Esai ini dimuat di Koran Merapi Jogja (5 April 2015)
Setiap orang yang pernah tinggal di Jogja niscaya selalu memendam rindu untuk kembali ke Jogja suatu hari nanti. Jogja memang selalu ngangeni. Beragam jejuluk tentang Jogja sebagai “kota budaya”, “kota seni”, “kota pelajar”, hingga “kota yang everyday is Sunday” ala Dagadu telah cukup memadai untuk menjelaskan alasan-alasan romantik yang terus berkelejar di dada setiap “alumni” Jogja.
Setiap orang yang pernah tinggal di Jogja niscaya selalu memendam rindu untuk kembali ke Jogja suatu hari nanti. Jogja memang selalu ngangeni. Beragam jejuluk tentang Jogja sebagai “kota budaya”, “kota seni”, “kota pelajar”, hingga “kota yang everyday is Sunday” ala Dagadu telah cukup memadai untuk menjelaskan alasan-alasan romantik yang terus berkelejar di dada setiap “alumni” Jogja.
Bila meminjam pemikiran Alfred North Whitehead (Science
and the Modern World, 1959) yang sangat populer dengan Filsafat Proses-nya,
yang “dekat” secara epistemologis dengan Dialektika Hegel, romantisme Jogja ini
dilandasi oleh tiga item yang taut-kelindan: (1) Entity, (2) Nexus,
dan (3) Society.
Whitehead mengatakan bahwa sebuah society
(masyarakat) merupakan “buah pertautan” dari banyak entity (individu)
yang bisa “mengumpul” berkat jalinan tali “nexus”. Jogja sebagai sebuah society
memiliki begitu banyak nexus yang kuat untuk terus mengikat setiap entity
ke dalam sebuah kesatuan-padu bergelar Jogja itu.
Lihatlah bagaimana sebagian orang memantapkan
diri untuk menjadi warga Jogja secara legal-formal, sebagian lainnya memutuskan
menjadi “warga kalong” Jogja, dan sebagian lainnya menjanjikan diri untuk sesekali
memasuki Jogja. Semua itu memperlihatkan betapa “nexus Jogja” telah
mengikat mereka untuk terus menjadi bagian dari society Jogja. Kesederhanaan,
kekeluargaan, peseduluran, keguyuban, kelucuan, dan kearifan lokal
merupakan sederet nexus yang menjadi spirit society Jogja.
Lihatlah betapa orang Jogja menyimpan tepa
selira yang sangat tinggi kepada siapa pun yang berbeda. Orang Jogja akan
berpikir seribu kali sebelum mengekspresikan ketidaksukaannya pada orang lain,
sekalipun ia berada di posisi yang benar. Orang Jogja lebih memilih mengikuti sifat
kultural blangkon; rata di depan, bendul di belakang (artinya, lebih
memilih memendam masalahnya dibanding bersikap reaktif). Maka bila sampai terjadi
konflik sosial antar entity di Jogja, pastilah masalah itu sudah
benar-benar “melampaui batas tepa selira” sehingga tak tertahankan lagi oleh
benteng-benteng nexus itu.
Tetapi, kini, romantisme nexus itu telah
retak parah. Diretakkan oleh lindasan kaki-kaki modernisme dan kapitalisme yang
begitu berat untuk ditopang oleh tubuh Jogja. Jogja tampak kian limbung untuk
berdiri tegak di atas dua kakinya sekaligus: kaki tradisionalitas sebagai nexus-nya
dan kaki modernitas yang dijejakkan zaman tanpa ampun.
Populasi yang terus membengkak menjadi biang
kerok utamanya. Arus datang dan pergi sama sekali tak seimbang. Setiap tahun
ajaran baru, Jogja dimasuki ratusan ribu orang, dan di waktu yang sama hanya
beberapa ribu yang keluar dari Jogja. Lama-kelamaan, tumpukan populasi ini mempersembahkan
masalah sosial yang diderai lebih hunjam oleh masalah ekonomis; hotel-hotel
berdiri tegak di sekujur tubuh kota, market-market modern terbentuk di ketiak-ketiak
kota, dan derum knalpot motor dan mobil yang merumitkan kahanan.
