Resmi sudah
Bush menjadi bagian dari Jamas Bon, Penjaga
Masjd dan Kebon, sejak dibai’at oleh Mbah Siwon, sesepuh masjid al-Huda
tersebut. Ia menghuni kamar seukuran 3x3 itu, bersama 3 orang lainnya. Hanya
ada satu lemari kayu untuk dipakai bersama, karpet hijau yang telah gundul
untuk dipakai tidur bersama, beberapa peralatan memasak yang bergeletakan untuk
dipakai bersama, beberapa kardus tua, dan beberapa biji buku yang dipajang di
rak dinding.
Anggota Jamas
Bon yang paling lama menghuni kamar itu adalah Dirman. Anak Jombang. Katanya,
saat berkenalan dengan Bush, ia masih keturunan keluarga pesantren Denanyar. Gus, anak kiai. Cuma ia mengaku rendah
hati sehingga tak mau disebut gus. Badannya tinggi sekali, tapi ceking
sekali. Tidak tampan, tentu saja. Kemana-mana selalu memegang HP, yang
disebutnya sebagai smartphone, yang katanya
jauh lebih ia cintai daripada urusan makan.
Anggota kedua
anaknya pendek tapi gemuk. Asal Tegal. Saking pendek dan gemuknya, ia terlihat
bagai buntalan. Namanya Rahman. Dulu, Mbah Siwon secara berkelakar menyebutnya butun, yang artinya perut, kata jamak
dari batnun. “Saking perutmu itu
bukan satu lagi, tapi tumpukan perut….” kata Mbah Siwon sambil terkekeh. Sejak
saat itu, ia lebih dikenal dengan panggilan Butun.
Anggota ketiga
adalah Jumak. Anak Jember, tapi jago bahasa Madura, dan baru menghuni kamar itu
sebulanan sebelum kedatangan Bush. Jumak murah senyum, sampai-sampai agak sulit
dipahami untuk apa dia tersenyum pada sesuatu atau seseorang yang bagi orang lain
dianggap tidak lucu. “Biar dapat pahala menyenangkan hati orang dan sekaligus low profile,” katanya pada Kak Syaikho
saat ditanya tentang kebiasaannya menebar senyum itu. Jumak ini selain kuliah,
juga menulis. Ucapan-ucapannya kadang terasa terlalu formal sistematis.
Terstuktur rapi. Sekalipun dalam obrolan harian. Meski tidak selalu juga sih. Saat
berkenalan dengan Bush, ia mengenalkan diri sebagai cendekiawan muda Indonesia.
Dulu, Kak
Syaikho adalah sesepuh Jamas Bon. Sejak berkeluarga, ia tidak menghuni kamar
tersebut lagi, tetapi di belakang masjid, di sebuah rumah, bersama istri dan
anak-anaknya. Ia disepuhkan di lingkungan masjid al-Huda tersebut, karena ia
paling lama menjadi anggota Jamas Bon dan juga dedikasinya yang sangat tinggi
terhadap segala aktivitas masjid tersebut, dari urusan ibadah sampai
bersih-bersih.
Dari keempat
anggota Jamas Bon itu, hanya Bush yang belum kuliah. Tepatnya, baru akan
kuliah. Ia sudah mendaftar di UIN, dan besok akan ikut ujian seleksinya. Maka,
saat akan dibai’at di malam hari usai shalat Isya’ oleh Mbah Siwon, ia
berbisikpada Kak Syaikho.
“Kak, jangan
lama-lama ya bai’at saya…”
“Tergantung
Mbah Siwon. Saya nggak berani mengatur beliau, kan beliau juga yang memimpin acara itu
nanti….”
Bush galau. Ia
benar-benar merasa harus belajar sesiap-siapnya untuk ujian besok agar lulus.
Lulus demi mewujudkan impian mulia orang tuanya menjadi satu-satunya mahasiswa
dari kampung Nyabakan tercintanya. “Biar kamu jadi teladan bagi pemuda-pemuda
lain di kampung ini.” Ucapan K. Ali itu terus dipegang oleh Bush.
Dengan
memberanikan diri, sebelum acara bai’at dimulai, Bush mendekati Mbah Siwon yang
duduk di sebelah Kak Syaikho. Ada Dirman, Butun, dan Jumak pula. Jadi ada 5
orang dalam acara bai’at itu.
