Mau apa pun yang kita tuliskan di daring, niscaya akan menuai
persepsi dan komentar yang seluas cakrawala itu sendiri. Bisa putih, putih,
biru, merah, abu-abu, dan sebagainya. Bisa empati atau anarki. Cinta atau
benci. Pahlawan atau setan. Cendekiawan atau asu.
Daring adalah pasar: tempat bertemunya jutaan orang yang ramai,
sesak, berjubel, dan tanpa kelas. Dari kiai sampai bajingan ada. Dari akademisi
selevel doktor sampai kutu busuk selevel kampret ada.
Mudah dimengerti lantas mengapa moralitas dan intelektualitas begitu
sumir campur-aduk dengan bajinganitas dan goblikitas. Dan kita takkan pernah
bisa memetakan yang mana yang cendekiawan dan yang mana yang bajingan.
Inilah alasan terbesar kenapa kita selalu dinasihati supaya tidak serius
dengan komen-komen daring. Kegagalan kita menyantaikan diri akan berbanding
lurus dengan kualitas kesehatan kita.
Tiadanya kesatuan ruang untuk bersitatap dan membaca gesture dan
intonasi pengucap (penulis) di daring merupakan akar pemicunya. Seorang murid
bisa ringan sekali jempolnya untuk memaki gurunya, yang niscaya takkan pernah
kuasa dilakukannya di ruang yang bersitatap; seorang istri bisa bermurah hati menyindir
penuh cerca suami yang memberinya makan dan titit; seorang aktivis masjid bisa
dengan nyantai memfitnah muslim lainnya usai muthala’ah kitab Al-Akhlaq
al-Islami Nuritshuhu min al-Rasul al-Karim.
Apalagi seorang bajingan? Apalagi seorang pekok?
Tak ada seorang pun di antara kita yang kuasa mencegah, atau
setidaknya menyaring, siapa yang kita ijinkan hadir ke dalam bacaan daring
kita. Kalaupun di facebook ada fitur accepting pertemanan, toh
kita tetap takkan bisa mencegah siapa pun membahas kita di akun-akun sebelah.
Begitulah kejamnya daring!
Pernahkah Anda ketemu seseorang yang entah dengan penuh yakin
berdakwah bahwa berfoto dan diuplod tanpa mengaburkan wajah adalah dosa, tidak
Islami, namun lantas ia menyatakan bahwa khusus untuk Instagram tidak apa-apa
sebab malaikat tidak masuk ke IG?
Ada! Ya si ndyas ambyar itu! Siapa gerangan yang bisa menyajikan
wacana absurd begini kalau bukan blekok yang merasa malaikat?
Pernahkah Anda menemukan sebuah akun yang berteori dengan penuh
keyakinan bahwa Akhiles adalah nama seorang filsuf Barat?
Ada! Ya si pekok naudzubillah unbojoable itu! Dan
siapalah yang tega memamerkan kebodohannya sendiri sedemikian tak terhingganya tanpa
merasa bodoh di keluasan daring jika bukan sosok bego-bebal-keledai yang
niscaya tak pernah kenal kitab Sejarah Filsafat Barat Betrand Russell?
Pernahkah Anda menemukan seorang komentator atas postingan Anda dengan
sedemikian panjang dan seriusnya tetapi ternyata salah total karena ia tak
pernah mengerti betapa pentingnya konteks dalam menyimpulkan apa pun?
Ada! Ya si bajindul semprul itu! Dan hanya orang sakit jiwalah yang
kuasa berlagak bak Bima padahal aslinya emprit.
Maka, santai sajalah berdaring, Kawan.
Jangan sampai kamu sakit jiwa gara-gara gagal menyantaikan diri di
hadapan komentar-komentar yang nggak jelas juntrungnya. Buat apa kamu ikutan
menjadi kampret akibat meladeni kampret, kan? Buat apa kamu ikutan bodoh akibat
malayani orang bodoh, kan?
Bila kamu membiarkan diri jatuh ke dalam situasi demikian, itu tanda
kamu pun sedang sakit jiwa.
Finally, tiada ucapan yang lebih bersahaja
buat siapa pun di daring yang sok intelektual sok bijak sok alim sok idih
padahal juntrungnya tak lebih dari bawal yang bebal dan sial; sok alim padahal
bajingan; sok bijak bestari padahal meri; sok Islami padahal pleci,
selain: “Jaga kesehatan ya, itu nomer satu….”
Jogja, 19 Maret 2015
Tag :
Yang Serba Nakal
4 Komentar untuk "JAGA KESEHATAN YA, ITU NOMER SATU…"
Lebih mangkel lagi kalau yang komentar itu udah maki-maki plus pake anonymous, diladeni bikin mangkel nggak diladeni ngumpat-ngumpat :-) Terakhirnya tinggal delete aja pak :-D
Anonymous itu ibarat tamu pake topeng. Niatnya udah tidak baik. Entah demi apa.
Sepertinya sedang kesal ya pak....
Pernah kayak gitu, sampe bingung hrus bales apa lgi., akhirnya saya acuhkan deh..
Capee..