Bolehkah mengucapkan selamat Natal kepada sahabat, tetangga, dan
kolega yang merayakannya? Setiap jelang Natal, perdebatan tentang ini selalu
menyeruak ke permukaan. Tanpa henti, terus terulang dan terulang. Kalangan yang
menolak biasanya mengaitkan hal itu dengan masalah akidah yang harus dipelihara
ketat. Kalangan yang membolehkan biasanya melihatnya sebagai masalah
etika-sosial.
Melalui tulisan ini, saya akan mengkaji hal tersebut dengan perspektif
studi Islam yang akademik.
Dalam studi Islam, dikenal dua hal yang selalu melandasi lahirnya
sebuah pemikiran, paham, mazhab, dan tafsir, dalam konteks apa pun.
Normativitas (dalil-dalil naqliyah, ayat-ayat dan hadits-hadits) dan
historisitas (aqliyah, nalar, latar seseorang, kelompok). Dalam istilah
lama Prof. Amin Abdullah, dua hal itu disebut “bak mata uang yang satu sisi
dengan sisi lainnya berbeda tapi tak bisa dipisahkan.” Dalam istilah berbeda,
para cendekiawan muslim semacam Rasyid Ridha, Yusuf Qardhawi, Fazlur Rahman,
Abdullah Saed, Abdullah Ahmed an-Naim, Muhammad Abid al-Jabiri, hingga Quraish
Shihab juga mengenal pemahaman yang sama. Bahwa sebuah dalil tidaklah mungkin
berdiri di atas kakinya sendiri tanpa melibatkan peran nalar (logika) manusia
sebagai penafsirnya. Manusia tidaklah mungkin berangkat dari ruang kosong.
Selalu ada latar pengetahuan, sosial, ekonomi, politik, dan ideologi yang
lokalistik yang melandasi lahirnya sebuah tafsir terhadap dalil-dalil.
Dalam teori hermeneutika (ilmu tafsir, sederhananya begitu), juga
dikenal pemahaman yang sama: fusion of horizons (peleburan cakrawala
teks dengan penafsirnya).
Jika statemen ini dinilai terlalu modernis, apalagi liberalis, marilah
coba teliti sejarah pasca meninggalnya Nabi Muhammad Saw. Sebagai misal, seorang
sahabat nabi, Abdullah bin Umar, berbeda paham dengan Utsman bin Affan, Ibnu
Abbas, Thalhah, Jabir, dan Khuzaifah tentang boleh/tidaknya seorang muslim
menikahi perempuan ahlul kitab.
Demikian pula terjadinya perbedaan pandangan pasca meninggalnya
Khalifah Ali bin Abi Thalib tentang siapa yang berhak menjadi khalifah, yang
melibatkan kelompok Hasan bin Ali yang didukung para sahabat Madinah, yang berujung pada sejarah kelam dalam dunia Islam berupa terbunuhnya Husein bin Ali di Karballa, yang terjadi bukan atas perintah Yazid, tetapi karena “kekacauan suasana lapangan”, yang begitu membuat
Yazid amat bersedih dan menyesalinya.
Demikian pula di era selanjutnya, kita menyaksikan beragamnya
perbedaan di kalangan ahli Fiqih dan Tasawuf. Di dunia Fiqh, kita kenal empat
imam mazhab besar paling populer (meski di luarnya juga sangat banyak), yang
berbeda-beda pahamnya, tetapi mereka adalah saling berguru dan menghormati.
Imam Syafi’ie pernah menuliskan, “Umpama tidak ada Imam Malik, maka tidaklah akan
ada Imam Syafi’ie.” Beliau juga pernah menuliskan, sebagaimana dikutip Ali
Harb, “Kebenaran dalam pandanganku mengandung kesalahan dalam pandangan orang
lain dan kebenaran dalam pandangan orang lain mengandung kesalahan dalam
pandanganku.”
Dalam kitab yang ditulis Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushul Fiqh,
disebutkan bahwa Ibn Mas’ud pernah diutus oleh Rasulullah ke wilayah Irak.
Beliau lalu memutuskan suatu perkara berdasar ijtihadnya karena tidak menemukan
tuntunan dari Rasulullah, dan kemudian sekembalinya ke Madinah, dia melaporkan
hal tersebut kepada Rasulullah. Rasulullah mengiyakan, pertanda memperbolehkan
Ibn Mas’ud mengambil penafsiran tersebut.
Khazanah tersebut memperlihatkan betapa jutaan perbedaan paham,
tafsir, adalah keniscayaan, yang logis terjadi setelah meninggalnya Rasulullah
sebagai satu-satunya “pembuat hadits” yang menafsir ayat-ayat al-Qur’an. Tidak lagi
tersedianya hadits baru (sepeninggal Rasulullah) sebagai penafsir al-Qur’an merespons
dinamika kehidupan umat Islam yang terjadi kemudian meniscayakan lahirnya
ulama-ulama sebagai waratsatul anbiya’ beserta ribuan kitab hasil
ijtihadnya.
Sampai di sini, dengan contoh-contoh sejarah tersebut, sesungguhnya
menjadi sangat terang bagi kita bahwa keragaman tafsir terhadap dalil apa pun dalam
al-Qur’an dan hadits sebagai dua sumber utama hukum Islam, merupakan sunnatullah,
keniscayaan, yang bersumber pada “begitu terbukanya dua sumber itu untuk digali
tanpa henti” (itulah sebabnya disebut rahmatan lil-‘alamin (berlaku
sepanjang masa) dan shalih likulli zaman wa makan (sesuai untuk setiap
tempat dan masa)) dan begitu variatif-dinamisnya situasi hidup umat Islam di
banyak wilayah dan masa.
Normativitas dan historisitas benar-benar mata uang yang berbeda
satu sisi dengan sisi lainnya tapi tidak pernah bisa dipisahkan. Mencabut dalil dari lingkaran kehidupan riil
umat Islam, termasuk dengan dalih menjaga otentisitas dalil, sama dengan mencerabut
kontekstualitas dalil dari kehidupan nyata, atau, menjauhkan umat Islam dari
ajaran dalilnya sendiri. Dan jelas ini pekerjaan yang tidak perlu dikerjakan
karena hanya akan memicu kemunduran dinamika keilmuan Islam.