“Mbah, tolong
acaranya jangan lama-lama ya, saya harus belajar….” kata Bush, yang langsung
disambut dengan gelengan kepala dan tatapan tajam oleh Kak Syaikho.
Mbah Siwon
yang sehari-harinya jualan nasi rawon di pasar Kliwon dan punya beberapa sarang
tawon, yang anak gadisnya yang ayu kabarnya sangat mengidolakan Siwon dari Korea
itu, tersenyum pada Bush.
“Wah ini,
calon anggota yang kritis…” ujarnya.
“Maaf lho,
Mbah….” Malah Kak Syaikho yang menimpali, karena ia merasa risih dengan
keberanian Bush. Iya, Kak Syaikho memang
suka nggak enakan orangnya.
“Nggak
apa-apa, namanya juga anak muda, suka kritis, meski kadang sulit dibedakan lagi
dengan bawel….”
Jdes! Jgeerrr!
Bush
mengangguk, merasa bangga. Belum apa-apa aku sudah dipuji kritis, apalagi kalau
sudah kuliah nanti ya, gumamnya dalam hati.
Maka acara
bai’at pun dimulai, dipimpin Mbah Siwon.
“Kamu harus
menjalankan syari’at Islam dengan baik….”
“Iya.”
“Kamu harus
menjaga nama baik masjid al-Huda ini….”
“Iya.”
“Kamu harus
mengajari anak-anak kecil mengaji di sore hari.”
“Iya.”
“Kamu harus
turut menjaga kebon masjid….”
Bush mendongak
kali ini. “Sekalian sama kolam ikannya ya, Mbah?”
“Maksudmu?”
tatap Mbah Siwon.
“Saya ini jago
mancing di kampung, pernah ikut acar mincing rame-rame se kecamatan, saya
menang. Kalau Mbah tidak percaya, saya bawa alat pancing sakti saya kok. Ini
pancing keramat mbah, jorannya dari bambu bekas mengukur jenazah untuk menggali
kuburannya.Tunggu sebentar….”
Tanpa menunggu
jawaban, Bush langsung masuk ke kamar di sebelah masjid, lalu tak lama keluar
lagi sambil membawa peralatan pancing lengkap: joran bambu, senar, dan mata
pancing yang agak karatan.
“Ini, Mbah,
mata pancing yang karatan ini karena disepuh sama bapak saya dengan doa
khusus….” Bush bersemangat menceritakan sejarah pancing saktinya.
“Bush….!”
teriak Kak Syaikho.
“Biar Mbah
Siwon yakin, Kak, kalau saya jago mancing.”
“Ya sudah,
taruh sini pancing saktimu, biar jadi saksi sekalian untuk bai’atmu ini.”
Bush pun
meletakkan pancingnya di depan Mbah Siwon. Kak Syaikho menunduk,
menggaruk-garuk pecinya yang tak gatal.
“Kamu harus
rajin kuliah sampai lulus….”
“Iya.”
“Kamu jangan
pacaran sebelum lulus….”
“Insya Allah….” sahut Bush, kali ini
diikuti suara spontan Dirman, Butun, dan Jumak.
Mbah Siwon
menebar matanya berkeliling, menatap wajah-wajah keempat anggota Jamas Bon itu.
“Kalian
tahu….”
“Tidak, Mbah…”
“Ya jelas
tidak tahu wong saya belum selesai
ngomong disamber aja begitu. Gimana mau tahu kalian ini?” Mbah Siwon mulai
memperlihatkan kesalnya. “Pacaran itu haram!”
Dirman, Butun,
dan Jumak saling bertatap. Lalu Jumak berkata, “Mbah, maaf sebelumnya, itu Lubna,
puteri Mbah, pacaran lho….”
“Hah?! Apa
iya?! Sama siapa?!” muka Mbah Siwon menegang. Tampak ia kaget benar dengan
ucapan Jumak.
“Kami sering
melihatnya diantar oleh cowoknya di depan Indomart itu lho, Mbah….” timpal
Dirman.
“Wah ini, ini,
iniiiii, haram ini….!” Mbah Siwon menahan malu dan marah.
“Cowoknya sih
jelek, Mbah, tapi pakai mobil Jazz putih. Pasti lebih mahalan Jazz-nya daripada
orangnya….”
“Ohh, Lubna
itu yang cantik itu kan
ya?” sela Bush. “Yang kemarin kamu panggil-panggil pake suitan itu kan?”
