“Aku pengin
makan enak!” teriak Bush sambil keluar dari kamar mandi.
“Tempe!” sahut Dirman.
“Ikan pepes!”
sahut Bush.
“Punya duit?”
“Nggak ada
sih.”
“Lalu?”
Bush mengambil
pancingnya, seraya berbisik, “Mancing di kebon, di kolam.”
“Hei, itu
milik masjid ini tahu!”
“Lho iya, aku
tahu.”
“Kok mau
dipancingi?”
“Aku kan amil di sini, namanya amil
ya boleh ambil jatah.”
“Ah, sialan,
enak aja kamu….”
“Ya sudah,
kalau nggak mau, aku mau makan pepes ikan sendirian.”
“Eh ikut….” teriak
Butun yang baru pulang kuliah.
“Aku juga ah, kan aku juga amil….” sahut Dirman.
Segera mereka
berangkat menuju kebun yang terletak di sebelah utara masjid itu. Di teras sempit
yang hanya cukup untuk menjejer jemuran di depan kamar mereka, terdapat sebuah
pintu kecil dari seng yang memisahkan antara masjid dengan kebon itu. Dari
pintu itulah mereka melesat ke tengah kebon yang cukup luas itu.
Di kebon itu
terdapat sekitar 1.000 batang mangga yang sebagiannya sudah besar-besar. Kebon
itu memang kebon mangga. Mangga Indramayu, katanya. Hanya ada beberapa batang
pohon pisang yang tumbuh sendiri. Kata Kak Syaikho, dulu kebon itu ditanami
oleh kakek Mbah Siwon yang telah lama meninggal di Mekkah. Tanah kebon itu
dihibahi oleh seorang pengusaha yang kabarnya saat meninggal tubuhnya hitam
semua. Kabarnya, pengusaha itu kena balak bisnis hitamnya. Dan hibah itu
dimaksudkan untuk menebus dosanya.
“Pasti dia
berbisnis aspal ya, Kak?” potong Bush pada cerita Kak Syaikho tentang asal-usul
kebon mangga itu.
“Kok aspal?”
Kak Syaikho balik bertanya. Heran.
“Katanya
bisnis hitam.”
“Bukan, Bush,
tapi arang, kayak kamu!” sergah Dirman.
Mata Bush yang
tak sipit mendelik ke arah Dirman. Nyaris melompatlah bola matanya.
“Sudah, sudah,
kalian ini kok ribut,” potong Kak Syaikho. “Maksud bisnis hitam itu adalah
bisnis yang kurang halal, tapi aku nggak tahu juga lho ya itu benar nggaknya,
namanya juga rumor.”
Bush
mengangguk-angguk, seolah paham benar ia tentang sejarah kebon mangga itu. Ia
sempat terpikir, kalau begitu apa hibah yang diniatkan untuk menebus dosa atas
harta yang haram bisa diterima ya? Ah, sudahlah, batinnya, aku bingung, mending
ngincer ikan-ikannya saja.
Tak lama mereka
telah sampai di tengah kebon itu. Ada
sebuah kolam ikan yang lumayan besar di antara batang-batang mangga itu. Airnya
mengalir lancar dari kali kecil yang terletak di batas utara kebon itu, yang
bersebelahan dengan sawah Mbah Siwon.
“Ini ikan apa
saja yang dipiara ya?” tanya Bush sambil mengamati air kolam yang tenang itu,
seolah sedang memikirkan teknik terbaik memancingi ikan-ikannya.
“Lele, bawal,
nila, gurameh juga ada tapi sedikit,” sahut Butun.
Mata Bush
terus menatap berkeliling. Ia mengitari kolam itu berkali-kali sambil sesekali
mendesis. Kadang pula ia melompat kecil, mendonggakkan kepala ke langit.
Dirman dan
Butun yang tak sabar dengan gaya
Bush akhirnya berkata.
“Kapan
mancingnya?”
“Iya, dari
tadi mendesis aja kayak baca mantra sakti aja.”
Bush tak
menanggapi. Ia duduk, melinting tembakau dalam ukuran ganjil, kecil-kecil kayak
lidi, lalu melemparkan lintingan tembakau itu ke air kolam. Terus ia membuat
beberapa kelereng dari tanah, lalu melemparkannya ke dalam kolam. Tapi ada satu
kelereng tanah yang didekatkan ke bibirnya, mulutnya komat-kamit, lalu
ditelannya.
