…bagaimanapun, dusta terbesar adalah ketika kita menipu diri sendiri,
kemudian nahasnya harus terus mengulangi agar segenap rasa muak tetap terpendam….
(Alice Munro, Dear Life)
Saya termasuk orang yang patut sekali untuk menyesali kekudetan saya
lantaran baru kemarin mengenal sosok Dijah Yellow. Damn, bagaimana ini
bisa terjadi? kutuk saya pada diri sendiri.
Setelah searching info dan data ke sana-sini, merenungkan
dalam-dalam, akhirnya saya harus menepuk dada untuk menyatakan bahwa inilah
sang juru selamat sastra Indonesia yang telah sangat lama dinantikan.
Dijah Yellow; gadis sederhana, dengan kepedean maha jumawa, dan ghirah
tinggi yang sangat dahsyat.
Rembulan Love (Love Between a Moon and a Star), begitu judul novelnya, ditulis hanya dalam tempo 9-10 hari! Pikirkan,
penulis beken manakah yang sanggup berkomitmen begini cadasnya pada sastra
Indonesia? Sekadar pembanding, Dee membutuhkan waktu sampai 8 tahun untuk
menyelesaikan sebuah novelnya, Habiburrahman perlu 4 tahun untuk menelurkan
novel barunya. Sampai di sini, mari applause untuk kekuatan niatnya menulis.
Lalu novel Dijah Yellow itu diterbitkan oleh penerbit online terbesar
yang niscaya ketat kompetisinya, dibanderol harga selangit, Rp. 145.000. Buku
Seno Gumira Ajidarma yang setebal bantal itu, Senja dan Cinta yang Berdarah,
tak sampai segitu banderolnya.
Baiklah, itu hanya sampel kecil kelebihan-kelebihan novel Dijah
Yellow.
Hal yang sangat filosofis, yang membuat saya takjub bertubi-tubi kemudian
ialah kredonya yang dekonstruksionis: “Buku sekolah harus perhatikan EYD-nya
karena untuk pelajaran, kalau novel itu tidak perlu diperhatikan EYD-nya agar
tidak kaku membacanya.” Juga, “Penulisan dalam novel aku belum sempurna
tapi itu tidak mengapa karena ini sebuah novel untuk refreshing otak dan bukan
buku sekolah.”
Dijah Yellow membuktikan kredonya dalam sampel bab satu novelnya ini
dengan penuh ceria:
Tiba-tiba brak “hey bunyi apakah gerangan?!. Bunyi itu memecahkan
suasana yang sepi. Akupun sedikit terkejut, maklumlah pada malam itu terasa begitu
sepi dan bumipun diguyur hujan yang sangat deras. Apalagi malam itu, aku sedang
sendiri dirumah, karena kedua Orang tuaku sedang pergi. Maklum saja kalau aku
ini adalah anak tunggal, kebayang dong bagaimana sepinya dirumah. Sepi…sepi…dan
sepi….^_^.
Jacques Derrida, sang dedengkot postmo, dikenal dengan operasi “differance”,
lazim diterjemahkan “penangguhan”. Apa yang dimaksud differance ialah
(misal) “ada tanpa ada”, “negativa tanpa positiva”, “awal
tanpa akhir”, “mengawali sebagai mengakhiri”, dan seterusnya.
Spirit differance ialah ketidakpastian,
dekonstruksionis-relativis. Sehingga boleh saja kita berpikir begini: “Titik
awal kita memulai sesuatu sekaligus merupakan titik awal kita mengakhiri
sesuatu.”
Well, sebutlah secara memudahkan sebagai
“dekonstruksi”. Dan, kita tahu, tidak ada kebenaran absolut dalam dekonstruksi
postmo. Semua serba relatif.
Maka wajar saja untuk diterima secara epistemologi Derrida bila
Dijah Yellow menegasi EYD dalam penulisan novel, seperti menggunakan titik
setelah tanda seru dan menggabungkan kata di dengan kata benda. Pahamilah
bahwa itu merupakan bagian dari operasi differance.
