“PAGI KEDELAI, SORE TEMPE, BESOKNYA TAHI”

Oleh Edi Akhiles

Tuesday, December 17, 2013

Bagikan :

Tweet

Seorang lelaki ahli agama, yang hapal ribuan hadits, berkata tegas pada istri yang memunggunginya di atas spring bed, “Malaikat akan melaknat istri yang tidak melayani suaminya sampai sang suami memberikan maaf padanya. Itu hadist, ingat ya…”

Sang istri hanya diam memejamkan mata mendengar sergahan suaminya. Ia hanya merasa sangat lelah, ngantuk tak terkira, pengin tidur. Tak sampai lima menit, terdengar dengkurnya berkelana di saantero kamar itu.

Dengan menahan marah, lelaki ahli agama itu keluar kamar sambil menggulung sarungnya yang kedodor. Menutup pintu dari luar, geleng-geleng kepala, lalu melangkah ke mushalla di belakang sambil mengusap ti**tnya yang perlahan beringsut lelap penuh lara.

****

Malam Sabtu lalu (13-12-2013), seorang kawan peserta diskusi rutin di #KampusFiksi mengangkat “normativitas dan historisitas agama”. Ya sih, ini istilah lama dalam studi agama. Gampangnya, nomativitas itu dalil (ayat, hadits), sifatnya Ilahiyah. Historisitas itu paham, tafsir, atau pemikiran yang bersifat manusiawi. Dalam praktik hidup, keduanya kawin, jadilah ia “agama”, termasuk Islam.

Saya tergelitik berpikir saat itu, betapa sungguh sangat sulit membangun batas yang jelas, apalagi tegas, antara normatif dan historis ya. Prof. Amin Abdullah bilang, “Normatif dan historis itu bak koin uang, satu sisi dengan sisi lainnya berbeda tapi tak pernah bisa dipisahkan.” Keduanya terdefinisikan dengan berbeda, tetapi dalam praktiknya selalu berpelukan. Tak terpisahkan.

Dengan berkelakar, saya sampaikan cerita tentang lelaki ahli agama tersebut di forum ilmiah itu. Kawan-kawan ngikik semua. Ada yang sampai guling-gulingan sambil memegang ti**tnya. #Entahkenapa.

Apa yang dikatakan lelaki ahli agama itu sangat jelas normatifnya. Tetapi konteks situasi yang melatari keluarnya dawuh itu jelas historis. Haditsnya sih normatif, tapi tegaknya ti**t historis. Jelas kan? Lol.

Lelaki ahli agama itu kecewa berat lantaran sungai berahinya yang begitu banjir tidak teralirkan ke kanal sawahnya yang hanya satu-satunya. Tanpa ampun, di antara kepentingannya yang terpatahkan, normativitas yang dihapalnya melesat. Normativitas yang dibalut kuat oleh historisitas ti**tnya. Lol.

Susah benar bedain batas normatif dan historis, kan?

Saya tiba-tiba teringat statemen Dr. Nurhaidi di kelas kuliah tahun silam, bahwa: “Everybody of us will say and do according to his interests in front of social, economy, politic, culture, and religion structure.”

Note: interest alias kepentingan.

Setiap kita menempuh hidup dalam bidang apa pun jelas berdasar kepentingan. Itu manusiawilah. But, pertanyaannya kini ialah bagaimana supaya kemasan kepentingan kita tetaplah bersifat manusiawi, bukan hewani atau setani, kan?

Hari ini kamu sayang-sayangan sama seseorang, wajarlah kamu akan mengelukannya. Satu kepentingan sih. Minggu depan kamu putus dengannya, pecah kepentingannya. Tantangannya saat kepentingan tak lagi satu ialah bagaimana supaya omongan dan sikap kita tidak menjadi hewani atau setani, kan?

Putus sih putus, manusiawi aja. Tapi akan menjadi hewani atau setani bila kemudian membuatmu memaki, merendahkan, menjelekkan, memfitnahnya, kan?

“Aku putus ma dia karena mulutnya bau naga!” Hello, emang kemarin-kemarin naganya dikemanain kok baru tahu?

Orang yang ngebet pengin nikah 4 (historis), woooo itu ayat tentang poligami (normatif) bisa banget diolah untuk mengesahkan penginnya. Begitu juga orang yang serakah sama harta (historis), woooo mudah banget mencari dalil normatifnya untuk tidak mubazir karena mubazir itu kawan setan. Demikian juga orang yang melempem nggak berani berbuat apa-apa (historis), woooo ringan banget untuk mencari dalil pengesahannya (normatif) bahwa “sebaik-baik urusan ialah tengah-tengahnya”. Sama pula itu sang poliTIKUS yang mengkritik Kapolri yang demen pakai Innova, bukan mobil dinas mewah (historis), woooo jenius bangetlah mencari regulasi normatifnya yang mengesahkannya untuk tidak malu tertampar.

Ya, berjubellah kisah lainnya yang memperlihatkan betapa setiap kita berkiblat pada kepentingan. What we say, what we do, based on it. Yang normatif dan historis selalu berada dalam pola begitu. Tapi yang yang penting sih tetap dalam frame manusia. Bukan hewan atau setan.

“Pagi kedelai, sore tempe,” itu laku hidup kita semua yang kan berubah sesuai berubahnya kepentingan. Asal jangan “Besoknya tahi.” Kalau tahi, insya Allah semua kita enggan menelannya, sekalipun diolah semur, rendang, sate, sosis, nugget, french-fries, atau takoyaki. Njijiki…

Jogja, 18 Desember 2013

Tag : Yang Serba Nakal