Dirman dan
Butun mengedikkan mata menyaksikan ulah Bush menelan tanah berbentuk kelereng
itu.
“Kalian tahu
apa, cuma belalang-belalang kayak kalian ini!” suara Bush meninggi. “Ini ya,
asal kalian tahu, setiap akan mancing, ada ritualnya. Ya itu tadi aku merapal
mantra warisan leluhur dari Nyabakan. Kata kakekku, itu ciptaan Pangeran Gunong
Naknong Beto Kalettak….”
“Siapa itu?”
Butun dan Dirman menyahut serempak.
“Panjang
ceritanya. Intinya dia itu yang membuka Nyabakan.
Kayak Raden Wijaya membuka hutan tarik yang menjadi asal Majapahit. Tahu kalian
tentang sejarah Nyabakan?”
“Membayangkan
saja kayak gimana, namanya aneh gitu, nggak ada di Google Earth pula, apalagi
kok tahu, Bush….” sahut Dirman.
“Wuihhh, tahu
juga kamu Bush tentang Raden Wijaya ya,” kekeh Butun.
“Jangan remehin
aku, Tun! Dengarkan ya. Nyabakan itu dulunya adalah hutan lebat, di tengahnya
ada danau besarnya. Banyak belibis di sana.
Juga ada puteri jelitanya! Ikan-ikannya banyak yang sebesar masjid al-Huda
ini….”
Butun dan
Dirman saling pandang, meski tetap mendengarkan cerita ganjil Bush. Lalu
ngakak.
“Emang ada
orang cantik di kampungmu, Bush?!” Dirman terkekeh.
“Masak ada
cewek cantik, Bush?!”
Bush
mendengus, kesal. “Kalian mau jadi mancing tidak kok rewel begitu?!”
“Iya, iya,
lanjutkan,” kata Dirman, meski ia heran membayangkan sebesar apa danau itu jika
ikan-ikannya aja sebesar masjid ini.
“Nah, pada suatu
malam purnama, datanglah seseorang bernama Pangeran Gunong Naknong Beto
Kalettak. Ia berasal dari lautan seberang yang sangat jauh. Ia lalu mandi di
danau itu. Saat mandi, tiba-tiba ia merasa kakinya digigiti sesuatu. Ternyata
beberapa ekor ikan sebesar masjid al-Huda ini. Pangeran itu segera naik ke
darat sambil berteriak, ‘Nyaba Kan, Nyaba Kan, Nyaba
Kan…’ Dalam bahasa Madura
sekarang, Nyaba itu artinya nyawa, kan
itu singkatan dari ikan. Jadi pangeran itu seperti berkata pada ikan-ikan di
danau itu, ‘Ini urusan nyawa lho ikan,
ini urusan nyawa lho ikan….’ Sejak saat itulah, daerah itu dinamai
Nyabakan.”
“Baru dengar
riwayat beginian….” kata Dirman.
“Aku juga…”
“Itu belum
selesai,” sergah Bush. “Pangeran Gunong Naknong Beto Kalettak itu sakti
mandraguna. Setiap ia berkata Nyabakan,
sontak danau itu mengecil, ikan-ikannya mengecil, dan rupanya pangeran itu tak
sadar akibat kesaktiannya itu. Ia terus berjalan sambil mengucapkan kata Nybakan Nyabakan Nyabakan itu hingga
danau itu habis, hutan itu pun habis, pohjon-pohonnya kering seketika.
Akibatnya, yang ada sekarang Nyabakan itu menjadi daerah kering sih….”
“Kayak cerita
Wiro Sableng ya lama-lama….” kata Butun.
“Puteri
jelitanya, Bush?” timpal Dirman.
“Dinikahi sama
Pangeran Gunong Naknong Beto Kalettak itu.”
“Lalu apa
hubungannya cerita itu dengan ritualmu tadi?”
“Nah, itulah
kalian nggak tahu apa-apa kan,
Belalang-belalang!” Bush ngekek. “Dari riwayat kakekku ya, diwariskan ilmu
kesaktian jika akan mancing untuk menghindari apes kutukan sakti Pangeran
Gunong Naknong Beto Kalettak itu. Caranya, sudahlah itu rahasia kesaktian
keluarga kami. Intinya, ritualnya tadi itu ya untuk nangkal apes, supaya aku
yang orang Nyabakan ini bisa dapat banyak ikan saat mancing, tidak kena kutukan
sakti tadi.”
Butun dan
Dirman kian tak sabar.