Sekadar pembanding, filosof sekaliber Levinas dan Althusser saja
tampak limbung untuk menerima operasi differance dekonstruksionis
Derrida. Lalu kurang bergidik bagaimana lagi kita ini pada sosok Dijah Yellow
yang begitu santai mengacak-acak mazhab Levinas dan Althusser, tentunya juga
Cartesian yang logosentris, dengan menerapkan prinsip filosofis operasi differance
Derrida dalam EYD?
Analisis kedua atas gerakan penyelamatan sastra dari rezim otoritariannya
selama ini, yang dinahkodai Dijah Yellow, bisa kita lihat berdasar filsafat hiperrealitas
Jean Baudrillard. Di Indonesia, pemikiran Baudrillard sangat intensif digali Yasraf
Pilliang. Itu pemikirannya. Praktiknya, operasinya, kini dipresentasikan dengan
genuine oleh Dijah Yellow.
Hiperrealitas adalah konstruksi konsep, pandangan, dan episteme
terhadap sesuatu yang ada, lalu dihiperkan sehingga merealitas sedemikian tak terhingga berdasar kekuatan
imajinasi, sehingga tampil sebagai realitas baru yang tak terbayangkan sama
sekali sebelumnya; unpredictable; jauh melampaui masanya. Sebab itulah
ia ditolak oleh kaum positivis, tetapi
diyakini sebagai harapan masa depan oleh kaum postmo dan jomblo.
Sebagai misal, kata Baudrillard, kala kita berpikir tentang
pornografi, ia begitu menghunjam di kedalaman pikiran dan batin kita; sanggup
melampaui aktivitas seksual itu sendiri. Menonton bokep berhasil tampil lebih ekstatif
dibanding aktivitas seksual itu sendiri. Right?
Baudrillard jelas tidak sedang bercanda karena ngaceng kala menggagas
hiperrealitas, kendati tak sepenuhnya steril dari pengaruh Thomas Kuhn, The
Structure of Scientific Revolution (1962).
Dari perspektif ini, Dijah Yellow tengah berhiperrealitas dengan
serius; mencapai estetika yang tidak pernah sanggup ditempuh oleh penulis
manapun.
Saat penulis-penulis lain suntuk dengan langgam, keserasian, dan
harmoni kalimat, Dijah Yellow menjebol finity of aesthetic itu dengan
cara; abaikan langgam, persetankan keserasian, sebodohin harmoni, dan
bahkan prekin struktur bahasa. Maka
santai saja baginya untuk berposisi sesekali terasa menulis cerita, sesekali
lainnya terasa curhat, sesekali lainnya terasa bercanda, dan sesekali lainnya
terasa entah apa.
Bila Jean-Paul Sartre hidup di masa kini, tahu kreativitas Dijah
Yellow, niscaya Sartre akan menyebut namanya sebagai contoh sempurna kemahaluasan
imajinasi yang dimaksudnya dalam buku Psikologi Imajinasi.
Dijah Yellow, secara filosofis, kentara memilih karakter Derrida,
sebutlah ia Derridian. Dari sosok Levinas, Althusser, hingga Wittgenstein, saya
kira akan malu dengan warisan filsafatnya andai hidup sezaman dengan Dijah Yellow. Ia adalah pembantah sempurna melalui karya nyatanya, novel Rembulan
Love, menandaskan bahwa: “Tembok-tembok pembatas bernama EYD, langgam,
keserasian, harmoni, dan lainnya hanyalah debu-debu nisbi di hadapan keluasan
semesta imajinasi dan estetika.”
Saya akhirnya menyadari bahwa Dijah Yellow adalah “hiperrealitas”
kesusesatraan kita kini; masa depan sastra Indonesia; sang juru selamat sastra
yang telah lama dinantikan.
Welcome, Dijah Yellow!
Ada kalimat haru bertitik air mata dari saya untukmu, dengan
mengutip Alice Munro: Dusta terbesar adalah ketika kita menipu diri sendiri,
kemudian nahasnya harus terus mengulangi agar segenap rasa muak tetap terpendam….,
mereka yang menolakmu hanyalah sedang berdusta pada diri sendiri untuk
merayakan kedatanganmu yang amat dirindukan.
