Di manapun berada, dari #KampusFiksi sampai bandara, selalu saya
nyatakan bahwa sesungguhnya hanya ada dua hal pokok dalam menulis cerita yang
harus diperhatikan betul oleh setiap penulis, yakni (1) Keunikan ide, dan (2)
Penyajian yang baik.
Ngomongin tentang penyajian yang baik, tentu berkaitan dengan teknik
menulis, yang salah satu elemennya ialah “kemampuan menciptakan
kalimat-kalimat yang lincah, lugas, alias tidak kaku dan apalagi pegel linu.”
Oke, tulisan ini juga untuk memenuhi janji saya 3-4 hari yang lalu saat saya ngepost
tulisan tentang “Frase, Bolehkah Dipakai dalam Menulis Cerita?” (Ya
Allah, semoga mereka sudah membacanya, jangan sampai mereka kalah cepat membaca
dengan sejuta argumen (baca: ngeles) dibanding saya yang menulisnya untuk
mereka *Amin ya Rabb).
Baik, listen to me now!
Sekitar 150-an anak muda yang mengaku bercita-cita jadi penulis
fiksi duduk di depanku. Siap menyimak. Sebagian besar menyiapkan bloknot, siap
mencatat. Sebagian lain masiiiihhh saja sibuk dengan gadget-nya. Iya, HP,
sampai saya bengong sekilas: bukankah mereka ke sini jauh-jauh menerjang hujan
untuk belajar menulis kan, tapi kenapa fokusnya malah tetap aja ke HP ya hanya
untuk membalas mention, SMS, WA, BBM yang padahal mereka tahu itu hanya sebuah
message PHP? Ah, lupain, biarin saja.
Kalimat kaku pasti disebabkan oleh dua kemungkinan berikut:
Satu, penulisnya belum memahami benar
kaidah dasar sebuah kalimat. Misal, yang dia tuliskan tidak sempurna sebagai kalimat,
alias kalimat gagal, sekadar jadi frase yang tidak memiliki fungsi snapshot.
Contoh:
Sebuah rumah yang bertingkat.
Lelaki yang bermata elang itu.
Itu jelas frase. Gimana cara ngukur sebuah “kalimat” itu beneran
kalimat atau sekadar frase? Carilah predikatnya. Iya, predikat. Semudah
itu? Iya, iya, iya!
Agar contoh-contoh di atas itu menjadi kalimat beneran, jangan
lupakan predikatnya. Berilah ia predikat. Pastikan benar-benar mengandung predikat.
Contoh:
Sebuah rumah yang bertingkat, kutahu di dalamnya ada kamu.
Lelaki yang bermata elang itu menatapku untuk ketiga kalinya.
Yang saya bold itu adalah predikat. Itulah yang menyelamatkan
kalimatmu benar-benar sebuah kalimat, bukan frase.
So, Guys, selalulah pegang kuat-kuat ya,
kaidah dasar membuat kalimat: Subyek + Predikat (SP). Minimal ini. Kalau mau
lengkap ya SPOK.
Dua, penulisnya masih berkutat pada struktur
baku melulu, kayak sedang menulis karya ilmiah. Ingat, menulis fiksi adalah
eksplorasi (penjelajahan) imajinasi dan bahasa. Karena itu, semakin lama
seseorang menulis fiksi, seharusnya semakin hiduplah imajinasi dan estetika (jelajah)
bahasanya. Ini hukum alamnya.
Kagak usah bingung bin mumet tentang jalur estetika. Udah
deh, biarin hukum alam yang bekerja. Seiring jalannya waktu, kau akan menemukan
karakter, style, dan jalur estetikamu sendiri (tutup buku tentang ini).
Yang lebih pokok untuk penulis pahami ialah bahwa menulis fiksi itu
memiliki kebebasan tinggi dalam mengeksplor bahasanya. Gaya bahasanya. Jangan
terjebak pada teori baku berbahasa.
“Waahh, gimana sih kok jadi split begini?” batinmu sambil mencibir
ke arah saya. “Katanya tadi harus berpegang pada struktur dasar kalimat yang SP
itu, tapi kok sekarang malah bilang jangan terjebak pada struktur dasar
kalimat? Labil banget sih!”
