Seseorang
memencet bel pintu rumah saya. Saya pun keluar dan melihat ia tengah menenteng
sekeranjang donat. “Om, maaf merepotkan, ini
saya mau nawarin donat,” katanya. “Enak lho, Om…”
Senyumnya merekah.
Saya
menggeleng sambil tersenyum. “Nggak, Bu….”
“Ayolah, Om,
ini enak, coba dulu ya, ntar kalau Om beli, uangnya
juga bisa saya pakai untuk berdagang lagi….”
Saya tergerak
untuk membelinya. Bukan karena suka donatnya, tapi terkesan sama kesantunannya.
Keesokan
harinya, seseorang memencet bel pintu saya. Berhubung saya masih sibuk membalas
email, saya tak langsung beranjak. Bel terdengar lagi dan lagi, dalam tempo
yang sangat terdengar tak sabaran.
“Iya, Bu?”
sapa saya pada seseorang yang menenteng keranjang donat.
“Haduh, Om, lama sekali bukanya, sampai saya kepanasan begini,”
wajahnya merengut. “Ini donat, enak, beli ya…”
Saya enggan memberinya
senyum, bahkan yang terpahit sekalipun, kecuali gelengan malas.
Dia kian
merengut, lalu pergi.
****
Saat kau
berpikir bahwa berbisnis adalah “perdagangan murni”, ada ada barang dan
pembeli, maka kau tidak salah, tetapi pun kau tidak sepenuhnya benar. Kau tidak
salah, karena berdagang “barang-pembeli” merupakan bagian dari berbisnis. Kau
tidak sepenuhnya benar, karena berbisnis lebih sering poin utamanya bukanlah
tentang barang, melainkan attitude.
Menulis sebuah
naskah novel atau non fiksi sejatinya merupakan bagian dari kegiatan berbisnis.
Ada barang, sebutlah naskah, dan ada pembeli,
sebutlah penerbit atau media massa.
Kau yang penulis sebagai penjual tak punya kuasa untuk memaksa penerbit sebagai
pembeli untuk “membeli” naskahmu. Tak punya kuasa di sini artinya kau tak
berhak memaksa sebuah penerbit yang kau tawarkan untuk sekadar meliriknya,
apalagi membeli (baca: menerbitkan) naskahmu. Yang bisa kau lakukan hanyalah “menawarkan”
semenarik mungkin, bagaimana pun caramu, agar penerbit yang kau tawarkan
tertarik melirik naskahmu, lalu membelinya.
Ada banyak pembeli di
sekelilingmu. Tetapi juga ada banyak penjual di sekeliling penerbit.
Kau tak akan
mendapatkan banyak pembeli, bahkan boleh jadi tidak akan pernah mendapatkan
pembeli, jika kau melulu berpikir tentang “barang”. Ya, barang, alias naskah.
Sehebat apa pun barang yang kau tawarkan, itu tidaklah cukup memadai untuk
memuaskan pembelimu. Boleh jadi ada pembelimu yang tertarik murni pada barang
yang kau tawarkan, lalu membelinya, tetapi kemudian dia berjanji dalam hati
untuk tidak membeli barangmu lagi, karena dia kecewa terhadap hal di luar
barangmu, yakni attitude.
Demikian pula posisi
penerbit ketika telah menerbitkan sebuah buku, maka ia akan berhadapan dengan
ribuan konsumen, pembeli, dengan karakter yang sama dengan lazimnya pembeli.
Sebagaimana
saya membeli donat dari penjual donat pertama yang santun, donat sebagai sebuah
barang bukan lagi menjadi poin utama yang mendorong saya untuk membelinya.
Donatnya boleh jadi malah tidak lebih lezat dibanding donat yang dijajakan
orang kedua yang merengut di depan saya, tetapi semata karena saya terkesan
sama kesantunannya, sebutlah itu attitude,
maka saya membelinya.
Begitulah
dunia bisnis bekerja. Sebagian memang berlandaskan sepenuhnya “suka barangnya”,
sebagian lain karena fatantikan mereknya, sebagian lain karena attitude yang terjalin dengan baik
antara penjual dan pembeli. Transaksi yang didasarkan pada “kualitas barang
plus attitude keren” menjamin
kelangsungan panjang kegiatan berbisnis itu. Sadar atau tidak, kini kau harus
mengerti benar bahwa kerjasama yang bernapas panjang pastilah didasarkan pada kualitas
barang dan kualitas attitude antar
kedua pihak. Penjual dan pembeli.
Penjual tidak
akan mendapatkan pembelinya dengan napas panjang jika tidak memelihara attitude-nya. Pembeli pun akan kesulitan
mendapatkan barang yang bagus jika tidak diiringi attitude-nya. Jika dibuat hierarki, menjadi terang bahwa barang
ternyata seringkali menjadi nomer dua, dan attitude-lah
yang menjadi nomer satunya.
Kau tak berhak
bilang pada pembeli bahwa dia tidak obyektif, karena setiap pembeli pastilah memiliki
prinsip dasar yang tetap menjadi pegangannya, yang boleh jadi kau tidak
memahaminya. Bukankah kau tak pernah tahu, dan memang tak berhak tahu, saya
membeli sepuluh potong celana jeans untuk saya jadikan apa?
Pelajaran
berbisnis ini, jika saat ini belum kau rasakan gunanya, suatu hari akan
membuatmu memahami bahwa ada jubelan faktor x di luar urusan murni traksaksi
jual-beli barang yang justru sangat lebih menentukan seberapa berhasilkah kau
berjualan.
Cobalah kau
jualan gorengan di musim dingin yang menguliti tubuh Jogja, yang secara
teoretis pastilah bakal laku keras, dengan memasang muka masam pada orang-orang
yang melintasimu. Dijamin tidak laku! Sekalipun gorenganmu boleh jadi lebih
kriuk daripada gorengan yang dijajakan di gerobak sebelahmu, yang selalu
menebar senyum ramah bak seorang kawan lama.
To be continued…
Jogja, 9 Januari 2013
6 Komentar untuk "PELAJARAN BERBISNIS (BARANG DAN ATTITUDE)"
Mantab pak pencerahannya...
Setuju, Pak...
setuju pisan, Pak.
Wah, menarik...
semoga bermanfaat
benar juga ya pak.