Jogja, 17 Maret 2015
Tag :
KampusFiksi,
Yang Serba Nakal
62 Komentar untuk "DIJAH YELLOW, SANG JURU SELAMAT SASTRA INDONESIA"
Gyahahahaha...dan penasaran... itu gak nyampe 200 halaman harganya 145.000, isinya bakal cetar nggak yaaa... :D
padahal dijah yellow sendiri sama sekali gak ngerti apa itu teori dekonstruksi... derrida... atau
Jean Baudrillard....
namaku juga Dija...
tapi aku lebih suka pink
Pak Edi... pak Edi...
Buku bapak saja tidak 'semendobrak' itu, ya...
Hehe, sepertinya agak berlebihan, Pak.
Kalo dikatakan bahwa Dijjah Yellow disebut sebagai Derridian. Bagaimana jika ia sekadar mencari sensasi atau, maaf, lebih buruknya hanya mendongkrak popularitas atau melariskan novelnya? Jika hal itu yang terjadi, maka bagaimana dengan asumsi Bapak yang menganggapnya sebagai bagian dari Derridian? Padahal, sebelum Dijjah Yellow, Drunken Monster karya Pidi Baiq--menurut saya juga keluar dari pakem penulisan kita (EYD)--atau telah melakukan hal serupa. Apakah dalam hal ini, Pidi Baiq juga bagian dari Derridian?
sudah baca dan saya senang juga penasaran
Wkwkwkwk oh Dijah Yellow
Yaampun Dijaaah Yellooow. :-D
kan jadi penasaran Dijah Yellow itu siapa,
saya 7 hari selesai bikin novelnya Bang Edi, hehe
Bolehlah kita menjadi pintar. Tapi kalau kepintaran kita dipakai untuk membodoh-bodohkan orang lain, lha apa guna kita menjadi pintar?
Saran sih, lebih baik Pak Edi lebih banyak menulis tentang bagaimana menulis novel yang lebih baik. Pastinya kepintaran Pak Edi akan lebih berguna dan bermanfaat untuk manusia banyak.
Salam hormat.
jujur saja itu novel pasti buruk, baca bab 1 beberapa baik saja sudah nek, kok dibilang bagus. memujinya mendakidaki lagi, dibedah dengan teori2 yang penulsinya juga belum tentu mikir kesitu bahkan mungkin engga tahu apa yang ditulis di blog ini.
Artikelnya di posting tanggal 16 Maret, tapi diakhir artikel tertulis 17 Maret o_O
Maaf untuk kali ini saya sangat tidak sependapat dengan artikel bapak ini. Alhamdulillah, saya gak jadi ikut Kampus Fiksi yang bapak adakan. Ya, silahkan saja kalau bapak menolak mentah-mentah cerpen yang mau saya kirimkan ke 'Majalah' Kampus Fiksi yang kabarnya akan terbit April nanti, hanya karena saya tidak sependapat.
Forza Milan!! Glory MU!!
Sarkasme-nya dapet banget. Ngakak to the Max. Yang protes dengan tulisan ini, silahkan cari tahu dulu sepak terjang dijah yellow. Tulisan ini sebenarnya cacian yang dibalut dengan majas-majas beraroma sarkasme.
Inget pelajaran tentang sarkasme kan? Contohnya: "Wah tulisanmu sangat rapi dan mempesona," tapi faktanya, tulisan yang dipuji, jeleknya minta ampun. Itulah yang dinamakan sarkasme. Mengulas kebalikan dari fakta yang buruk. Begitu pula dengan tulisan ini.
Ha ha ha... yang tidak sependapat macam pak Herumawan P A sepertinya tidak begitu mengenal Pak Edi dan gayanya. Ini pujian yang sebenarnya adalah kritikan paling pedas. Mirip dengan orang jawa kalau melihat anaknya nakal terus bilang, "Woo... pinter kowe Le, terusno, terusno, sakkarepmu!"
