Banyak “orang
sukses” di muka bumi ini, tetapi tak banyak dari mereka yang gentle menyatakan
diri sebagai “anak sukses”.
Saya tidak
sedang bervickyprasetyo ini. Saya sedang menuliskan kalimat dalam makna yang sesungguhnya.
Bukan pula sedang bergaya aporisma khas kaum wanita icik-icik yang mengatakan,
“Aku nggak apa-apa kok”, namun sesungguhnya sangat apa-apa kok.
Kita tahu,
tanpa perlu bayar mahal untuk ikut training Kangmas Mario, orang sukses
pasti memiliki “kelebihan” dibanding kita-kita yang sudra. Baik itu kelebihan
nama besar keluarga, harta, koneksi, kegigihan, hingga ilmu dan ibadahnya. Ada
yang sukses karena satu poin dari sederet poin itu, ada pula yang merengkuh
banyak poin sekaligus.
Apa pun jalan
sukses seseorang itu, bukan lema saya di sini.
Yang menjadi
pokok pikiran saya selama ini ialah kenapa sulit sekali menemukan orang sukses
yang jantan mengakui bahwa suksesnya berkat doa dan didikan orang tuanya ya?
Kenapa coba?
Aurel, misal,
siapalah yang akan kenal dia kalau bukan karena faktor Anang. Siapa pulalah
yang bakal peduli tampangnya bertransformasi dari pra menuju after
kayak sekarang itu bila bukan sebab nama Anang yang saya sih….
Aurel jelas
meraih sukses (setidaknya tenar) karena faktor ayah, beda banget sama suksesnya
Agus Mulyadi menjadi tenar, pengarang Jomblo tapi Hafal Pancasila, yang
bukan faktor ayahnya yang hansip. Bila dibalik, Aurel berayah ayahnya Agus dan
Agus berayah Anang (yang kala hari diasukannya gara-gara menayangkan live
detik-detik kelahiran Ashanty), paling banter Aurel ya hanya bakal ngendon gitu
aja di pasar Telo atau Wonocatur.
Iya, to?
Ini contoh
sukses berkat nama tenar ortu.
Ya ndak
salah, wong bejo yang given kok, ndilalah
diberojotkan dari rahim tenar. Sama dengan ndak salahnya Agus yang tak pernah
bisa minta dilahirkan dari rahim Kim Kardashian.
Poin di sini
ialah berapa banyak orang sukses karena faktor ortu yang mengakui dirinya
sebagai anak sukses (ya, anak ortunya yang sudah duluan sukses), bukan orang sukses?
Nihil!
Okelah, lentur dikit, langka!
Apalagi bila
kesuksesan seseorang itu tidak berkaitan dengan hal-hal fisik material begitu.
Orang-orang
sukses sukanya berkata ia sukses karena gigih, berdarah-darah, berhemat, tekun
belajar, meng-up date pengetahuan, dan sederet egoistik bau congkak
lainnya.
Saya kok
ngerasa ngenes setiap kali mendengar, membaca, atau menyaksikan orang sukses
berludah-ludah menceritakan proses suksesnya dengan cara demikian ya. Lha,
orang tuanya dikemaian? Emangnya dia lahir dari gedebok pisang gitu? Emangnya
doa-doa orang tua selama ia ngendon di dalam rahimnya, lalu lelah untuk
dibesarkan, hingga disekolahkan, dididik, semua itu dianggap sepi makna gitu?
Syaikh Ibnu
Atha’illah, pengarang Al-Hikam, pernah menuliskan begini di dalam kitab
abadi itu: “Sesombong-sombongnya kesombongan ialah merasa diri telah berbuat
baik.”
Pesan moral maqalah
ini kan ya relevan untuk ditarik pada: “Sesombong-sombongnya kesombongan ialah
penafian seorang anak yang sukses atas peran orang tuanya.”
Ya sama!
Maka bila ada
seorang sukses ndak pernah menyadari dan mengakui kesuksesannya berpangkal pada
ketekunan doa dan didikan orang tuanya, sungguh itu thiwul banget!
Bila kita
bersepakat secara serampangan bahwa orang sukses pastilah orang yang memiliki kemampuan
berpikir baik di atas rata-rata, pastilah kita akan gemes bener melihat mereka
kok alpa untuk mampu berpikir tentang peran orang tuanya ya.
Kalau mikir
tentang faktor fundamental dan teknikal naik turunnya Nikkei dan Hang Seng kok
sanggup, lha ini mikir sederhana tentang besarnya peran orang tua kok
gagap? Sungguh ndak sanggup dipahami, dinalar oleh akal sehat umum.
Sampeyan
bayangkan deh.
Itu simboke
yang mengandung selama sembilan bulan dengan susah payah (dalam bahasa
al-Qur’an disebut wahnan ‘ala wahin), sendeso-ndesonya dia,
sekatrok-katroknya dia, niscaya selalu mendoakan anak yang dikandungnya kelak
jadi anak shalih/shalihah. Bahkan seorang ibu yang paling sundal sekalipun,
ndak bakal pernah mendoakan anaknya menjadi lebih bajingan dari dirinya. Pasti
minta sama Gusti supaya anaknya kelak lebih baik dari dirinya; biarkan dirinya
saja yang menjadi buruk.
Nyos
sekali ucapan Mbah D. Zawawi Imron pada suatu perjumpaan dengan saya di bulan
Pebruari 2015 lalu, bahwa seorang “anak ibu” pastilah selalu baik hati, rendah
hati, dan manusiawi.
Begitu pun
ayah yang rela jadi apa pun demi menghidupi istri dan anaknya (ya kamu itu).
Para ayah yang berprofesi begal sekalipun tu ya selalu mengaku bahwa mereka
membegal yang diketahuinya sangat buruk demi menghidupi keluarganya (ya kamu
itu).
Lalu, ketika
kamu sudah jadi orang sukses, simboke dan bapake itu kok ndak
pernah disebut dan diingat dan diakui sebagai pintu gerbang kesuksesanmu?
Tanpa mereka
yang kadang kala malu kamu akuin sebagai orang tuamu, kamu ndak bakal pernah
ada di muka bumi ini, kan?
Orang tua
sama sekali memang tak menuntut untuk diaku-akuin sebagai penyebab kamu sukses.
Ndak. Mereka ndak muluk-muluk padamu. Paling banter, mereka hanya menginginkan
(bukan menuntut) kamu mengingat mereka, menelepon mereka, menyambangi mereka,
dan mendoakan mereka. Soal kamu nambahin dengan ngasih duit jajan, itu afdhal!
Tapi ya mereka ndak pernah to ngemis belas kasihanmu.
Di dunia ini,
di level relationship atau profesionalitas apa pun, mana ada sih orang
yang mengabdi dengan tulus tanpa tendensi imbalan? Ndak ada, selain orang tua.
Maka peran
orang tua yang mana lagi yang masih kau sanggup dustakan?
Jogja,
14 Maret 2015
3 Komentar untuk "NGGAK ADA ORANG SUKSES, ADANYA ANAK SUKSES"
semoga kita bisa menjadi anak yang selalu berbakti pada orang tua, ya, om
Amiinn
Kalau sedikit mengangkat bahu, itu aku..kalau lagi nunduk meski ada cewek yang cantiknya syar'ie banget, itu anak ibu..hehehe..