Lantaran normativitas dan historisitas adalah padu, sudah selayaknya
setiap wilayah memiliki khazanah tafsir sendiri, yang dirasa lebih sesuai
dengan kondisi tempat dan masanya. Ya, grab it, tempat dan masanya.
Islam di Indonesia, karenanya, tidaklah layak dipaksa seragam dengan
Islam Arab Saudi, Irak, Qatar, atau pun Finlandia. Islam Indonesia adalah Islam
Indonesia, yang boleh jadi praktiknya berbeda dengan Islam Arab Saudi dan
Finlandia.
Mempertanyakan Islam manakah yang lebih benar, sangat tidak memiliki
manfaat apa pun. Tidak ada relevansinya sama sekali. Pertanyaan sejenis itu
serupa dengan menjejerkan dua anak kandung untuk ditanya: anak sulung atau bungsukah
yang lebih anak kandung?
Sia-sia, bahkan (maaf) kekonyolan belaka.
Islam Indonesia tidaklah kurang nilai keislamannya dibanding Islam
Arab Saudi, sekalipun keduanya memiliki karakteristik paham, adat, dan bahkan ideologi
aliran yang berbeda, sehingga pahamnya pun berbeda.
Misal, orang muslim Saudi “terbiasa” berjubah, bukan hanya dalam
shalat, tapi juga saat berdagang, berjalan-jalan, dan bahkan mengemudi bus. Orang
Indonesia mayoritas bercelana atau bersarung saat shalat. Mempertanyakan lebih
Islami mana antara sarung/celana dengan jubah hanyalah kesia-siaan belaka,
bukan?
Orang Saudi yang patriarkis tidak memberikan ruang bagi kaum
perempuan di ranah publik. Perempuan bahkan dilarang menyetir. Budaya Indonesia
jelas sangat berbeda dalam hal ini. Jangankan menyetir, di sini perempuan menjadi
bupati, bahkan presiden pun, adalah absah. Apakah lantas masih penting
mempermasalahkan kepemimpinan perempuan di Indonesia lantaran semata berkiblat
pada Islam Saudi? Tentu, itu kesia-siaan belaka.
Al-Qur’an dan haditsnya yang dipakai orang Islam Saudi sama persis dengan
al-Qur’an dan haditsnya yang dipakai orang Islam Indonesia. Itu normativitasnya. Tetapi
historisitas Saudi sangat jauh berbeda dengan historisitas Indonesia. Maka
wajar sajalah bila fusion of horizons orang Indonesia berbeda telak
dengan fusion of horizons orang Saudi. Sekali lagi, hasil perkawinan
normativitas dan historisitas itu bersifat
lokalistik, dan semuanya anak kandung Islam, dan tidak sahih untuk mengemaskan
yang satu atas lainnya, mensurgakan yang satu untuk menerakakan yang lainnya.
Salah satu unsur yang terlibat dalam historisitas setiap kita ialah unsur
sosial. Mari perhatikan dengan seksama bagian ini, betapa Indonesia bukanlah
bangsa yang beragama tunggal. Ada banyak agama dan aliran pula di sini.
Semuanya dilindungi oleh Undang-Undang. Jika kita bersetuju pada ayat al-Qur’an
untuk patuh pada Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antara kalian, maka selayaknya
kita patuh pada Undang-Undang kita pula.
Tidaklah mungkin seorang muslim Indonesia hidup di atas kakinya
sendiri. Kita semua niscaya hidup berdampingan, bahkan bahu-membahu, dengan
kelompok non muslim di sini. Tentu saja, sebagaimana diteorikan para ahli
Sosiologi semacam Durkheim, Weber, Bryan Turner, hingga Anthony Giddens, ikatan
sosial akan berjalan dengan dengan baik jika di dalamnya terjalin “empati”. Ya,
empati, alias saling menghormati. Orang Jawa bilang, saling nguwongke.
Mengorangkan orang, memanusiakan manusia.
Item tersebut jelas menunjuk ranah sosial sebagai elan vital kehidupan
setiap kita, termasuk kaum muslim Indonesia. Otomatis logis sajalah bila wajah
Islam Indonesia adalah wajah yang menguwongke wong, lintas agama dan
aliran, tanpa merasa gentar berkurang nilai kemuslimannya.
Tentu saja saya bersetuju bahwa relasi sosial sebaik apa pun dengan
non muslim tidak boleh mengikis akidah kita. Itu jelas harga mati. Akidah
adalah akidah, sosial adalah sosial. Namun buru-buru harus saya nyatakan di
sini bahwa akidah Islam yang bersimbol pada syahadat sesungguhnya merupakan taqrir
personal (sumpah, ketetapan hati) untuk berpatuh pada Allah dan Rasul-Nya yang
bukan hanya berskala spiritual, transendental, tetapi juga meliputi laku sosial.
Ya, totalitas kepatuhan secara ukhrawi dan duniawi, yang aktualisasinya
didasarkan pada dalil-dalil naqly dan tentu aqly.
Logika ini sangat mudah dicerna jika kita melihat beberapa contoh dalil
berikut:
“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (ayat)
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari kekejian dan kemungkaran”
(ayat)
“Umpama Aku menghendaki, maka seluruh manusia akan kujadikan satu
umat. Tapi (itu tidak dilakukan) sebagai ujian bagimu…” (ayat)
“Janganlah kau berjalan di muka bumi ini dengan sombong.
Sesungguhnya kau tidak akan mampu menembus bumi dan menyamai tingginya gunung”
(ayat)
“Jika engkau dihormati dengan sebuah penghormatan, maka
hormatilah dia dengan penghormatan yang lebih baik…” (ayat)
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang
berbuat kerusakan…” (ayat)
“Serulah mereka kepada jalan Allah dengan nasihat yang baik dan
debatlah mereka dengan (cara) lebih baik” (ayat)
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”
(hadits)
“Sebaik-baik orang di antara kalian ialah orang yang paling
bermanfaat bagi orang lain” (hadits)
“Bicaralah yang baik atau diamlah” (hadits)
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasadmu dan juga wajahmu,
tetapi Allah melihat pada hatimu” (hadits)
“Haji (umrah) mabrur itu tidak ada balasan baginya kecuali surga.