Itu bahasa jawanya DILULU. :-D
sarkasme yang sangat top, Pak! Anda mau dinobatkan menjadi "King of Sarcasm of the year"? #bukanpujian karena #what'syourpointofbeingsarcastic #itdoesn'tchangeanything
Iya.
Jaga kesehatan.
Suwun sdh membantu yg diperlukan.
Jgn lupa jaga kesehatan ya.
Sepertinya masih banyak yang tidak memahami sarkasme.
Long live sarcasm!!!! *jdiinngatfansijahdrJermanygaslinysarcasmtidemax* .Anyway bang Edi,si ijah mank demen dibully. Itu adlah bentuk perhatian bgi dia,bahkan cenderung nagih.Lastly gogonny ijah cuma lulusan SD jdi yach wajar bgtu penulisanny :))
menurut akun twitternya, mbak dijah yellow ini menulis dalam waktu 9-10 hari dan itu kisah nyata dari si penulis, ditambah juga sedikit imajinasi. sayangnya, saya nggak mampu untuk membeli novel buatannya.
Luar biasa! Membaca pembukaan cerita yang membikin napas tercekat ini, Dijah Kuning jelas berbakat. Barang dua atau tiga tahun lagi, itu bila ia konsisten menulis, saya agak yakin kalau para juri Nobel akan tersuruk-suruk ke rumahnya demi mengalunginya medali.
Saya seorang penyakitan, penyakit saya gemar membaca komentar-komentar yang pintar-pintar pada artikel kontroversial, lalu ngikik-ngikik sendirian....
Pak Edi...jaga kesehatan ya...:))
^_^
Haaa....
LOL serius amat cuy
Lah kenapa lu mas
Tulisan yang menghibur banget, sayang beberapa menanggapi terlalu serius haha... saya kepingin beli, tapi nggak kebeli kayaknya.. mahal banget haha..
Waktu mata pelajaran Bahasa Indonesia pada bolos, mungkin.
tulisan ini memiliki dua mata, dan saya hanya mendapat satu mata. begitu sarkatis, dengan balutan teori teori yang saya juga baru tau. tapi yang jelas, hanya yang mengerti betul esensi dari tulisan ini yang bisa memahami. apakah tulisan ini bentuk pujian bagi Dijah, atau malah kritikan :)))
Saya lebih menganggap tulisan ini sebagai Black Comedy yang sangat mulus. Malah lebih ngakak dengan komentar yang 'serius banget'.
Hahaha kekuningan Dijah takkan bisa di beningkan oleh siapa pun.
Saya setuju mbak, sbaiknya yg punya blog ini cari tau dl soal dijah iitu 'agak gila, stress, sarap" jadi lucu, udah nulis heboh gini ternyata sia2...
aduhh kok ngakak ya. keren sih bisa nyelesain novel 100 halaman lebih dalam waktu 9-10 hari. aku aja 1 lembar 1 hari lo.
ini sepertinya bukan macam pemanis dalam blog ya pak, ini sepertinya macam sebuah tulisan pedas kan pak? aku pertama bingung kenapa novel harganya bisa melunjak se gitu mahalnya, novel 'bulan terbelah di langit amerika' yang best seller itu cuma 80.000, dan ini 145.00. iya kalau best seller segitu mahalnya itu masih wajar sekali, tapi ini lo bukan best/national seller. umurnya saja lebih tua dari saya(15 th) seharusnya tau harga dong ahh, kalau orang cerdas pasti mengira "Dijah Cuman Sok gaul". haha :D ngakak baca kabarnya, semoga ada kesadaran nyasar untuk mu ya kak dijjah. aku tunggu novel selanjutnya dan yang penting aku tunggu novel dengan cover yang sederhana tapi membuat para readers mabuk. amin :) *bantu doa ahhhhh
sepertinya mbak yaswinda kurang piknik..
piknik gih! :)
Harga mahal dari sebuah buku yang memang disengaja? ataukah harga mahal dari penerbit untuk sebuah sarkasme? siapa tau :)
*minum parasetamol*
Satu hal yang mungkin bapak lupa adalah bahwa sarkasme tidak bekerja pada mereka yang menolak belajar.
