidak mengejar target, tapi lakukan sepenuh hati *Achuhkan saja XD*
Dyuhh byuungg
Keren kakak^^
Wah, dari ini aku tau gimana perjalanan kakak dari nol sampai di titik ini
Makasih ilmunya, makasih motivasinya, makasih juga nasehatnya ;)
mampir
coba liat tulisan gue, ada banyak diksi lucu. di kucingterbang2.blogspot.com
Menarik Pak