Sahabat bertanya: Apa itu mabrur, Rasul? Rasul menjawab: Menebar keselamatan
dan berbagi makanan (rezeki)” (hadits)
Dapat disimpulkan kini bahwa semakin kuat akidah seorang muslim,
niscaya semakin baik laku sosialnya. Laku sosial merupakan manifestasi dari
kualitas akidah. Semakin khusyuk shalatnya, maka semakin jauhlah ia dari
potensi laku merusak dan menyakiti orang lain. Semakin mabrur haji seseorang,
maka semakin luaslah tebaran kedamaian dari tangannya. Semakin dalam nilai
kemusliman seseorang, niscaya semakin santun perilakunya terhadap siapa pun.
Jelas hanyalah sebuah omong kosong belaka jika ada saudara muslim
yang mati-matian mengganggu, melecehkan, menyakiti, dan apalagi memerangi orang
lain (yang beda aliran atau agama dengannya) atas nama menegakkan akidah
Islamiyah, lantaran hal itu sangat tidak selaras dengan esensi syahadat itu
sendiri (sepanjang mereka tidak mengganggu agama kita). Ia pun tak sejalan
dengan “islam” sebagai sebuah masdar dalam ilmu Tashrif, yang
secara etimologis dan epistemologis bermakna “kedamaian” dan secara aksiologis bermakna
pengejawantahan perilaku yang penuh kedamaian.
Bersyahadat, bershalat, berpuasa, berzakat, dan bahkan berhaji jelas
adalah kebaikan rukun Islam. Namun jangan alpa, bahwa jauh lebih berharga lagi agar
pelaku rukun Islam itu berhasil menampilkan dirinya sebagai bagian dari “pencegah
kekejian dan kemunkaran” yang paralel dengan “penebar kedamaian”. Ibda’
binafsika, mulailah dari dirimu sendiri, merupakan ajaran dasar Rasulullah
untuk menegakkan kedamaian tersebut.
Patut pula dicamkan di sini sebuah ayat dari surat al-Maidah ayat
65, bahwa kafirun adalah fasiqun. Orang kufur itu adalah orang
yang berbuat kerusakan. Kerusakan bukanlah semata membunuh, berjudi, minuman
keras, tetapi sekaligus tidak memenuhi hak orang lain, menyakiti orang lain,
menghina orang lain, dll. Maka mari kita introspeksi apakah kita yang mengaku
telah beriman ini, yang bersyahadat ini, bershalat ini, berpuasa ini, berzakat
ini, dan berhaji ini, merupakan bagian dari fasqiun atau tidak. Jika
ternyata ada bagian dari laku kita yang berpotensi merusak, sebaiknya kita
buru-buru mengevaluasi kadar keimanan dan kemusliman kita. Ya, sebaiknya,
mumpung hayat masih dikandung badan.
Dalam kaitan ini, tafsir kafirun yang dituliskan Sayyid Qutb
kian mempertegas, bahwa kafir itu bukan semata karena lidzatih (tidak
bersyahadat), tetapi sekaligus lifi’lih, karena perbuatannya, yang meliputi
segala macam perbuatan yang bertentangan dengan sifat kedamaian. Korupsi adalah
satu contoh kekufuran menurut tafsir ini.
Akidah, sekali lagi, adalah ikrar personal, yang aktualisasinya
tercermin dalam laku komunalnya. Sama persis dengan saya bilang sayang pada istri
sebagai ikrar personal, yang seharusnya tercermin dalam laku sayang saya secara
nyata pada keluarga dan sahabatnya, bukan?
Orang yang begitu cemas akan ternodai akidahnya lantaran bergaul,
bertetangga, bersahabat, dan menghormati kelompok non-muslim selayaknya
merenungkan kembali tentang relasi akidah dan laku sosial tersebut.
Sebagai bahan renungan, coba cermati kutipan berikut ini:
Pada 628 M, utusan dari Biara St. Catherine, yang terletak di kaki
gunung Sinai (kini termasuk wilayah Mesir), menghadap Rasulullah untuk memohon
perlindungan. Rasulullah menyanggupi dengan memberikan mereka piagam
perlindungan tanpa syarat apa pun. Berikut bunyinya, sebagaimana saya kutip secara
utuh dari Dr. Muqtader Khan, Direktur Program Studi Islam di University of
Delaware:
“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai
perjanjian dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun
mereka berada, kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para
pengikutku sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi
Allah, aku akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh
ada paksa atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari
jabatannya, demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun
yang menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun
darinya ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia
melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah
sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai.
Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang.
Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen
menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia
tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus
dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan
tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat
muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”
Sebagai tambahan, dalam Ilmu Ushul Fiqh, yang diakui keabsahannya
oleh jumhur (mayoritas) ulama, ada satu metode penggalian hukum (istinbath
al-hukm), yakni al-‘adah al-muhakkamah (adat, kebiasaan, tradisi lokal
yang dijadikan dasar pengambilan sebuah hukum). Orang Indonesia yang hidup
bertetangga atau bekerjasama dengan non muslim adalah sebuah fenomena “adat,
kebiasaan”, yang jika dikaji dengan metode al-‘adah al-muhakkamah tersebut
adalah sebuah situasi yang harus dijadikan dasar penetapan sebuah hukum Islam.
Ada yang begitu cemas bahwa jika
saya mengucapkan “Selamat Natal”, dikhawatirkan akidah saya akan
ternodai. Logika yang lazim dipakai rata-rata seperti ini: mengucap selamat
Natal merupakan bagian darinya, akidah saya akan ternodai.
Berucap “Selamat Natal” secara lisan, sebagai sebuah etika sosial berkawan
atau bertetangga pada non muslim yang berucap “Selamat Idul Fitri” pada kita
yang muslim, tidak sebagai taqrir hati, apalagi terlibat kegiatan ritual
Misa Natalnya, bukankah tidak ada kaitan sama sekali dengan akidah dalam artian
iman, melainkan semata laku etika sosial?
