Mungkin, di antara pembaca postingan
Muhammad’s Testamentum ini akan tersentak. Sebagian lain akan
menundukkan kepala merenung. Sebagian lain, tersenyum seolah mendapatkan durian
runtuh.
Apa pun respons Anda, ini adalah sebuah “wacana sejarah”, yang tentu saja
jika disikapi dengan kepala terbuka akan menerbitkan “perspektif baru” yang
barangkali bermanfaat buat bekal hidup kita di Indonesia yang plural ini. Tentu,
saya dan Anda juga selayaknya bersikap kritis, tidak main telan, bukan? Sebut
saja kita sedang belajar untuk mengail nilai positif dari sejarah ini.
Selaku seorang muslim yang kebetulan berkultur tradisional, hanya
beruntung bisa bersekolah sampai level S-3 di Islamic Studies dan bergaul dengan banyak kiai dan profesor, pernah
berjelajah ke khazanah kitab-kitab salaf dan sekaligus teori-teori filsafat
klasik-kontemporer, saya bersetuju bahwa akidah harus dijaga dengan ketat.
Namun demikian, juga sangatlah berharga bagi kita untuk memahami bahwa akidah
yang baik meniscayakan perilaku sosial yang baik pula. Perilaku sosial
merupakan representasi dari mutu akidah setiap kita. Silakan Anda beli buku Indeks al-Qur’an, lalu telusuri secara
tematik ayat-ayat yang bertutur tentang iman dan amal, niscaya Anda akan
menemukan poin yang saya maksud tersebut.
Surat Jaminan Nabi Muhammad Saw. ini juga
dikenal sebagai Muhammad’s Testamentum;
sebuah dokumen sejarah bahwa Rasulullah telah memberikan jaminan
perlindungan dan hak-hak hidup tanpa syarat apa pun kepada utusan Biara St. Chaterine,
di Semenanjung Sinai, yang menghadap Rasulullah pada tahun 628 M. Surat tersebut
bermaterai gambar telapak tangan Rasulullah Saw. (lihat gambar di atas).
Berikut
bunyinya, saya kutip secara utuh dari Dr. Muqtader Khan, Direktur Program Studi
Islam di University
of Delaware:
“Ini
adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, yang berfungsi sebagai perjanjian
dengan mereka yang memeluk agama Kristen, di sini dan di manapun mereka berada,
kami bersama mereka. Bahwasanya aku, para pembantuku, dan para pengikutku
sungguh membela mereka, karena orang Kristen juga rakyatku; dan demi Allah, aku
akan menentang apa pun yang tidak menyenangkan mereka. Tidak boleh ada paksa
atas mereka. Tidak boleh ada hakim Kristen yang dicopot dari jabatannya,
demikian juga pendeta dan biaranya. Tidak boleh ada seorang pun yang
menghancurkan rumah ibadah mereka, merusaknya, atau memindahkan apa pun darinya
ke rumah kaum muslim. Bila ada yang melakukan hal-hal tersebut, maka ia
melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya. Bahwasanya sesungguhnya mereka adalah
sekutuku dan mereka aku jamin untuk tidak mengalami yang tidak mereka sukai.
Tidak boleh ada yang memaksa mereka pergi atau mewajibkan mereka berperang.
Muslimlah yang harus berperang untuk mereka. Bila seorang perempuan Kristen
menikahi lelaki muslim, pernikahan itu harus dilakukan atas persetujuannya. Ia
tak boleh dilarang untuk mengunjungi gereja untuk berdoa. Gereja mereka harus
dihormati. Mereka tidak boleh dilarang untuk memperbaiki gereja mereka dan
tidak boleh pula ditolak haknya atas perjanjian ini. Tidak boleh ada umat
muslim yang melanggar perjanjian ini hingga hari penghabisan (kiamat).”
Sayang, naskah perjanjian yang
asli sudah tidak ada lagi. Ini bagian yang sering dijadikan pertanyaan oleh
banyak kalangan. Namun, salinannya masih tersimpan di Biara St. Chaterine, yang telah
diverifikasi oleh banyak cendekiawan muslim dan non muslim untuk meneliti keotentikannya.