“Yowes, sakti-sakti aja dari tadi, lalu
kapan kamu mancingnya? Kan
cuma kamu yang bawa pancing, Bush?
“Sabar, masih
ada satu ritual lagi,” kata Bush sambil menggali tanah di bawah batang mangga,
lalu menangkap beberapa ekor cacing kecil. Ia memasang cacing itu ke mata
kalinnya, lalu memasukkan satu ekornya ke dalam mulutnya.
Dirman dan
Butun sontak ber-hoek-hoek.
“Sekarang
kalian harus makan juga satu-satu.”
“Nggak!”
“Ogah!”
Bush menatap
mereka lekat-lekat. Rambutnya yang diikat sehelai kain putih penuh coretan
huruf Arab yang tak bisa dibaca dengan cara biasa, karena menyerupai rajah,
dibasahinya dengan sedikit air kolam itu.
“Ini harus kalian
makan. Semua orang yang hadir dalam acara mancingku, juga harus lakukan ritual
terakhir ini. Kalau nggak ya gagal kesaktian pancingku ini.”
Dirman
menggeleng kuat-kuat.
Butun
menyumpal mulutnya dengan kedua tangannya.
“Ya sudah,
ikannya nggak bakal dapat banyak dan hanya cukup untukku lho ya….” Lalu Bush
mencemplungkan mata kalinya ke kolam. Tak lama, seekor bawal tanggung menggelepar
di pancingnya. “Pancingan kedua nggak bakal dapat lagi. Sudah, aku pulang aja,
makan bawal ini aja.”
“Bush, jahat
gitu, aku gimana?”
“Aku juga
pengin, Bush!”
“Kalian ngeyel
gitu sih….!” Bush bangun, lalu berjalan pergi sambil menenteng ikan bawalnya.
Buru-buru Dirman dan Butun menarik tangan Bush.
“Jijik Bush
nelan cacing.”
“Iya, Bush, jijiki…”
Bush berhenti,
lalu berkacak pinggang setelah melepas pancing dan ikannya ke tanah. Di antara
bayang-bayang matahari yang samar saking
lebatnya daun-daun mangga di kebon itu, Bush berkata, “Percuma kalian
disediain tivi sama Kak Syaikho. Semalam aku nonton acara Golden Busway….”
“Acara apaan
itu?”
“Golden Ways
kali?”
“Itu yang kiai
Mario Tangguh….”
“Oalah, Mario Teguh, Golden Ways,
Bushh….!!!” sergah Dirman.
“Haaaa, kok kiai
Mario Teguh sih, Bush?!” timpal Butun. Terkekeh ia habis-habisan mendengar kata
kiai Golden Ways.
“Nah itu, mauku
bilang itu! Sudah, diam!” Bush bergaya membentak melihat Dirman dan Butun
mentertawainya. “Ketakutan itu adalah buah pikiran kita sendiri. Jika kita
berani, maka kita pun berani! Jika kita takut, maka kita pun takut. Jika kita
jijik, maka kita pun jijik! Gitu….”
“Maksudmu, aku
jijik nelan cacing itu hanya masalah pikiranku jijik gitu?” sahut Dirman.
“Itu….!” sahut
Bush ala Mario Teguh.
Dirman dan
Butun manggut-manggut.
“Kalian mau
makan enak tidak ini?” tanya Bush.
“Ya mau
banget!”
“Ya sudah,
telan dulu cacingnya tadi….”
Meski ragu,
akhirnya mereka memutuskan menelan cacing itu dengan mata memejam. Bush
tersenyum lalu kembali melontarkan mata pancingnya ke kolam. Menit demi menit
berlalu. 15 menit tak ada ikan yang terpancing. Dirman dan Butun yang masih
sibuk berhoek-hoek dengan bekas licinnya cacing di tenggorokan mereka mulai
kelihatan tak sabar.
“Bush, mana
ikannya!”
“Katanya
sakti!”
Bush diam.
Hatinya gerah. Tumben ini pancingku nggak sakti begini, padahal biasanya mudah
sekali ikan berhasil kutangkap, gumamnya.
“Huuhhhh,
ngibul aja kamu!” teriak Dirman.
“Sial! Mana
udah kadung makan cacing lagi!” pekik Butun.
Bush tetap
diam. Seribu bahsa. Hanya bahsa kalbunya yang berdenyar galau. Matanya
dipejamkan. Ia beneran merapal mantera yang pernah diceritakan tetangganya
sebagai mantera sakti memancing: “Inna
waddung calut-calut, anik-genik korbina konyik….”