Kawan kita yang non muslim saat berucap “Selamat Idul Fitri” pada kita,
bukankah mereka tidak menyematkannya dalam taqrir hati, layaknya kita
berucap “Selamat Natal” pada mereka?
Berucap “Selamat Natal” jelas berbeda dengan ikut Misa Natal.
Berucap “Selamat Idul Fitri” jelas beda
dengan ikut shalat ‘Ied. Kita sangat bisa menjaga akidah tetap tancap di dalam
hati, sekalipun lisan kita berkata “Selamat Natal” pada kawan non muslim sebagai
etika sosialnya tanpa perlu ikut kegiatan Misa Natalnya, bukan?
Pun memberikan kado Natal pada kawan non muslim tidaklah memiliki korelasi
makna dengan taqrir hati tersebut. Kado adalah kado, simbol penghormatan
dan kasih sayang pada orang lain. Serupa saya mengucapkan “Happy Marry”
pada seorang kawan yang menikah, lalu saya menyertainya dengan sebuah kado
sebagai simbol sobatan, bukankah tidak berarti saya yang menikahi
mempelainya, bukan?
Saya mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” pada seorang kawan, dan saya
memberinya sebuah kado, bukankah itu tidak bermakna bahwa sayalah yang sedang
berulang tahun, bukan?
Mengucapkan “Selamat Natal” pada kerabat, sahabat, tetangga, atau
kolega yang merayakannya jelas merupakan urusan furu' (cabang), bukan ushul
(pokok/dasar) dalam ilmu Ushul Fiqh. Karena furu', ia tidak memiliki
landasan naqliyah. Jika ushul yang ada naqilyahnya
(normativitas) saja bisa ditafsirkan selaras sebaik-baiknya dengan ragam
konteks kekinian dan kedisinian sebagai historisitasnya, dalam semangat dasar islam
yang menebar kedamaian, plus ditopang keteladanan kepemimpinan Rasulullah di
Madinah, plus piagam yang saya kutipkan di atas, plus serentetan kajian yang
telah saya uraikan tersebut, apalagi hal yang furu'. Tidaklah logis
untuk dicerna sesuatu yang furu' mengalahkan yang ushul; sesuatu yang
elementer mengalahkan yang substansial; akidah Islam yang berjiwakan kedamaian
dikalahkan oleh remah-remah paham pertikaian.
Sebuah nasihat dari kaum ulama Ushuliyyun (pakar hukum Islam)
layak kita camkan di sini: “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih”
(menghindarkan sebuah keburukan jauh lebih diutamakan daripada meraih sebuah kebaikan).
Mengucap “Selamat Natal” pada kerabat, sahabat, dan kolega demi
mengail kebaikan dan harmoni sosial jauh lebih diutamakan daripada berdakwah di
tempat-tempat terbuka dengan niat libtigha’i mardhatillah sekalipun,
yang berujung pada menyakiti perasaan saudara-saudara sebangsa yang beda
keyakinan. Kalaupun Penjenengan tetap keukuh bahwa mengucap “Selamat
Natal” tidak layak dilakukan seorang muslim, mari lakukan itu di tempat-tempat
terbatas sesama muslim, jangan sampai didengar saudara-saudara non muslim, demi
menghindarkan rasa sakit hati mereka, apalagi sampai memicu disharmoni sosial di
negeri ini.
Tweeter atau Facebook yang “ciptaan”
non muslim sebagai social media yang terbuka untuk semua orang, termasuk
non muslim, selayaknya dijadikan sarana berdakwah yang menebar kebaikan dan
kedamaian, bukan tempat muslim menyakiti perasaan non muslim atau sebaliknya.
Cari jodoh jelas boleh lewat social media.
Terlalu sayang, ya teramat sayang, jika Indonesia yang beragam ini
terluka hanya oleh hal-hal furu', yang diumbar dengan begitu phobia
oleh sekelompok orang atau ustadz yang sepertinya memerlukan jelajah fusion
of horizons dengan lebih jauh dan jeli lagi.
Buat kawan-kawan yang merayakan Natal, saya ucapkan “Selamat Natal
ya…”.
Juga buat kawan-kawan yang masih jomblo, saya doakan kalian segera
dientaskan dari kegalauan dan dapat jodoh yang baik. Buat kawan-kawan yang
sudah punya kekasih, saya doakan segera dilamar. Buat kawan-kawan yang sudah
dilamar, saya doakan segera dinikahi. Buat kawan-kawan yang sudah dinikahi,
saya doakan segera dikaruniai anak yang shalih/shalihah. Oh ya, buat
kawan-kawan yang masih di-PHP, saya doakan segera diberi kepastian. Dan, tak
lupa, buat kawan-kawan yang masih LDR-an, saya doakan segera dipersatukan di
dunia nyata, bukan LCD gadget yang maya. “Kalian adalah manusia-manusia
pilihan yang sangat luar biasa!”
Wallahu’alam bis shawab. Dengan senang hati, jika ada pandangan lain, silakan membuat tulisan yang bisa saya baca ya. Alfu mabruk lakum.
Jogja, 23 Desember 2013
53 Komentar untuk "KAJIAN HUKUM MENGUCAP SELAMAT NATAL "
Ah bahagia kiranya pagi ini, Sobatku ini lengkapi kajian tentang hukum mengucapkan Selamat Natal yang jelang natal ini mulai lagi ramai jadi perbincangan. Sebuah perbincangan yang saya secara pribadi sebetulnya merasa sebagai sebagai kemunduran.
Bagaimana tidak? beraabad-abad dan kita tidak pernah menyelesaikan persoalan ini, mengulangnya dan terus mengulangnya, seakan tak ada lagi persoalan lain yang lebih penting untuk kita cari pemecahannya.
Bukankah nasib anak-anak muslim dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi lebih layak jadi keprihatinan kita, dibanding sekedar soal hukum mengucapkan SELAMAT NATAL yang lebih bersifat sebagai keramahtamahan sesama umat beragama.
Penjelasan Sahabat Edi cukup komprehensif menurut saya. Dan sebagai kandidat doktor filsafat tentu beliau memiliki otoritas yang cukup untuk berikan penjelasan ini.