Saya pura-pura aja nggak bisa membaca pikiran di balik kerutan
keningmu.
Jani begidi maksud saya, Kawan.
Tentu saja wajib hukumnya bagi penulis untuk paham benar struktur
kalimat. Beda kalimat dan frase harus nglotoklah. Akan tetapi, sangat
penting dalam menulis untuk menyajikan cerita yang tidak membuat pembaca bosan,
bukan? Nah, ngomongin tentang pembaca yang bosan, kemungkinan penyebabnya ada dua:
datar aja ceritanya (miskin twist) dan/atau penyajianmu
(kalimat-kalimatmu) membosankan karena kaku dan monoton.
Catat itu yang saya bold.
Menghindari penyakit itu jelas utama dong buat menyelamatkan
ceritamu dari keluhan bosan pembaca. Maka agar kalimat-kalimatmu tidak kaku dan
monoton, kau harus memvariasikan kalimat-kalimatmu seluas mungkin,
sekaya mungkin.
Caranya?
Pertama, Itu tadi, “Jangan terjebak pada struktur dasar kalimat melulu”
Bayangkan, membaca tiga halaman saja yang selalu meletakkan subyek
di depan, tentu sangat menjemukan. Setiap paragraf selalu diawali dengan
subyek. Ah, itu monoton sekali, Tulang!
Hidup yang monoton itu sungguh amat mengenaskan. Rute sehari-hari
selama 3 tahun selalu kost - kampus – perpus – kantin – kost. Bak lalat dalam
toples kaca. Bukankah dunia ini menjadi indah
di mata orang yang berhasil menikmati keragamannya?
FYI, bahkan berada di Masjid Biru warisan Ottoman ini, saat saya
menaburkan mata berkeliling, selalu hanya terlihat wanita-wanita Turki yang
cantik dan itu sangat monoton. Bayangkan, jika ada 5 wanita Turki berkumpul,
yang cantik itu 8 orang coba! Bahkan, ibu-ibu tua penjaja cindera mata pun
sangat kurang ajar menyisakan aura kecantikannya! Gimana mudanya dia ya? Lalu, kalau
begini adanya, yang pesek mana nih? Yang kulitnya eksotik alias hitam itu mana?
Ah, Turki terlalu monoton! Jadinya membosankan.
Saya jadi sangat bersyukur hidup di Indonesia lho yang sungguh kaya
ragamnya, tidak monoton, dari yang cantik beneran sampai aslinya tidak cantik
tetapi selalu ngomong cantik, dari yang putih sampai item, dari yang tsakep
attitude-nya sampai yang nyebelin semau-maunya, sehingga tidak membosankan. I
love Indonesia deh.
Suer!
Tegasnya, jungkir-balikkan struktur kalimat asalkan tetap
memenuhi kaidah dasarnya. Emang bisa? Kok aneh-aneh pisan teh? Maaf,
saya lagi ngopi, tidak ngeteh. FYI aja ini sih.
Apa yang saya maksud dengan “jungkir-balikkan struktur kalimat
itu asalkan tetap memenuhi kaidah dasarnya” ialah (1) Kau harus pastikan
kalimatmu memenuhi kaidah minimal SP tadi, lengkapnya SPOK (2) Kau harus paham
bahwa subyek tidak harus di depan, predikat tidak harus di tengah, obyek tidak
harus di urutan ketiga, dan keterangan tidak harus di urutan terakhir. Peletakan
elemen SPOK itu sangat bebas. Pake binget! Pahami ini dengan serius. Ini
password-nya lho.
Misal:
Aku berlari sekuat tenaga. Aku ingin mengejarnya secepat mungkin.
Aku harus menjelaskan ini. Aku ingin semua kembali baik-baik saja.
Betapa membosankannya kalimat-kalimat sejenis itu. Semua kalimatnya
memang sudah benar sesuai kaidah dasar kalimat, tetapi monoton. Benar-benar bak
sebuah karya ilmiah di ruang kelas kuliah. Jadi, contoh tersebut benar secara
kaidah, tapi gagal secara eksplorasi bahasa. Taste ceritanya jadi
hambar. Jadi kaku.