Berkali-kali,
bahkan ratusan kali ia merapalnya sampai mulutnya berbusa oleh ludah kental,
ikan tak kunjung juga nyangkut di pancingnya.
“Sialan kamu,
Bush!” Dirman menjorokkan Bush ke kolam.
Byur!
Sontak Bush
basah kuyup.
Butun tak mau
kalah, menimpuk Bush dengan tanah yang digaruknya dari tepi kolam. “Ini, Bush, rasakan
kesaktianmu….!!!”
Bush memekik,
berusaha menghindari timpukan Butun yang kemudian juga diiikuti oleh Dirman.
Kolam itu jadi berkecipak tak karuan diselingi teriakan Bush dan makian Dirman
dan Butun.
“Siapa itu?”
Sebuah suara yang
bergema berhasil menghentikan keriuhan itu. Bush langsung menepi, ngumpet di
balik rumput tinggi-tinggi di sisi kolam. Dirman dan Butun yang tak kalah
kagetnya langsung nyemplung ke kolam, dan ikut ngumpet di sebelah kanan-kiri
Bush.
“Maling ya?!”
Suara itu
begitu besar. Bukan, bukan suara Kak Syaikho. Apa mungkin Mbah Siwon? Bukan
juga, sebab suara Mbah Siwon agak berat bergetar begitu.
“Kalian maling
ikan, heh?!!”
“Bukan, saya
Bush…”
“Hush…!” Dirman
menyumpal mulut Bush yang bersuara.
“Diam….” bisik
Butun.
“Oohhh, kalian
ternyata!”
Sontak mereka
mendelik melihat Jumak tengah berdiri di tepian kolam sambil menenteng ikan
bawal hasil pancingan Bush tadi.
“Kurang ajar
kamu, Jum!” pekik Dirman.
“Brengsek
kamu!” jerit Butun.
Jumak terkekeh
di atas kolam sedemikian puasnya menyaksikan ketiga kawan Jamas Bon-nya
basah-basahan di kolam karena ketakutan oleh suaranya yang dibesar-besarkan
tadi.
“Makanya,
ajak-ajak kalau mau makan enak….”
“Sialan kamu!”
“Kurang ajar!”
“Asemmmm….!”
Bush
menyemburatkan air kolam ke arah Jumak. Diikuti Dirman dan Butun yang bergerak
naik sambil mengejar Jumak. Jumak pun berlari sambil menenteng ikan bawal itu.
“Hei, siapa
itu?!”
Sontak
keriuhan itu mampat kembali. Suara itu berhasil membunuh nyali mereka. Bush
yang masih berada di dalam kolam dengan cepat kembali ke persembunyiannya.
Dirman dan Butun langsung berbalik arah kembali nyemplung ke kolam dan
bersembunyi di dekat Bush. Jumak yang ikutan panik mendengar teriakan itu, langsung
turut nyemplung ke kolam, bersembunyi di sebelah Dirman. Ikan bawal yang
digenggamnya sedari tadi juga ikut dibawa nyemplung dan terlepas dari
genggamannya.
“Alhamdulillah,”
gumam ikan bawal itu sambil ber-kiss bye
pada mereka berempat, lalu melindap pergi, bersembunyi, berpelukan dengan
anak-cucunya di sebuah lubang yang dalam. Ngoooaahhhaaa…
Seseorang
berperawakan agak gemuk berdiri di dekat batang mangga dekat kolam itu. Mbah
Siwon! Ia menatap berkeliling, lalu mengambil pancing yang tergeletak di dekat
kakinya.
“Ah, ini pasti
ada anak nakal yang mau mancingi ikan di kolam masjid ini. Keterlaluan…..”
Beberapa menit
ia berdiri di tepi kolam itu, lalu pergi dengan membawa pancing yang sekilas
agak dikenalnya. Tapi ia lupa di mana pernah melihat pancing berjoran bambu
itu.
Hampir satu
jam lamanya Bush, Dirman, Butun, dan Jumak baru berani keluar dari dalam kolam
itu. Menoleh kesana-kemari, menyimak keamanan sekitar. Lalu mereka berinjit
beriringan dengan tubuh basah kuyup menggigil, meninggalkan kebon mangga itu,
kembali ke masjid, lalu menyelinap masuk ke teras kamar. Mereka duduk
berjongkok kedinginan. Memeluk dengkul masing-masing.