Sejatinya, tak perlu ada kerisauan berlebihan
terhadap pertumbuhan populasi dan lanskap ekonomi sebuah kota, termasuk Jogja. Pertumbuhan
itu pada dasarnya merupakan kabar baik atas kemajuan sebuah peradaban. Tetapi,
penting untuk segera dicatat di sini bahwa kemajuan yang beradab tidak akan melumat
peradaban epik yang menjadi jiwanya selama ini. Karakter utama nexus pengikat
society Jogja yang khas dan unik, yang membuat ia selalu ngangeni,
tak sepatutnya diagunkan atas nama kemajuan ekonomis sekalipun.
Maka bila Panjenengan masuk ke Jogja
hari ini, terlebih weekend, saya jamin Panjenengan akan merasa
seolah sedang berada di Jakarta. Panen raya kemacetan begitu limpah dan ruah. Silakan
Panjenengan bernostalgia di daerah Seturan, Jalan Kaliurang, Jalan
Kusumanegara, Jalan Godean, atau Jalan Solo mulai flayover Janti sampai
Tugu, pasti Panjenengan akan stres. Jalanan yang pas-pasan, yang rasanya
tak mungkin dikembangkan lagi, begitu lunglai didera sesaknya segala jenis
kendaraan yang saling sikut tanpa tepa selira. Di titik-titik tertentu,
laju Panjenengan akan sangat tersendat akibat deretan antri kendaraan
yang ingin memasuki mall, hotel, plus parkir yang tega memperkosa bahu
jalan tanpa pekewuh lagi.
Jogja menjadi tak lucu lagi. Jogja yang ngangeni
kian kehilangan sejuta alasan romantiknya untuk diziarahi lagi. Jogja kian matang
dikarbiti Logosentrisme khas Modernisme: “Ukuran kemajuan sebuah kota adalah
tegaknya hotel, mall, dan pasar modern”. Di luar itu, sederet nexus
perlahan tersisih, terasingkan, meratap ke tepian.
Cukup alasan bagi kita untuk mengelus dada melihat
seorang security ruko bermurah hati mengusir simbah yang berhenti
sebentar di depan rukonya untuk mengangkat telepon dengan tangan menunjuk
sebuah plang: “Khusus untuk Tamu”. Cukup alasan bagi kita untuk
menggelengkan kepala mendengar makian-makian klakson di sebuah bangjo pada
seorang renta yang tak kunjung melajukan motor tuanya akibat penglihatan yang
kurang sempurna.
Ke mana semua nexus yang selama ratusan
tahun menjadi pengikat setiap entity sebuah society bernama wong
Jogja itu, yang begitu lucu, santai, asyik, eksotik, dan karenanya ngangeni?
Jawabannya satu; “Nexus-nexus itu telah didol,
dijual”. Hasil jualan nexus itu ada yang berupa hotel, mall, dan
market-market modern yang angkuh, dingin, dan egois.
Maka, kini, kita semua berhutang moral kepada
Jogja, khususnya para pengampu kebijakan, untuk lebih hati-hati dalam mengawal
kemajuan Jogja di satu sisi dan pesona nexus Jogja di sisi lainnya. Dua
kutub ini harus selalu diletakkan dalam filosofi mata uang; satu sisi dengan
sisi lainnya berbeda, tetapi tidak pernah bisa dipisahkan.
Kita semua memiliki hutang besar kepada
generasi masa depan Jogja untuk memastikan mereka masih bisa menyaksikan nexus
khas society Jogja kelak. Kita semua bertanggungjawab untuk mencegah
jangan sampai nexus Jogja hanya tinggal kenangan di dalam hati para simbah,
bukan perilaku para generasi muda. Kita semua memikul tugas untuk memulangkan
Jogja ke rumah kulturalnya: kota yang lucu, nyeni, terdidik, asyik, dan ngangeni.
Dan perjuangan “pulang ke kotamu” ini hanya akan terwujud dengan
gerakan: “Jogja ora didol, Dab….”
Tag :
Artikel,
Yang Serba Nakal
2 Komentar untuk "JOGJA ORA DIDOL, DAB…. (Kembalikan Jogjaku yang Lucu dan Ngangeni)"
jadi kangen Jogja loh Om :p
Jogja mulai sumpek pak, lahan hijau dadi hotel :-(