Di sini, saya
tak akan mengulas tentang sejarah Mehmet 2 alias al-Fatih dalam menaklukkan
Konstantinopel. Cerita begitu sudah banyak beredar. Saya tergugah untuk melihat
sikap al-Fatih yang masih berusia muda saat menaklukkan Konstantinopel dan dia
menyatakan hasratnya pada gurunya untuk mengundurkan diri dari kursi
kekhalifahan.
“Agar saya
bisa lebih khusyuk beribadah,” begitu alasannya.
Sang guru
dengan bahasa bijak menjawab, “Memang jika kau mengundurkan diri dari kursi
khalifah, waktumu akan sangat leluasa untuk beribadah. Kau akan meraih
kebahagiaan dalam ibadahmu. Tapi itu hanya untuk dirimu. Jika kau terus menjadi
khalifah, kau akan membahagiakan jutaan rakyatmu.”
Al-Fatih
mengikuti nasihat gurunya. Ia terus memimpin Istanbul (nama yang diciptakannya sebagai
pengganti Konstantinopel) selama 28 tahun berikutnya.
****
Setiap kali
menyaksikan acara talkshow para
politisi di tipi yang selalu saling ribut adu mulut atau menatap wajah-wajah
bening para caleg di baliho sepanjang jalan sekitaran Jogja berkat polesan Corel Draw, saya teringat al-Fatih. Ya,
saya teringat ritual sejak kecil yang dijalani al-Fatih dalam hal menghapal
al-Qur’an, berpuasa, bershalat jamaah, bertahajud, dll., sampai ia berhasil
menguasai Konstantinopel. Mentalitasnya sudah terbentuk sedemikian religiusnya
saat ia menguasai tahta agung itu.
Caleg kita?
Calon bupati, gubernur, dan presiden kita?
Ritual
religius apakah gerangan yang telah mereka tempuh sejak lama, yang membentuk habit mereka?
Bukan, bukan,
buat saya sungguh bukanlah tentang Islam tidaknya mereka di negeri plural
begini. Mau muslim sekalipun, bahkan (maaf) anak keturunan kiai sekalipun, jika
tak punya habit religius yang terbina sejak dini, yang membentuk mentalnya, ia kan tetap menjadi
brengsek saat duduk di kursi kekuasaan yang penuh gelimang harta.
Maling tak
pernah mengenal syahadat tidak. Maling tak pernah terikat pada jidat hitam
tidak. Maling tetaplah maling, lintas SARA, karena ia berbasis pada mental.
Keserakahan
tak pernah mengenal apa agamamu, asal dari etnis mana, sekolahmu di mana,
setinggi apa, bacaanmu seluas apa. Tidak. Serakah adalah tentang pengendalian mentalitas
yang terbina sejak dini.
Kepedulian
pada sesama juga tak mengenal batasan agama dan ras. Mau berkulit putih atau
coklat atau hitam, ia akan tetap menjadi orang yang peduli pada hidup orang
lain jika ia punya habit yang baik sejak dini, mentalitas yang terasah sejak
lama.
Al-Fatih
mungkin terlalu ideal untuk saya tanam di kepala, mengharapkan kelak para pemegang
kursi kekuasaan negeri ini selevel beliau. Iya, baiklah, tidak perlu setinggi
itu. Tidak perlu sezuhud al-Fatih yang ingin meninggalkan kekuasaannya di
tengah kejayaannya demi mengabdi pada Allah.
Cukuplah kau
tidak tamak, serakah, gila harta, dan peduli pada hidup orang lain, buat saya
kau telah mewarisi darah mulia al-Fatih. Cukuplah kau hadir ke tengah nestapa
orang lain, buat saya itu sudah lebih dari cukup untuk percaya bahwa kau meneladani
al-Fatih. Cukuplah kau mengerti dan membuktikan bahwa kursi kekuasaan yang kau
duduki (atau akan) adalah demi membahagiakan orang lain, bukan dirimu dan
kronimu belaka, itu sudah oke buat saya untuk yakin bahwa kau orang mulia
seperti al-Fatih.
Saya akan
terus berharap, meski sejauh ini saya terus kecewa.
Jogja, 28 Januari 2014
1 Komentar untuk "TERINGAT AL-FATIH, PENAKLUK KONSTANTINOPEL"
Senang rasanya, Pak, kalau saja Mehmed II bisa terlahir kembali dan menjadi pemimpin di negeri (gila) ini. Tapi mengandai-andai juga tak selamanya baik untuk kita. Lebih baik bersikap sumeleh.