Dirman
mendelik ke arah Bush. Kak Syaikho tercekat tak kuasa mengeluarkan sepatah kata
pun di antara ulah keempat anak buahnya itu.
“Pakai Jazz?
Mobil kan?
Bukan jas hujan, kan?”
tanya Mbah Siwon. Suaranya agak reda. Mungkin ia sudah berhasil menguasai
emosinya.
“Iya, Mbah….”
sahut mereka serempak.
“Ya sudah,
nanti saya bilangin Lubna supaya diteruskan….” Ucapan Mbah Siwon terpenggal
oleh tangannya yang bergerak cepat menyumpal bibirnya sendiri. “Eh, anu, maksud
saya nanti saya nasihati dia….”
Dirman, Butun,
dan Jumak saling pandang. Juga Bush. Dalam hati, Bush membantin, jadi kalau
cowoknya pakai mobil supaya dipelihara ya, Mbah, pacarannya supaya jadian
sampai menikah.
Mereka tak
kuasa menyembunyikan senyumannya.
Jadi gimana,
Mbah?” tanya Bush.
“Apanya?”
“Pacarannya
haram tidak sekarang?” tukas Jumak.
“Biar ada
hukum pastinya, Mbah,” timpal Dirman.
“Diam!” Kak
Syaikho bersuara tegas. “Dengarkan Mbah Siwon!”
Mbah Siwon
menarik napas, lalu berkata dengan berat. “Sudah, sudah, intinya, kalian harus
jadi anak yang rajin dalam hal ibadah dan usaha menjaga kebun itu. Kebun itu
adalah kebun hibah, milik masjid ini, milik umat. Pendapatan dari pohon-pohon
mangga di kebun itu, juga ikan-ikan di kolamnya, ya untuk masjid ini. Jadi
kalian harus merawatnya....”
Tak ada
sahutan.
“Kamu paham,
Bush?”
“Iya, Mbah.”
“Ya sudah,
dengan mengucap hamdalah, kita tutup
acara bai’at Bush ini ya.”
Belum juga
Mbah Siwon mengucap salam, Bush nyeletuk. “Mbah, mau tanya satu lagi, biar
lebih jelas.”
“Iya?”
“Suatu hari
kalau saya jadi orang sukses, punya mobil bagus, saya mohon ijin sama Mbah
Siwon untuk menikahi Lubna ya….”
“Bush…!!!”
pekik Kak Syaikho.
“Saya juga
mohon ijinnya, Mbah….” timpal Jumak.
Jumakkk…!!!”
jerit Kak Syaikho.
“Saya juga….”
sahut Dirman.
“Dirman…!!!”
lengking Kak Syaikho.
“Saya….” tukas
Butun.
“Kaliannnnnnn…..!!!”
Kali ini Kak Syaikho berdiri, lalu menjewer telinga keempat anak Jamas Bon itu
tanpa ampun.
Mbah Siwon
hanya geleng-geleng kepala, lalu mengucap salam, dan pergi dengan gontai. Sampai
tak sadar kalau sendalnya tertukar dengan sandal Kak Syaikho.
“Kalian
keterlaluan sih?!” suara Kak Syaikho meninggi. “Itu Mbah Siwon, orang terhormat
di sini, kok dipermainkan begitu?”
“Kak, saya
serius….” sahut Bush.
“Saya juga,
Kak….” kata Dirman.
“Saya juga….”
seru Butun.
“Saya….”
timpal Jumak.
Kak Syaikho
berdiri tegak di depan mereka dengan wajah memerah dan dada kembang-kempis. Ia
terdiam beberapa jenak. Mengatur napas. Setelah derum murkanya mereda, ia
berkata lagi. “Pokoknya kalian jangan macam-macam di sini. Kuliah yang benar,
jaga masjid yang benar, dan juga rawat kebon yang benar. Paham?!”
“Benar!!!”
sahut mereka serempak.
“Ah….” Kak
Syaikho lalu pergi tanpa mengucap salam. Tampak benar ia yang penyabar kali ini
dibikin malu dan marah oleh anak-anak Jamas Bon itu.
Dirman, Butun,
Jumak, dan Bush hanya saling tatap lalu masuk kamar. Dirman kembali ke HP-nya. Jumak
menyalakan laptop tuanya. Butun mengunyah kripik singkong bawaan Bush. Dan Bush
sendiri melinting tembakau pemberian pamannya sambil melipat kedua kakinya di
depan dada dalam posisi jongkok. Serupa dengan pelajaran pamannya saat
melinting tembakau ya harus berposisi begitu supaya rokoknya gurih.