“Pancing
keramatku dibawa Mbah Siwon,” bisik Bush. Gelisah.
“Mikirin
pancingmu, ini badanku kerasa masuk angin!” sergah Dirman.
“Aku juga
kedinginan, peluk dong….” ujar Butun sambil mendekatkan diri ke tubuh Jumak.
“Idiuuhhh…!”
“Apes benar
kita, gara-gara Jumak ini!”
“Kok aku? Bush
itu!”
“Kok aku?
Pancingku malah dibawa, gimana cara memintanya ya?”
Suara
kasak-kusuk mereka meratapi keapesan itu seketika punah saat deheman yang amat
mereka kenal menyelinap ke telinga mereka dari balik pintu masjid yang menuju
ke kamar itu.
“Kanapa basah-basahan
semua?” Mata Kak Syaikho mengamati mereka satu-persatu.
“Anu, Kak….”
“Ini, Kak…”
“Itu tadi,
Kak….”
“Anu, ini,
itu, ada apa ini?” Kak Syaikho berdiri di depan mereka yang duduk meringkuk
berjejer bak pesakitan. “Berantem lagi?”
“Tidak, Kak,
kami akur selalu kok,” jawab Dirman.
“Tadi cuma main
hujan-hujanan aja kok, Kak,” sahut Jumak.
“Iya, Kak.”
“Benar.”
“Betul.”
“Hujan?”
Kening Kak Syaikho berkerut. Sedari tadi ia tak pergi kemana-mana, hanya di
rumah, perasaan tak ada hujan. Lagian ini musim kemarau, mana ada hujan? “Di
mana ada hujan?” tanya Kak Syaikho kemudian.
“Di sana….”
“Di sini….”
“Yang benar
jawabnya!” Kali ini suara Kak Syaikho mulai meninggi. Kesal.
Dirman
perlahan bangkit, lalu berkata, “Gini, Kak, si Bush ini kan dari Nyabakan, dia orang sakti, Kak. Kak
Syaikho kan
dengar sendiri dia punya pancing sakti. Masih trah Pangeran Gunong Naknong Beto
Kalettak yang sakti. Nah, tadi dia merapal manteranya menurunkan hujan di sini,
Kak. Jadi kami kebasahan. Begitu, Kak, ceritanya, benar, Kak, suer deh, Kak, sumpah
pake bingit deh, Kak….”
Kak Syaikho
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar cerita itu, yang dikuatkan
oleh Bush, Butun, dan Jumak dengan sumpah-sumpah segala.
“Sakti, sakumu
putih!” rutuk Kak Syaikho sambil berlalu.
Setelah Kak
Syaikho menghilang, mereka saling bertos. Yes!
Selamat! Merasa telah berhasil meloloskan diri dari amarah Kak Syaikho.
“Hebat kamu,
Dir….” kata Butun.
“Kamu layak
jadi novelis! Ikutan Kampus Fiksi aja, Dir…” sahut Jumak.
“Aku memang
sakti kok,” ujar Bush datar sambil mengelus lengan dan betisnya yang
beset-beset.
“Sakumu
putih!” sergah Dirman, Butun, dan Jumak serentak sambil terkekeh.
“Assalamu’alaikum….”
Sontak mereka
kembali menjatuhkan badan dalam posisi jongkok dan gemetar. Kak Syaikho lagi!
“Wa’alaikum
salam….” sahut mereka serempak.
Kak Syaikho
menatap mereka, “Maafin aku ya, tadi memarahi kalian….”
“Iya, Kak,
sama-sama….” jawab mereka serempak lagi.
“Assalamu’alaikum….”
Kak Syaikho lalu pergi.
“Wa’alaikum
salam….” jawab mereka serempak lagi.
Mereka
bergerak berdiri tanpa suara kali ini. Tiba-tiba sebuah suara terdengar lagi. Membuat
mereka kembali terduduk jongkok seperti semula. Kak Syaikho lagi!
“Kapan-kapan
kalau kolam ikannya sudah kuisi ikan, kalian kuajak mancing ya. Kemarin habis
kupanen, ikannya lagi kosong, paling hanya ada sisa 1 atau 2 ekor saja.”
Mereka saling
tatap. Hanya bisa menatap.
To be continued.
3 Komentar untuk "BAB 3 NOVEL #JAMASBON: “PANCING SAKTI UNTUK MAKAN ENAK”"
aduh, rahangku kram XD~
hahahahaha kak syai aseemmmmm sekaliiiiii :D
Haaaa