Coba jungkir-balikkan kalimatmu tanpa kehilangan kaidah dasar
berkalimat:
Sekuat tenaga aku berlari. Sekencangnya, lebih lesat dari kuda. Harus
cepat, secepat mungkin. Aku hanya ingin menjelaskan kesalahpahaman ini. Ya, dia
mesti kukejar sekarang juga, agar semuanya segera baik-baik kembali. Tidak
nanti-nanti lagi.
Beda benget kan taste ceritanya, eksplorasi bahasanya? Jawab
iya aja kenapa sih, Dek?
Sekuat tenaga aku berlari. (Ini subyek
di urutan ketiga)
Sekencangnya, lebih lesat dari kuda.
(Ini frase fungsi snapshot)
Harus cepat, secepat mungkin.(Ini sebuah
frase fungsi snapshot)
Aku hanya ingin menjelaskan kesalahpahaman ini. (Ini kalimat berstuktur normal)
Ya, dia mesti kukejar sekarang juga, agar semuanya segera baik-baik
kembali. (Ini kalimat normal dan panjang)
Tidak nanti-nanti lagi. (Ini frase
keterangan)
Gitu ya? Jadi, sekali lagi, variasikan kalimat-kalimatmu, dengan
cara jungkir-balikin struktur dasar kalimat itu, plus mainkan ragam frase (snapshot).
Misal lain yang jungkir-balikin stuktur dasar kalimat:
Kutatap matanya, tajam, dalam, dan hunjam. Aku tahu dia selalu akan
menunduk setiap kali matanya bertabrakan dengan mataku. Akan sangat lama ia
menekuk, sampai kubuka suaraku lagi. Lalu-lalang anak-anak muda di sekeliling
kuanggap angin belaka. Berseliwer, hanya menyisakan jejak suara yang kadangkala
hinggap di telingaku. Selebihnya, hanya ada dia yang berhasil tuntas membetot
fokusku.
Gimana sih cara praktis menerapkan teori menjungkir-balikin stuktur
kalimat itu? Latihan! Cobalah kau corat-coret laptopmu (bisa ya?) dengan
membuat sebuah kalimat normal, lalu bolak-balikkan unsur SPOK kalimat tersebut
dalam beragam variasi.
Misal begini:
Aku mengerti sepenuhnya apa yang diucapkannya barusan.
Coba kembangkan kalimat normal tersebut dalam beragam pola:
Sepenuhnya, kumengerti maksud ucapannya barusan.
Apa yang barusan diucapkannya, sungguh amat kumengerti sepenuhnya.
Kumengerti betul maksud ucapannya barusan.
Tak ada satu pun maksud ucapannya barusan yang tak kumengerti.
Ya, ya, baiklah, aku tahu betul maksud ucapannya barusan.
Aku mengerti, iya, aku mengerti benar semua maksud ucapannya
barusan.
Ucapannya barusan sepenuhnya bisa kumengerti, seperti biasanya.
Bukankah ada berjuta cara tuk menjadikannya variatif? Tambahin bumbu
keterangan, artikel, dll., maka akan berhasillah kau menjungkir-balikkan
stuktur dasar kalimat itu. Latihanlah sesering mungkin.
Kedua, Membuka kalimat dengan kata kerja
Membuka kalimat dengan kata
kerja berisiko rentan kaku. Iya, beneran ini. Ini memang hanya rentan ya, so
tidak berarti lalu nggak boleh sepenuhnya. Kalau pola begini (membuka kalimat
dengan kata kerja) dipakai sesekali, sebagai variasi, it’s ok kok. Jayyid,
la ba’sa alias halalan thayyiban. Tapi jika keseringan, jadinya
memang minim taste.
Misal:
Menatapmu dari ketinggian balkon Grand Mekkah ini, membuatku merasa
bak sebutir debut. Menjadikanku begitu fana tak memiliki kuasa apa pun.
Ketiga, Jangan terpaku untuk selalu berhasrat menyambung kalimat sebelumnya
dengan kalimat berikutnya
Ini akan menjebak kalimat-kalimatmu jadi kaku. Maksud saya, kalimat
sebelumnya tidaklah harus wajib dijelaskan atau disambungin secara formal alias
langsung dengan kalimat-kalimat lanjutannya. Biarkan rangkaian kalimat dalam
sebuah paragraf itu bekerja sebagai kesatuan. Bukan pecahan kedua sebagai
jawaban langsung pecahan pertama, dst.