Di antara peneliti itu adalah Aziz Suryal Atiya dengan buku The
Monastery of St. Catherine and the Mount Sinai Expedition (1952), juga J. Hobbs dengan buku Mount Sinai (1995), dan K.A. Manaphis
dengan buku Sinai: Treasures of the Monastery of Saint Catherine (1990),
dan tentu Dr. Muqtader Khan sendiri.
Dari paparan sejarah,
disebutkan bahwa hilangnya naskah asli Muhammad’s Testamentum terjadi saat Kekaisaran Ottoman yang dipimpin
Sultan Selim I melakukan ekspansi ke Mesir tahun 1517. Naskah asli lalu diambil
dari biara tersebut oleh tentara Ottoman dan diserahkan kepada Sultan Selim I,
yang lalu oleh Sultan Selim I dibuat salinannya untuk disimpan kembali di biara
tersebut. Sejarah pun mencatat betapa tingginya sikap toleransi yang
ditunjukkan para penguasa Islam selama kekuasaan Ottoman (1517-1798).
Pada tahun 1630, Gabriel
Sionita menerbitkan edisi pertama naskah perjanjian tersebut (tentu bersumber
pada salinannya) dalam bahasa Arab, dengan judul “Al-‘Ahd wal Surut allati Sarrataha
Muhammad Rasulullah li Ahlil Millah al-Nashraniyyah” (Perjanjian dan Surat yang Dituliskan
oleh Muhammad Rasulullah kepada Kaum Kristen). Dan sejak abad 19, dokumen perjanjian tersebut diteliti oleh
banyak akademisi kontemporer, dari Timur dan Barat, dengan terutama berfokus
pada daftar para saksi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat
kemiripan antara dokumen perjanjian yang disimpan di Biara St. Chaterine dengan
dokumen-dokumen sejenis yang pernah diberikan oleh Rasulullah kepada kelompok-kelompok
agama lain di Timur Dekat. Di antaranya adalah surat Rasulullah kepada kaum Kristen yang
menetap di Najran, yang pertama kali diketemukan pada tahun 878 di sebuah biara
di Irak dan diawetkan di Chronicle of Seert.
Well, mungkin penutup yang saya kutip dari Dr. Muqtader Khan yang dimuat di Washington
Post (1 Desember 2012), dengan judul Muhammad’s
Promise to Christians ini bisa dijadikan ending permenungan:
Ketika sumber-sumber seperti janji Muhammad kepada orang Kristen
dimunculkan dan digarisbawahi, ia membangun jembatan-jembatan…mengilhami
orang-orang Muslim untuk keluar dari intoleransi komunal…
Semoga bermanfaat. Jika ada
sahabat yang memiliki referensi lebih lengkap atau kritis, tentu akan kian
bermanfaat untuk kita semua. Wallahu
‘a’lam bis shawab.
Jogja, 24 Desember 2013
Tag :
Pasar Makalah,
Utak-utik Agama
8 Komentar untuk "MUHAMMAD’S TESTAMENTUM: BUKTI SEJARAH JAMINAN PERLINDUNGAN NABI MUHAMMAD SAW KEPADA UMAT NON MUSLIM"
kalau saya melihatnya begini, natal bagi pemeluknya adalah peringatan kelahiran Tuhan mereka. Bagi pemeluknya ini tidak masalah. Tapi bagi umat yang telah berikrar Syahadat bahwa "AKU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH, DAN AKU BERSAKSI BAHWA MUHAMMAD ITU UTUSAN ALLAH" maka itu akan bertabrakan dengan ikrar yang di ucapkan. Halus memang. Sepele memang. Lalu ada yang berkata, Ah, mereka juga kan mengucapkan selamat hari raya idul fitri kepada kita. Ya beda dong substansinya. Hari Raya Idul Fitri bukan perayaan kelahiran Tuhan sebagaimana natal.