Sepaham, urusan remeh gini, jadi heboh, tetangga kelaparan gak ada yg ngurusin. ini islam model apa? memprihatinkan.
Subhanallah,
Betapa indahnya menjadi islam yg demikian..
Diatas sudah dibahas kalau kita ini Islam Indonesia, tapi kok malah fatwa MUI tidak dilampirkan bang?
Uday: berkah panjenengan meliputi umat semua
Suci:mari bersama2
Arif: saya tdk begitu feel so good ma sebagin fatwa simbah2 itu heee . Ya anggap sj saya msh anak muda kurang asam garam. Biar yg lain aja yg melengkapinya
Nilai-nilai pluralisme terkandung di tulisan ini. Mengingatkan kita pada sebuah ajaran islam bahwa Islam itu rahmatan lil aalamin. Semoga bermanfaat. Selamat Hari Raya Natal untuk saudara-saudara se negara dan secinta tanah air
Natal, Hari Raya Bangsa Iran :: StPiningit Blog http://helmijuni.blogspot.com/2013/05/natal-hari-raya-bangsa-iran.html
Terimakasih bahasannya, janganlah kita terpecah untuk hal yang seharusnya tidak pernah terjadi di Indonesia :)
Ijin Share
Hermenetika ya Mas??
Nabi sudah mengajarkan bgaimana menafsirkan Al Qur'an Mas?? :)
Ko malah pake metode yg gak jelas.. :D
PMI: thx sudah membaca
Insan Swiss: adakah? Saya mau menyimak penjelasannya nih tentang metode tafsir al-Qur'an yang diajarkan Nabi dimaksud *nyimak* :)
Loh, lha gimana tha? Saya cuma mengutip ini,
"Islam di Indonesia, karenanya, tidaklah layak dipaksa seragam dengan Islam Arab Saudi, Irak, Qatar, atau pun Finlandia. Islam Indonesia adalah Islam Indonesia, yang boleh jadi praktiknya berbeda dengan Islam Arab Saudi dan Finlandia."
Bukannya kita sebagai muslim Indonesia yang baik itu menuruti fatwa yang ada di negaranya masing-masing ya, karena pasti yang memberi fatwa itu tahu keadaan di negeri mereka masing-masing.. Dan dalam kasus ini MUI, kok malah tidak disinggung sama sekali diatas.. Maaf, setahu saya masalah ini juga sudah disinggung MUI, walau saya belum tahu jelas, tapi saya tertarik nih.. :)
Jangan gitu lah mas, saya juga masih SMA kok, lagian situ fotonya sudah sama akhwat, berarti kan sudah punya hubungan hehe, pasti lebih tua dari saya, kita sharing saja.. ^_^
Walau tidak tahu kalau seumpama itu saudara anda ya, hhe, maaf
buat mas arif: itu pak edie sama Alm. ibundanya mas... next tanya dulu ya... haha
buat pak edie: ukhhhh bapak yang satu ini, suwun sanget pak wacana tambahannya yang begitu subhanallah banget... :')
La haula wala quwwata illa billah.. Iya Pak Edi, maaf, saya orangnya memang suka nebak, tapi kalau sudah terlanjur salah insya Allah jujur maaf.. Jangan ditertawakan dong.. :)
mestinya pandangan MUI ya ini, bukan kripik singkong yang difatwakan kemarin itu. Metodenya Insan Swiss van Java gak muncul, mungkin sedang tidur kali atau jalan-jalan
Maaf, tapi saya lihat karena banyak perbandingan di tulisan Bp.Edi masih terlihat ganjil.. Contohnya perbandingan antara Ied dg Natal.. Apa itu benar sepadan, saya jadi tertarik.. Mohon tanggapannya, biat sama" dapet ilmunya.. Soalnya saya juga tidak pintar buat tulisan.. Alhamdulillah, kalau bisa diskusi disini saja.. :)
Mas Edi menulis yang seperti ini pastilah bukan dalam ranahnya sebagai Rektor Kampus Fiksi. hehe... kajian hukumnya cukup lengkap, dan yang paling penting: enak dibaca oleh orang awam seperti saya.
Ya, mengucapkan natal adalah masalah furu', fiqih ijtihadiyah, niscaya menimbulkan kontroversi. Jadi saya kira kita tidak harus manut sama fatwa MUI. MUI itu mewakili siapa? Mewakili madzhab dan golongan apa? ya, MUI mungkin semacam madzhab atau golongan atau ormas tersendiri. kalau ia menelorkan fatwa, maka sesungguhnya itu adalah memberikan alternatif saja, sebagaimana NU dengan Bahtsul Masailnya atau Muhammadiyah dengan Majlis Tarjihnya.
hehe..
salam
Izin share, ya, kakak...
mas edi sudah cukup sangat jelas memberikan masukan/penjelasannya.dan sepaham dengan saya..
wawan: iya sy pribadi nggak puas dengan fatwa2 MUI yang begitu lantang pada remah-remah, tp tak terang pada hal-hal besar. Sy dulu pernah ngetweet: MERINDUKAN MUI MENGELUARKAN FATWA KORUPTOR ADALAH KAFIR. tentu banyak studi bisa dilakukan, melibatkan banyak akademisi dan cendekiawan ya. ya semoga kelak MUI diisi muslim-muslim yang berani menyentuh hal-hal besar begitu :)
adek: iya silakan dek :)
ayat: makasih berkenan membaca
Gus Yusuf: saya selalu sami'na wa kato'na ma njenengan Gus haaaa
Arif: menurut saya selevel, sama-sama ritual agama. mungkin panjenengan merasa ganjil lantaran panjenengan adalah "insider" ya, kalau njenengan meletakkan diri sebagai akademisi yang tertuntut metodologis, sebutlah insider, saya kira itu mudah kok dipahami. Heee, mas coba baca-baca buku STUDI ISLAM, kebetulan grup DIVA yang menerbitkan *bkan iklan ini suerr*, atau buku-buku lain tentang INSIDER-OUTSIDER IN ISLAMIC STUDIES
Yani: makasih udah baca dek *kutunggu novelmu nongol di toko buku*
MAKASIH SEMUA KAWAN YANG UDAH BACA DAN KOMEN DENGAN SEJUK. SAYA SENANG SEKALI DENGAN KESEJUKAN INI KARENA ITULAH KARAKTER CENDEKIAWAN DAN MUSLIM YANG BERAKHLAK KARIMAH *Daebakkkk*
Maksudnya insider gimana Pak?