Paham? Oh nggak to. Ini baru musykilat. Baik, kita
sederhanakan dengan contoh begini:
Apa sih sebenarnya yang diinginkannya? Aku sungguh tak mengerti. Membuatku
jadi kebingungan sendiri begini.
Perhatikan bold-nya. Semua bold tersebut “menjawab
secara formal/langsung” kalimat pertama, bukan? Iya aja deh jawabnya. Itulah
biang kerok penyebab narasimu jadi kaku, terlalu baku, terlalu formal, jadinya
tidak feel so good-lah taste-nya.
Padahal, menulis cerita itu (sekali lagi) sangat leluasa bebasnya.
Coba aja ubah jadi begini:
Apa sih sebenarnya yang diinginkannya? Kepalaku jadi pening,
muter-muter begini. Membingungkan! Bahkan sampai sesore ini. Tak ada setitik
terang pun yang bisa kupahami dari sikapnya tadi.
Keempat, Gunakan artikel-artikel
Artikel itu adalah hal-hal kecil, bisa sebuah kata atau bahkan
sekadar bunyi. Gunakan artikel-artikel yang
lazim dipakai dalam kehidupan sehari-hari dalam kalimat-kalimatmu. Kata-kata
kecil, nada, intonasi, bunyi, selingan, apa pun itu, yang kau rasa bermanfaat
untuk memperkaya gaya kalimatmu, lakukanlah.
Seperti artikel: iya, baiklah, hemmm, what, jdes, jleb, wow,
sial, bah, huh, ye, jeger, dll. Apa pun ya.
Misal jika dituangkan dalam kalimat-kalimat:
Huh, selalu saja dia begitu setiapkali ada yang nggak klik di
hatinya. Jeger bangetlah. Sial! Jika ada kata serupa makna menyebalkan yang
layak kusematkan padanya, pastilah itu sejenis wow, bah, hemm, atau ye. Mau
yang lebih kasar? Ya, bolehlah pakai damn! Ya, memang, pokoknya yang serba
nggak sip itulah sangat tepat buatnya. Iya kok, beneran, kautahu, dia memang
pantas menerimanya. Suer!
Perhatikan deh, Bro, bukankah kalimat-kalimat tersebut bisa tampil
begitu hidup dan lincah dengan sematan artikel-artikel itu?
Kelima, Perkaya diksi.
Nah ini jelas penting sekali untuk membantumu mampu menciptakan
kalimat-kalimat yang tidak monoton kata-katanya. Iya, benar, tepat sekali,
pokoknya wowlah buatmu (aduh, terbawa poin keempat tentang
artikel-artikel). Diksi adalah kosa kata, pilihan vocab, mufradat. Kian
kaya diksimu, tentu akan kian variatiflah kemampuanmu menyampaikan sesuatu
dalam ragam kalimat-kalimat.
Tapi ingat, Kawan, jangan perkosa diksi ya! Iya, memperkosa hanya
untuk gagah-gagahan. Saya sangat sering menemukan obsesi penulis untuk
memperlihatkan diksi yang kaya, mentereng, tapi malah terkesan memperkosa
diksi. Jadinya bukan membantu melincahkan aliran kalimat, ehhhh malah
bikin cerita berat banget, sulit dicerna, sehingga jadinya nggak kuat
membacanya (kecuali kalau kau memang berniat untuk menulis cerita yang menyaingi
beratnya gunung Uhud yang menyimpan berton-ton emas itu sih).
Ingat selalu bahwa tujuan penguasaan diksi yang kaya adalah untuk
membantumu membuat kalimat-kalimat yang lincah dan tidak monoton. Catat
tujuan pokok ini. Diksi hanyalah sebuah alat. Salah satu alat tepatnya. Tentu
tidak wise jika justru alat mengalahkan tujuan utamamu bertukang, bukan?
Gimana cara memperkaya diksi? Apakah dengan cara menghapal KBBI?
Next-lah, saya kan bahas tentang diksi
biar nggak kepanjangan tulisan ini.