Ada 6 Alasan Kenapa Seorang Muslim Haram
Mengucapkan Selamat Natal:
1- Natal bukan perayaan umat Islam
Hari besar Islam hanyalah dua yaitu Idul Fitri
dan Idul Adha. Perayaan natal, kelahiran Isa -
menurut Nashrani- bukan perayaan umat Islam.
Dan Islam tidak pernah menjadikan hari lahir
nabi sebagai hari besar.
Anas bin Malik mengatakan,
ﻛَﺎﻥَ ﻟِﺄَﻫْﻞِ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﻳَﻮْﻣَﺎﻥِ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﺳَﻨَﺔٍ ﻳَﻠْﻌَﺒُﻮﻥَ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﻗَﺪِﻡَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔَ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺎﻥَ
ﻟَﻜُﻢْ ﻳَﻮْﻣَﺎﻥِ ﺗَﻠْﻌَﺒُﻮﻥَ ﻓِﻴﻬِﻤَﺎ ﻭَﻗَﺪْ ﺃَﺑْﺪَﻟَﻜُﻢْ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﺧَﻴْﺮًﺍ
ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻭَﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﺄَﺿْﺤَﻰ
“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari
(hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang
mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah,
beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki dua
hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang
Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari
yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul
Adha.’” (HR. An Nasa’i no. 1557. Al Hafizh Abu
Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani).
2- Sejarah natal yang sebenarnya berasal dari
ritual penyembahan berhala
Perintah untuk menyelenggarakan peringatan
Natal tidak ada dalam Bibel dan Yesus tidak
pernah memberikan contoh ataupun
memerintahkan pada muridnya untuk
menyelenggarakan peringatan kelahirannya.
Perayaan Natal baru masuk dalam ajaran Kristen
katolik pada abad ke-4 M. Dan peringatan inipun
berasal dari upacara adat masyarakat
penyembah berhala. Di mana kita ketahui bahwa
abad ke-1 sampai abad ke-4 M dunia masih
dikuasai oleh imperium Romawi yang paganis
politheisme.Ketika Konstantin dan rakyat
Romawi menjadi penganut agama Katolik,
mereka tidak mampu meninggalkan adat/ budaya
pangannya, apalagi terhadap pesta rakyat untuk
memperingati hari Sunday (sun=matahari:
day=hari) yaitu kelahiran Dewa Matahari tanggal
25 Desember.
Jika natal berasal dari ritual penyembahan
berhala, apakah pantas seorang muslim yang
memiliki prinsip tauhid menyetujui perayaan
tersebut dengan ucapkan selamat?
3- Mengucapkan selamat natal termasuk loyal
pada orang kafir.
Islam memiliki prinsip wala dan baro’, yaitu
loyal pada orang muslim dan tidak mendukung
orang kafir. Termasuk bentuk dukungan dan
loyal pada orang kafir adalah mengucapkan
selamat natal. Inilah yang dikatakan oleh para
ulama.
Larangan loyal pada orang kafir menjadi prinsip
Nabi Ibrahim sebagaimana disebutkan dalam
ayat,
ﻗَﺪْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ ﻓِﻲ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣَﻌَﻪُ ﺇِﺫْ
ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻟِﻘَﻮْﻣِﻬِﻢْ ﺇِﻧَّﺎ ﺑُﺮَﺍﺀ ﻣِﻨﻜُﻢْ ﻭَﻣِﻤَّﺎ ﺗَﻌْﺒُﺪُﻭﻥَ ﻣِﻦ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
ﻛَﻔَﺮْﻧَﺎ ﺑِﻜُﻢْ ﻭَﺑَﺪَﺍ ﺑَﻴْﻨَﻨَﺎ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻜُﻢُ ﺍﻟْﻌَﺪَﺍﻭَﺓُ ﻭَﺍﻟْﺒَﻐْﻀَﺎﺀ ﺃَﺑَﺪﺍً
ﺣَﺘَّﻰ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺣْﺪَﻩُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik
bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersama dengan dia; ketika mereka berkata
kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami
berlepas diri daripada kamu dari daripada apa
yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan
kamu permusuhan dan kebencian buat selama-
lamanya sampai kamu beriman kepada Allah
saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4)
Bahkan Ibnu Hazm telah menukil adanya
ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa loyal (wala’)
pada orang kafir adalah sesuatu yang
diharamkan. (Al Muhalla, 11: 138).