Ngapunten ya, apa partai *** itu? Maaf ya, saya tidak memanggil diri saya apapun, saya masih SMA, kajian salaf saya datangi, halaqoh coba saya ikuti, diskusi ht saya dengar, wejangan saudara dan keluarga saya dengar tentang NU dan Muhammadiyah.. (bukan apa" nggih)
Tapi saya memang masih merasa haus tentang ilmu, dan rasanya tulisan-tulisan njenengan itu menarik.. Tidak penting siapa saya dan njenengan.. :)
Karena pak, jujur, insider, penerbit diva itu maksudnya apa, kalau bisa dijelaskan, apa benar dugaan saya, njengenan mengira saya aktivis partai *** itu, cuma karena saya menggunakan satu istilah sebutan asing diatas.. :) Mari share mawon :)
Jadi mulai menarik ini, maksud saya bukan levelnya.. Tapi intinya.. Bukannya inti dari Idul Fitri dan Natal itu sudah beda ya Pak?
Maaf, tapi setahu saya, natal itu perayaan untuk memeringati kelahiran anak Tuhan, menurut Nasrani.. Apa kita bisa menyelamati hal seperti ini Pak?
Maaf, ini yang agak membuat saya ganjil..
Ijinkan saya sebagai "pencari ilmu" mawon ya pak disini... Ini kan juga "Kajian".. Tanpa ada campur tangan makhluk apapun, ada yang membuat saya risih sampai sekarang dengan mengucapkan selamat natal... Karena sebelumnya, sebelum mendengar fatwa MUI, saya sudah bergetar dulu tentang masalah natal ini, ketika membaca akhir surat Maryam, mohon dibetulkan jika ada yang salah.. :)
Izin comment ya...
soal contoh yang diberikan saya kurang setuju...
1. Mengucapkan selamat pada orang yang menikah, kalau ini jelas tidak apa2 karena mereka memang benar2 dan asli menikah.
2. Mengucapkan selamat ulang tahun. Ini juga tidak apa2 dan sah2 saja karena mereka benar2 ulang tahun.
namun kedua contoh tersebut tidak relevan jika di samakan dengan mengucap selamat natal.. karena kedua contoh diatas (nikah dan ultah) bisa kita yakini memang benar mereka mengalaminya... tapi natal??? Apakah memang asli bahwa natal itu tgl 25 desember?? Sedangkan begitu banyak literatur yang menentang soal kapan natal itu terjadi...
jadi menurut saya.. mengucap selamat natal bukan sekedar soal etika tapi juga menguji kita soal menjunjung kejujuran di hati... apakah kita akan memberikan selamat pada sesuatu yang mungkin kita semua tau bahwa natal pada 25 desember itu masih jadi perdebatan... dan apa hikmahnya jika kita mengucapkan selamat pada sesuatu yang tidak pasti kebenarannya...???
Saya bukan anti non muslim tapu saya mencoba untuk logis dan memiliki alasan sendiri mengapa saya belum bisa menerima untuk mengucap selamat natal.. karena saya masih ragu apakah natal itu benar2 jatuh pada tgl 25 desember. Dan jika kau ragu dalam melakukan sesuatu lebih baik jangan kau lakukan...
demikian.... dan izinkan saya mengucapkan happy long holiday and happy new year...
Note : jika natal nanti sudah dirayakan sesuai dengan tanggal kelahiran nabi isa yang sebenarnya... saya akan sangat senang mengucapkan selamat natal...
IMHO.
Subhanallah, sejuk hati membaca artikel ini. Ternyata tidak sulit menjadi Islam yang toleran. Buat apa berseru-seru melarang non-muslim menjalankan Agamanya masing-masing. Buang-buang uang, tenaga, dan pahala :))) terima kasih bung atas pencerahannnya. Merdeka !
Bukannya kalau ngucapin sleamat itu artinya kita udah membenarkan ajaran mereka pak? Katanya ajaran yang benar itu hanyalah Islam?
Bacaan yg menyejukkan, saya kutip dalam blog saya ya mas Edi.
http://peduli-indonesia.blogspot.com/2013/12/selamat-natal.html
masalah mengucapkan selamat natal ini bukan masalah kecil mas, ini termasuk urusan aqidah yang kalau tidak hati2 bisa menyebabkan murtad secara tidak sadar ...
seperti halnya wudhu dan shalat, syahadat pun juga bisa batal
Boleh di search di google tentang "10 pembatal keislaman", ada banyak artikel yang membahas itu lengkap dengan dalil2 dari Quran dan Hadits ...
dengan mengucapkan selamat natal, maka secara tidak langsung kita mengamini kepercayaan mereka, padahal kan di dalam Quran sudah disebutkan "lakum dinukum waliyadin" bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al Kafirun 6).
Betul, umat islam memang harus menghormati & toleransi dengan pemeluk agama lain, dan bentuk toleransi kita sebagai umat muslim adalah dengan tidak mengganggu mereka dan mempersilahkan mereka menjalankan apa yang mereka yakini, tanpa ikut2an merayakan bersama. Inilah toleransi yang benar dan tidak kebablasan :)
Smg bermanfaat
Sama-sama Pak Edi. Sekiranya menambah wawasan kami tentang makna bersosial atau semacam pluralisme itulah. Kami butuh itu pak, sebagai jurusan pengembang masyarakat di UIN Sunan kalijaga. Makasih banget atas berbagi ilmunya
mantap
http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/620-natalan-adalah-bid-ah-dholalah-menurut-sebagian-umat-kristen
Sebagai non muslim, saya bangga di Endonesa ini masih ada orang seperti Pak Edy yang moderat dan dengan cerdas mengemas pesan moral berdasarkan fakta-fakta yang ada, bukan hanya atas dasar "katanya". Sepikiran dengan Bapak, saya penasaran apa yang akan terjadi di negri ini kalau fatwa koruptor = kafir dikeluarkan. Mungkin akan berimbas lebih baik daripada memecahkan kebhinekaan negeri ini :)
Selamat tahun baru Pak!