Keenam, Mainkan tanda baca sebagai penguat emosi dalam kalimat-kalimatmu
Sebagaimana fungsi tahi lalat, tanda baca adalah pemanis, pelengkap.
Ia harus dipakai dengan bijak pula. Jangan berlebihan, karena tentu tujuan
pemanis itu justru akan jadi penggetir jika terlalu banyak kau pasang tahi
lalat di mukamu. Iya, kan?
Saya selalu tekankan bahwa wajib untuk menggunakan tanda baca dalam kalimat-kalimatmu,
seperti koma, tanda tanya, tanda seru, titik dua, titik-titik, bahkan italic,
dll. Semua itu memiliki fungsi menghadirkan emosi cerita, taste dalam
kalimat-kalimatmu, selain menjadi “penuntun” bagi pembaca di mana ia harus
bernapas atau berjeda sebagai sebuah intonasi.
Karena novel tidak memiliki suara sebagaimana drama radio Brama
Kumbara, maka penulis harus bisa menyajikan tekanan-tekanan intonasi dengan
cara menggunakan tanda baca. Misal:
Apa ini? Ah, lagi-lagi cerita yang kemarin. Membosankan! Seolah ia
tak lagi memiliki sesuatu pun yang bisa membuatku tertarik untuk duduk
berlama-lama di sebelahnya. Ya, selalu saja sama. Forever! Rutin begini
jadinya. Pasti, kalau bukan tentang ayam yang lebih dulu ada dibanding telor
atau telor yang lebih dulu ada dibanding ayam, niscaya tentang malam dan pagi
lebih duluan mana. Nggak ada kerjaan! Capek deh! Huh….
Ketujuh, Naturalisasi
Siapa bilang naturalisasi hanya untuk dunia sepak bola. Kalau iya,
kasihan dong yang nggak demen bola. Tahu nggak sih, hidup yang diwarnai emosi
sepak bola itu sungguh penuh suspense lho. Nggak penting lagi Manchester
United mau finish di posisi berapa musim ini, karena Moyes adalah
United, dan kepadanya United Army percaya, sebab yang paling mempesona bagi
penyuka bola ialah suspense-nya. Twist-nya. Beneran lho, hidup
jadi wow-lah, punya greget, nggak bosenin. Eh, aduh, maaf, saya kok jadi
curcol. Glory MU, now and forever!
Bro, tuliskanlah kalimat-kalimatmu secara alamiah, natural. Itu
maksud saya dengan naturalisasi. Jika emosi tokoh lagi marah, alirkan
kalimat-kalimatmu sebagai pemarah. Jika sedang sedih tokohmu, berikan ia hak
untuk meraung-raung begitu pilu. Berikan ia hak hidup beserta seluruh emosinya
secara natural.
Bayangkan begini aja: seolah-olah kau sedang bercakap atau bercerita
pada seseorang nyata di depanmu. Iya, senyata-nyatanya. Sebagaimana biasanya
kau curcol pada sohibmu tentang seseorang yang menyita jam-jam lelapmu selama dua
bulanan ini, tapi kau tak kunjung punya keberanian untuk bahkan sekadar
menjulurkan tangan berkenalan dengannya. Upps, maaf. Tapi, maksud saya baik
kok, intinya alamiahkanlah kalimat-kalimatmu.
Baca deh adegan berikut:
“Aku pengin banget dia segera menembakku….”
“Ehhm, apa ini masih tentang cowok yang selama dua bulan ini kamu
kepoin itu ya?”
“Iya,” suaranya mulai serak, dekat ke isak. “Tapi kok nggak kunjung
kejadian ya?”
“Sebentar,” aku menghela napas, berharap ujung curhatnya nggak akan
sama persis dengan isakannya tiga hari lalu.
“Kenapa, Nad? Kamu mau bertanya apa aku sudah berhasil kenalan dengannya
lagi, ya?”
“Iya.”
“Masih sama, Nad, seperti bulan lalu.”
Aku menggeleng, meski tetap kupaksa untuk membentuk senyum kecil di
bibirku. Ya, anggap saja itu untuk menyenangkan hatinya sebagai sahabatku.
“Tiga hari lalu, Aya, bukan sebulan lalu kok.”