4- Mengucapkan selamat natal haram
berdasarkan ijma’ atau kata sepakat ulama.
Ibnul Qayyim berkata, “Adapun memberi ucapan
selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus
bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan
selamat natal, pen) adalah sesuatu yang
diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan)
para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan
selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti
mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang
berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat
pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau
memang orang yang mengucapkan hal ini bisa
selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan
lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan
selamat hari raya seperti ini pada mereka sama
saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud
yang mereka lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi
Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci
oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan
selamat pada orang yang minum minuman keras,
membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat
pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama
terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang
semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari
amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu,
barangsiapa memberi ucapan selamat pada
seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau
kekufuran, maka dia pantas mendapatkan
kebencian dan murka Allah Ta’ala.” (Ahkam Ahli
Dzimmah, 1: 441)
5- Muslim diperintahkah menjauhi perayaan non
muslim, bukan malah memeriahkan dan
mengucapkan selamat.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh
kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim
dengan sepakat para ulama. Hal ini telah
ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab
mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan
sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ﻻ ﻰﻠﻋ ﺍﻮﻠﺧﺪﺗ ﻦﻴﻛﺮﺸﻤﻟﺍ ﻢﻬﺴﺋﺎﻨﻛ ﻲﻓ ﻡﻮﻳ ﻢﻫﺪﻴﻋ ﻥﺈﻓ
ﺔﻄﺨﺴﻟﺍ ﻢﻬﻴﻠﻋ ﻝﺰﻨﺗ
“Janganlah kalian masuk pada non muslim di
gereja-gereja mereka saat perayaan mereka.
Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Umar berkata,
ﺀﺍﺪﻋﺃ ﺍﻮﺒﻨﺘﺟﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻢﻫﺩﺎﻴﻋﺃ ﻲﻓ
“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan
mereka.”
Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
6- Tidak boleh mendahulukan mengucapkan
salam pada non muslim.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﻻَ ﺗَﺒْﺪَﺀُﻭﺍ ﺍﻟْﻴَﻬُﻮﺩَ ﻭَﻻَ ﺍﻟﻨَّﺼَﺎﺭَﻯ ﺑِﺎﻟﺴَّﻼَﻡِ
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan
Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR.
Muslim no. 2167). Mengucapkan selamat natal
itu sama halnya dengan mengucapkan salam.
Karena salam itu berarti mendoakan selamat.
Hadits ini sudah secara jelas melarang
mengucapkan selamat natal pada Nashrani.
atau mungkin bisa juga menggunakan referensi dari link berikut:
http://muslim.or.id/manhaj/selamat-natal.html
Sy sdh baca ini tadi di link yg dikirim kawan di tweeter. Syukran telah komen.
nomor 1,4,5,6 mengada-ngada tuh. ayatnya asli tapi penafsirannya terlalu dikait-kaitkan. sedrhana saja nomor 6, "mengucapkan selamat natal itu sama halnya dengan mengucapkan salam" saya rasa itu hanya opini subyektif dari penulis.
...udah d...jangan bawa-bawa politik dalam agama...agama tu diturunkan untuk buat manusia bener...gak ada agama yang salah, yang brengsek tu orang-orangnya....liat aja di Timur Tengah sana, dua agama besar dunia turun di sana, nyatanya mereka sampai sekarang masih aja bertengkar, berarti yang brengsek tu manusianya, bukan agamanya. Nah kita2 yang ada di Indonesia jangan terbawa-bawa ama yang begituan de. Kampungan amat sih...
AL Qur'an
2. Al Baqarah 62.
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Subhanallah. Indah Sekali. Makin rindu dengan Rasul.