“Assalamu’alaikum…..”
Sebuah suara
membuat mereka semua menoleh. Kak Syaikho rupanya.
“Wa’alaikum
salam….” sahut mereka nyaris serempak.
“Maafkan saya
ya, tadi saya marah….”
“Iya, Kak,
sama-sama, saya juga mohon maaf….” balas Bush.
“Saya juga,
Kak….” kata Dirman.
“Saya juga….”
seru Butun.
“Saya….”
timpal Jumak.
“Assalamu’alaikum.”
Lalu Kak Syaikho pergi.
“Wa’alaikum
salam….” sahut mereka nyaris serempak lagi.
Sambil
menghabiskan genggaman kripik terakhirnya, Butun berkata, “Kak Syaikho ya
memang begitu orangnya. Jika dia sampai marah, meski kita yang salah, dia pasti
akan minta maaf.”
“Iya, dia baik
banget, penyabar sekali….” sahut Dirman.
“Kok aneh ya?”
gumam Bush.
“Kok aneh?”
“Iya aneh,
habis marah minta maaf, padahal bukan dia yang salah, harusnya kita yang minta
maaf kan?”
“Justru itu
hebatnya Kak Syaikho, nggak kayak orang jelek kayak kamu!” seru Butun.
“Wooow,
menghina ini, menghina ini!” Bush menegak.
“Lho marah,
dibilangin kok marah,” seru Butun sambil berdiri di atas meja kecil yang lagi
dipakai laptop Jumak. Tanpa ampun, laptop itu pun terjatuh.
“Lho, sialan!”
Jumak menarik tubuh Butun. Sampai terguling dan menimpa tubuh Dirman.
“Hei, kalian,
kena aku lagi, asemmmm!” Dirman
memekik sambil mendorong tubuh Butuh.
Bush merangsak
maju memegang leher Butun sambil memekik, “Jangan macam-macam kamu sama aku ya!
Aku orang Madura!”
“Aku orang
Tegal!” pekik Butun.
Kamar itu
seketika kocar-kacir. Tak jelas siapa berantem dengan siapa. Mereka bergulingan
semua. Buku-buku berantakan. Dus-dus berserakan. Karpet sampai tersingkap tak
karuan.
“Jamas
Boooonnnnnnnn….!!!”
Jeritan
panjang itu sontak menghentikan kekacauan acakadut
itu.
“Ini sudah
malam, jangan berisikkkkkk….!!!”
Mereka saling
tatap. Diam. Itu suara Kak Syaikho. Mereka menunggu dengan dada gemetar apa
gerangan yang akan terjadi kemudian.
Sekitar 5
menit mereka terhenyak dalam sunyi, tanpa suara. Tak ada tanda-tanda Kak
Syaikho akan memasuki kamar itu. Lalu mereka saling senyum. Kemudian
bersama-sama memberesi kamar yang berantakan.
“Kak Syaikho
yang berisik tadi….” ucap Butun.
“Iya.”
“Benar.”
“Tepat.”
3
MAKAN ENAK
“Aku pengin makan enak!” teriak
Bush sambil keluar dari kamar mandi.
“Tempe!” sahut Dirman.
“Ikan mas pepes!” sahut Bush.
“Punya duit?”
“Nggak ada sih.”
“Lalu?”
Bush mengambil pancingnya, lalu
berbisik, “Mancing di kolam.”
“Hei, itu milik masjid ini tahu!”
“Lho iya, aku tahu.”
“Kok mau dipancingi?”
“Aku kan amil
di sini, namanya amil ya boleh ambil
jatah.”
“Ah, sialan, enak aja kamu….”
“Ya sudah, kalau nggak mau, aku
mau makan pepes ikan mas sendirian.”
“Eh ikut….” teriak Butun yang
baru pulang kuliah.
“Aku juga ah, kan aku juga amil….” sahut Dirman.
To be continued.
5 Komentar untuk "Novel JAMAS BON: (BAB 2: BAI’AT JAMAS BON)"
Mau doong jadi amil masjid yang punya kolam, jadi bisa ambil ikan sesuka hatinya. Punya kebon jugakah..:)
Hidup Kak Syaiko!!
^_^
pak edi ini makin mboiisss sajaaa :D
bahaha lanjut, Pak Bos~ XD
Ngoahaaaa.....next ttg.....makanan enak menurut Jamas Bon