“Apanya, Nad?”
“Itu, ceritamu kalau kamu belum juga berani kenalan dengannya, kan
baru tiga hari lalu kamu certain ke aku.”
“Eh, iya, iya ya, Nad, tiga hari lalu ya.”
“Belum berani juga kan untuk kenalan?”
“Iya, Nad, selalu gemetar aku, sampai rambutku segala tahu!” Matanya
kian memerah. “Padahal ya, udah berkali-kali aku ngetwet yang kutujukan pada
dia, jika memang suka, katakanlah segera, meski dalam bahasa Arab sih…”
“Lalu, kapan ditembaknya kalau nggak kenal coba?”
“Iya sih, aku ngerti….”
Lalu, seperti pula tiga hari kemarin, kepalanya dijatuhkan ke pundakku.
Persis, sama sepenuhnya. Pundakku memang selalu ada untuknya, tepatnya untuk
disandarinya setelah ia berkisah bahwa ia sangat mencintai lelaki yang rajin
dikepoinnya selama dua bulan ini, tapi tak kunjung bisa kenalan dengannya.
Sambil geleng-geleng kepala, aku tahu bahwa ini sebuah ironi.
Tragedi mimpi. Tapi, ya iya sih, tentu saja aku nggak akan pernah berkata
begitu padanya. Kasihan, bebannya sudah terlalu berat. Bukankah menyenangkan
sahabat tidak harus melulu dengan cara straight, kan?
Oke, Sob, cukup ya. Semoga ini bermanfaat buat kalian semua. Maafin ane
jika ada salah-salah kata.
“Oh, ini ya ternyata pedang Nabi. Keren benar!” gumamku sambil mencermati
setiap detailnya.
Jogja, 30 Januari 2014
15 Komentar untuk "TIPS MEMBUAT KALIMAT-KALIMAT LINCAH DALAM MENULIS CERITA"
Ini nih yang kubutuhkan. Tiap kali nulis cerita, hasilnya malah kayak reportase :D
wahh. banyak banget ilmu yang didapat disini. tapi itu terakhir kok bahas pedang Nabi ya? kok aku gak ngerti
mantab pak edi... akan ku teruskan ilmu menulisku, berguru kepada pak edi..
sangat berguna Om... terimakasih
Semoga bermanfaat n boleh dibagiin jg
Waw! Artikel ini sungguh jeder! Mak jlebbb! Saya kasih lima jempol buat om Edi! Bener, deh! Sumpah! Sumpil! So sweet!
*latihan dulu, hihihi.
Saya suka bahasan ini om, terutama poin dua sama tiga. Saya lagi belajar yang itu. Saya tunggu bahasan poin ke limanya. Lima jempol buat om Edi!
'Eh, jangan kasih sambel banyak-banyak mas, saya kurang suka pedes. Eh, bentar. Bungkusin satu ya mas, gak pake mi.'
sangat membantu... terima kasih tips2 menulisnya.
Gungun
haaaaa pesen mie ya ceritanya, titip 1 ya
ayuk bareng-bareng atuh
Membantu luar biasa artikel ini bah.
Alamak, pakai kata kerja awal kalimat hehe.
asyiikkk senang jika berguna ini
Tipsnya membahana. 'Sesuatu'. Kaya judul lagunya 'mbk' yg sempat kontroveri dng bulu mata anti badai & jambul katulistiwanya.
Saya pernah baca adegan sederhana dalam sebuah novel, namun ditulis dng narasi baik yang menghasilkan bacaan enak untuk dibaca pula. Ketika saya mencoba nulis sekelumit adegan & saya proporsikan dengan rangkaian kalimat saya kok jadi 'canggung' & harus berulangkali mengalami pengeditan — hingga tidak membuat kening saya berkerut.
Adakah tips untuk menulis adegan yg baik dalam sebuah narasi, khususnya jika menggunakan sudut pandang orang ketiga. Buat Pak Edi. Hatur nuwun.
hehe tumben khatam baca postingan, habisnya tulisannya nggak ngebosenin dan bikin penasaran :)
Keren ! Awesome ! Berguna sangat sekali tulisan Bapak Edi :) (y)
Prinsip teorinya sama cm kurang pngalaman n latihan aja