Bukannya man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum? Kan sdh jelas itu..ikut2an seneng, ngucapin selamet, kan sama aja tasyabuh tho?
Lakum dinukum waliyadin
aku telat ya baca artikel ini? eh tapi beberapa bulan lagi pasti ada natal lagi kan, mungkin artikel ini jadi rame lagi.
begini. esensi natal itu apa sih? merayakan lahirnya yesus garis miring anak tuhan. anak. tuhan. mereka bukan merayakan lahirnya nabi isa loh, tapi anak tuhan. anak. tuhan.
sedangkan kalau kita membaca dengan baik dan benar surat al ikhlas (surat kesayangan kita semua karena kalau imam bacanya surat ini maka shalat kita akan menjadi beberapa detik lebih singkat), kita akan tahu bahwa tuhan itu satu, nggak punya anak. itu yang kita yakini selama ini bukan?
natal=merayakan lahirnya anak tuhan
selamat natal=menyelamati perayaan lahirnya anak tuhan
mengucapkan selamat natal=mengucapkan selamat atas lahirnya anak tuhan.
itulah esensinya mengucapkan selamat natal pak.
ini bukan masalah pluralisme atau apapun itu, ini masalah esensi dari sebuah hari raya. kalau esensi hari rayanya aja udah bertentangan banget sama keyakinan utama kita (keyakinan utama umat Islam kan bahwa Tuhan itu Allah dan Allah itu nggak berkeluaga), apa harus banget kita mengorbankan akidah kita cuma buat bertoleransi?
beda sama idul fitri, idul fitri "hanya" perayaan atas berakhirnya ramadhan, lolosnya kita dari bulan ramadhan, kembalinya kita menjadi suci. nggak ada yang salah dari perayaan idul fitri bagi nonmuslim, idul fitri nggak berlawanan dari keyakinan mereka, jadi wajar kalau beberapa dari mereka mengucapkan selamat buat kita.
penjelasan saya jahat dan berat sebelah ya? ya, emang. tapi kalau kita memahami esensinya, wajar kok. karena esensi hari raya natal itu berat pak.
Ribet amat jadi manusia wkwkwkwk
saya bukan muslim...tp saya kagum dengan penjelasan di atas...jd kenal dengan islamnya indonesia..islam yg damai...gak kyk d tv2 yg ngrusak n ngrazia2 gtu....
Penulisan ini ada beberapa kelemahan. Penulis berbicara tentang Islam, tetapi penulis tidak mencantumkan sumber2 dari Islam tersebut. Penulis mengemukakan ayat tanpa tafsir dari ulama2 yg disepakati oleh ulama2 yang mempunyai keilmuan dalam menafsirkannya,seperti Ibnu Katsir RA, Al Mahalli RA atau Al Suyuthi. Menafsirkan ayat bukan seenak dan sesuka hati mas,ada ilmu untuk itu. Penulis juga mengutip dari kaum sekuler, liberal, yang jelas-jelas mereka akan mendukung segala bentuk kesatuan dan kesamaan antar umat beragama menurut mereka. Penulis bahkan tidak mencantumkan kesepakatan para ulama tentang haramnya mengucapkan selamat terhadap perayaaan hari besar non muslim. Penulis tidak mencantumkan ayat2 al quran dan hadits2 yg shahih tentang topik ini. Penulis tidak mencantumkan juga perkataan para sahabat Rasulullah SAW tentang mengucapkan selamat pada hari raya non muslim ini. Islam udah lengkap mas. ada ijma (kesepakatan) para ulama tentang mengucapkan selamat hari raya pada non muslim.
Ijma ulama memfatwakan: “Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 441).
Panjang mas kalau mau dibahas. belum lagi dari ayat al quran dan tafsir, hadits dan perkataan shohabiyah tentang kajian ini.
Setiap kajian itu ada ilmunya. bukan berarti Doktor pertanian atau filsafat bisa mengkaji masalah 2 lain diluar keahliannya. Ada ahlinya masing2. Wallahu a'lam.
Saya sudah pernah membaca ini dulu, dan barusan saya baca lagi sambil merasakan menjadi muslim minoritas pangkat dua.
Saya minoritas di keluarga kristen ini, dan keluarga ini minoritas di lingkungan yg mayoritas budha.
Tapi kami semua MERDEKA memegang keyakinan masing2.
Kalau mengucap natal dibilang itu haram karena membahayakan akidah, jangan-jangan yg ngokong itu mau menganjurkan saya bekerja di arab, mungkin?
Yakin?
KATANE GUSDUR,,,, GETO AJA KOK REPOT....,, tulisan diatas sudah relevan bgt.
kalau saya menganut prinsip ini, pak
Jika urusan dunia jangan tanyakan tuntunannya, selama tidak ada larangannya, dan jika urusan ibadah jangan tanyakan larangannya, tapi tuntunannya.
Baarakallaah...
kristen dan natal sdh ada sebelum islam datang dan tdk ada satupun riwayat dr rasullullah saw maupun riwayat dr sahabat yg pernah menyatakanya. berdasarkan surat baginda rasullullah saw pun yg diatas mengatur dg jelas bagaimana sikap muslim thdp kristen. dan tdk ada perintah rasullullah saw utk terlibat dlm kegiatan keagamaan mereka ataupun mengucapkan selamat kpd mereka. mengucapkanya sangatlah mudah namun lidah yg tergelincir akan diminta pertanggung jawabanya diakherat dan dosanya pun sangat2 krn dg melakukanya artinya kita mengakui kebenaran agama mereka. sedangkan islam tuhanya satu. mungkin satu perkara itu ringan bagimu namun sesungguhnya perkara yg ringan itupun akan berat timbanganya. cukuplah kita bergaul dg mereka berdasarkan surat rasullulah saw yg tersebut diatas. umat kristen yg mengerti tentu mereka akan mnghormati pilihan kita utk tdk mengucapkanya. krn yg utama adalah pergaulan bersama mereka sehari2 dg tidak saling memaksa kehendak agama masing2.
bingung,,, ada yg mengatakan haram dan ada jg sebagian Hallal,,,,
lebih baik DIAM...
