ANGGAP SAJA ORANG INDONESIA BODOH SEMUA, SU….

Oleh Edi Akhiles

Friday, January 23, 2015

Bagikan :

Tweet

Indonesia memang penuh kedahsyatan. Salah satu kedahsyatan yang menakjubkan ialah ada anak muda usia 19 tahun mendapat kucuran kredit sebesar 59 milyar. Catat, milyar lho, Man! Rakyo hasssyuuunan to #plakk!

Andai saya adalah ayah anak itu, sebutlah saya orang kaya dengan aset yang bisa dipakai untuk merenteng gadis-gadis yang doyan telanjang di Facebook itu, saya tetap akan mikir seribu kali untuk membiarkan anak semuda itu “main-main” dengan duit pinjaman sebanyak itu. Sebagai orang tua yang baik (iya, catat, BAIK, jadi kalau TIDAK BAIK, ya ndak usah mikir lagi), saya pasti akan menempa anak saya untuk belajar berbisnis yang kecil-kecil dulu. Misal buka kafe, game online, studio musik, salon spa, hingga makelar amiin yang sanggup janjiin semua masalah hidup langsung tandas dengannya.

Kenapa?

Akal sehat saya mengatakan, anak semuda itu masih fakir pengalaman berbisnis, belum lagi dhuafa’ cinta. Ia harus ditempa pengalaman-pengalaman dulu, dari soal manajemen bisnis, menjaring relasi, hingga ber-attitude. Lha wong bisnis apa pun, sekecil apa pun, selain soal teknis manajemen itu, yang paling pokok itu ialah soal “bisnis emosional” dulu to. Gimana caranya nyenengin relasi, klien, customer, seluruh stake holder, yang tentu saja cukup sulit untuk mak bedunduk dipahami sepenuhnya oleh anak muda segitu. Bila ada anak semuda itu dipercaya sudah piawai memahami “bisnis emosional” itu, ah itu sangat melanggar fitrah anak muda untuk galau, mengkhayal, nakal, dan main-main. Jadi, sangatlah berisiko untuk menjejalkan bisnis raksasa pada anak seusia itu. Dan, saya ndak mau anak saya itu kemudian terjerat utang sedahsyat itu.

Sayangnya, ndak semua orang tua itu punya akal sehat memang. Ada aja sih orang tua yang saking berhasratnya untuk mengangkat derajat ekonomi keluarganya ke level multinasional, lantas menutup mata terhadap potensi kekacauan bisnis besar di tangan anak muda. Bahasa geblegnya begini, “Ndak apa-apa, Nak, mumpung Ayah punya pangkat, disegani banyak orang, ayooo kamu mau pinjam berapa. Kalau ntar bisnismu ambrol, atau duitnya malah kamu habisin, ndak apa-apa, Ayah bisa mengatasinya, kok.”

Ya, itu bahasa ayah yang gebleg. Kegeblegan ini rupanya belakangan disadari oleh sang ayah, sehingga ia digerakkan oleh Tuhan untuk menyelamatkan masa depan anaknya dari potensi lilitan hutang bejibun itu. Maka, sang ayah berkata lagi pada anaknya, “Nak, demi keamanan uang kredit itu, apalagi Ayah memang seorang pengaman terkemuka, tranferin ya uang pinjaman itu ke rekening Ayah.”

Sebagai anak yang baik, menurutlah ia. Ditransfernya uang bejibun itu ke rekening ayahnya. Belakangan, dalam hitungan hari, kawan-kawan ayah itu menyusun strategi berkedok “benar”, diutak-atik itu barang yang sudah dicabut tahun 2010 untuk dihidupkan lagi, lalu dalam 4 hari ditangkaplah itu Bambang Widjajanto; soal alasan, argumen yang kelihatan benar secara normatif, ah apalah yang ndak bisa di sini. Jangankan hukum formal, lha wong dalil-dalil qath’iy aja mudah kok dicariin jabarannya. Mau minta argumen berdasar dalil apa untuk membenarkan kuarepeee? Ya, gampang, tinggal deal-nya aja gimana.

Lambe kok yo…

Soal tujuan awal dikucurkannya pinjaman untuk berbisnis pertambangan dan properti itu,  biarkanlah ia tetap menjadi sebuah ide cerita pendek yang tak layak muat di koran manapun. Cerpen yang dikarang oleh seseorang yang ndak pernah ikut pelatihan menulis atau sekadar membaca Silabus Menulis Fiksi sehingga ia sangat awam untuk sekadar memahami bahwa logika cerita merupakan unsur pokok dalam mengarang fiksi.

Ya tentu saja, ndak pernah ada yang salah dengan sebuah cerita fiksi. Bagaimana pun kondisinya ia. Apa pun boleh dilakukan oleh sang pengarang, seperti membuat cerita yang mengisahkan sang tokoh cemburu pada seseorang yang bukan pacarnya gara-gara diapelin oleh seseorang lainnya yang juga bukan pacarnya (imaginary relationship post-power syndrome). Jadi, tokoh jomblo cemburu pada jomblo yang ditamuin jomblo lainnya.

Ya, boleh saja to. Apalagi, jika kamu termasuk pengarang yang menganggap semua orang Indonesia ini bodoh-bodoh, sehingga kamu berpikir semua orang akan muntuk-muntuk saja pada “logika cerita” yang kampret itu. Celakanya, sikap absurd pengarang ini didukung oleh para codot yang bertamu ke rumahnya sore itu…

Catatan: kampret adalah kelelawar pemakan serangga. Codot adalah kelelawar pemakan buah. Keduanya sekawan, seiringan; mangapan!

Tag : Yang Serba Nakal