Sebagai contoh kecil; hastag lulung yang sempat ramao di twitter dan beberapa komentar terlalu serius di atas.
Maju terus, Pak!
Salam keberpihakan.
Sarkasme yang luar biasa.
Jika tulisan ini benar, maka inilah yang dimaksud Alice Munro dengan "menipu diri sendiri". Hahaha
Itu ironi kali, mas.
Aduh, maaf ngakak :D
saya mengerti sarkasme tapi secara pribadi tetap tidak suka. lebih senang pada kritik yang to the point dan clear. jelas bertujuan membangun bukan untuk menyindir atau potensial menyakiti.
just saying :3
Saya lelah. Saya butuh piknik abis baca post ini..
Dijah kuning saking bangganya sampe dia screenshoot dan ditaro di instagram seakan" semua ini pujian dan tahun depan dia akan menerima nobel..
Ya tuhan ampuni manusia itu...
Amiiin
Cus piknik ....
Sarcasm level 999 x)
Warbiyasaaaahhh
saya lebih suka kritikan tipe sarkasme karena bisa membuat orang-orang lebih berpikir kritis tentang sebuah tulisan dan merenungkannya apakah sebuah tulisan 'pujian' itu merupakan pujian betulan atau kritikan pedas dalam selimut pujian... dan terbukti, ada yang mengira tulisan sarkasme ini benar-benar sebuah pujian...
hm, baca prolognya ajah dah gak menarik, tapi salut ajah deh dengan tulus dia dah mau buat tulisan dengan pedenya. gak mau mengkritik orangnya di twitter, lebih enjoy mengkritik tulisannya aja... ikon-ikon emoticonnya itu seperti novel korea terjemahan,,, itulah ekspresi :=(D
maaf, permisi numpang link.
http://www.detexsi.com/2015/02/sunnah-rasulullah-dalam-kehidupan.html
Anonim, sehat?
Sama-sama, Mas Edi. Senoga jaga kesehatan dan sukses selalu, Aamiin.
Maaf mungkin saya yang salah persepsi karena setelah membaca artikel ini, anda seperti menulis pujian untuk DY. Itu yang tak saya suka. Jujur saja, saya lebih kritikan langsung daripada kritikan yang dibungkus pujian. Terima kasih. Maaf kalau ada salah kata.
Saya cuma gak suka kritikan yang dibalut pujian, bro. Kalau mau kritik, ya kritik saja langsung. Tak perlu pakai pujian segala. Nanti malah jadi ada salah tafsir seperti saya.
Saya memang gak sependapat kalau kritikan harus dibalut pujian seperti ini. Malah buat saya tafsir dan sedikit bingung, ini sebetulnya pujian atau kritikan.
Salah satunya saya...
Saya memang gak sependapat dengan cara kritikan yang harus dibalut pujian. Rasanya agak unik. Saya lebih kritik langsung atau beri saran membangun sekalian.
Ya, sama seperti saya, bro..
Sip...
Semoga jangan...
Hehehehehehe
Salah satunya saya hehehehehe.
Herumawan: lha kalau lo ga suka, ngapain lo baca?
Beda dong cara kritik orang yang bener ngerti sastra sama anak yang baru belajar tulis dan baca.
Kalo sekedar kritik dan ngumpat, semua orang tentu bisa. Tapi kalau nulis sarkas dengan bahasa yg halus dan mempesona kayak diatas, gue ga yakin kalo lo bisa.
Herumawan: lo bingung karena otak lo ga nyampe buat mikir kesana.
Sekian.
melakukannya untuk tujuan SEO , tetapi untuk belajar hal-hal baru.
Foto cewe ngentot dengan kuda
masih menjadi sesuatu yg janggal dalam benak saya, bagaimana bisa buku macam itu dibandrol dengan harga yang cukup fantastik? asal tahu saja harga segitu setara sama buku modul kedokteran.
atau kah mungkin ini juga akal-akalan penerbit, mengingat latar sang author yang "notarious" di sosial maya. Banyak yang menaruh tahu padanya, harga segitupun diterjang, pikiran penerbit.