Mengucapkan Selamat Natal, Apa Hukumnya?
Ulama berbeda pendapat akan hal ini. Akan tetapi sebagian besar Ulama di Indonesia mengharamkan bagi umat muslim untuk mengucapkan selamat natal, dan hanya sedikit yang membolehkannya, itu juga harus dalam situasi tertentu.
Lantas bagaimana sikap kita sebaiknya?
Sebagai seorang muslim, sangat baik bagi kita untuk menjauhi perkara yang masih diragukan hukumnya, termasuk dalam mengucapkan hal tersebut.
Sebagaimana potongan hadist nabi dibawah ini:
"Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram juga sangat jelas. Diantara keduanya adalah perkara-perkara mutasyabihat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang mampu menghindarkan dirinya dari perkara-perkara mutasyabihat, niscaya terjagalah agama dan kehormatannya...." [HR. Bukhari dan Muslim]
Berikut adalah sudut pandang yang dapat menguatkan haramnya mengucapkan selamat natal oleh seorang muslim :
A: Kenapa kamu tidak mengucapkan selamat natal?
B: Tentu karena perbedaan keyakinan dengan agamaku.
A: Walaupun kepada teman dekat yang satu kelas dengan kita? Bukankah hanya sebatas ucapan?
B: Justru itu, ucapan itu bertentangan dengan doa ku.
A: Kok seperti itu? kenapa?
B: Coba aku tanya, mau kah kamu masuk kedalam agama mereka?
A: Tentu saja tidak
B: Kenapa?
A: Hmm.. Karena menurut agama islam, agama islam adalah satu-satunya agama yang benar.
B: Nah, Apakah kau tega memberi ucapan selamat kepada orang yang menurutmu salah dalam beragama? kalau aku memberikan ucapan selamat natal, secara tidak langsung aku mendukung dan membenarkan agama mereka bukan?
A: Ya, aku mengerti, tapi bukankah ucapan itu hanya sebatas menunjukkan rasa hormat kita kepada mereka?
B: Aku menghormati keyakinan mereka, tapi tidak mendukungnya. Setiap muslim berkewajiban berdakwah paling tidak dilingkungannya berada. Bagaimana cara aku mendakwahi mereka, sedangkan aku memberikan ucapan selamat natal yang secara tidak langsung mendukung ibadah mereka? Bukankah itu bertentangan?
A: Ya, itu bertentangan, Lantas apa hubungannya dengan doa mu?
B: Aku mendoakan setiap teman kita yang beragama lain, agar diberi hidayah untuk memeluk agama islam. Bagaimana mungkin jika sekarang aku mengucapkan selamat natal, tapi aku berharap, besok dia masuk islam?
A: Ya, sekarang saya paham. Lantas bagaimana cara kamu berdakwah terhadap mereka agar mereka mendapat hidayah?
B: Setiap hidayah membutuhkan proses. Banyak cara dalam berdakwah, salah satu cara yang sederhana adalah dengan menujukkan sifat-sifat kita sebagai seorang muslim yang bersih, sopan, jujur, amanah, rajin beribadah, dan lainnya.
A: Baik, terimakasih atas penjelasannya.
.
.
.
Agama Islam mengajarkan sikap toleransi yang tinggi. Seorang muslim tidak dilarang untuk bersahabat dan bermu'amalah dengan siapapun selama ia tidak memusuhi islam. Termasuk dengan yang berbeda keyakinan sekalipun. Dengan tidak mengucapkan selamat natal kepada sahabat kita yang kristen, berarti kita sedang menghormati keyakinan diri kita sendiri sekaligus tidak mengubah nilai toleransi kita kepada umat beragama lainnya. smile emoticon
Assalamualaikum warakhmatullah wabarokatuh
Alhamdulillah..posting yang memberikan wawasan baru bagi saya. Semoga pak Edi mendapatkan rahmat dan rahim dari ALLAH SWT.
Saya juga ingin menyampaikan bahwa dari sekian komentar yang masuk, saya secara hati nurani lebih suka dengan komentar sodara anonim yang di atas komentar saya ini. Tetapi bukan berarti komentar" yang lain tidak saya sukai. Saya tetap suka dan saya menghargai pemikiran" saudara-saudara yang dirahmati ALLAH SWT. Meskipun saya pribadi tidak mengucapkan "Selamat" pada hari raya umat kristiani, namun saya tetap menghormati dan tidak memaksakan faham saya kepada teman" muslim yang mengucapkan. Pun juga kepada teman/sahabat/kerabat saya yang beragama kristen/katolik/protestan, saya tetap menghormati keyakinan dan ibadah agamanya.
mumpung yang menulis adalah sesama muslim dan mayoritas yang komentar sesama muslim juga (in sya Allah). saya hanya mengingatkan bahwa semakin kita (umat muslim) bercekcok sendiri mengenai perbedaan pemahaman penafsiran akidah dan sebagainya, maka kaum-kaum kafir di luar sana semakin senang dan merasa bahwa tujuannya untuk menghancurkan islam mulai menunjukkan keberhasilan. Bukankah sudah di firman kan dalam Al Qur'an mengenai upaya kaum" kafirun menghancurkan umat islam dari berbagai macam cara, salah satunya ya debat kusir yang saling menjelekkan sesama muslim.
sudahlah saudaraku yang dirahmati ALLAH SWT, hindari mencaci saudara sendiri toh saya dan anda belum tentu lebih baik dari orang yang kita caci/benci. yuk,, mending ngopi atau ngeteh bareng setelah thilawah biar hati jadi lebih tentrem.
terakhir dari saya untuk kaum" KAFIR di luar sana yang mungkin juga membaca komentar dan postingan di blog ini. Saya ucapkan selamat menghancurkan umat Islam, nikmatilah proses mengasingkan kami sebagai muslim. kalaupun nantinya kami terasing, justru kami akan bersyukur seperti yang pernah diucapkan Rasulullah “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim no. 208). wallahualam bishawab. maaf kalau ada salah dalam pengetikan komentar ini.
Wsssalamualaikum warakhmatullah wabarokatuh