Selesaikan
kuliahmu. Demi ibu-bapakmu, bukan demi dirimu. Dengan demikian dirimu akan
mulia.
Cak
Nun
Bagi kalian
yang sedang kuliah, bisa kuliah lebih sering terasa sebagai sesuatu yang biasa
saja. Sebab memang bejibun anak sebayamu yang bisa kuliah. Kecuali, kala kamu
berjumpa dengan anak muda sebayamu yang tak bisa kuliah karena masalah biaya,
sejenak kamu akan merasa beruntung, lalu beralhamdulillah.
Tapi ya
sejenak. Sekejap. Namanya kilasan, ya ndak bakalan menancap di kedalaman batin,
sehingga mudah sekali terlupakan.
Orang tua
kita memang kuno, bodoh, dan ndeso sehingga tak tahu apa-apa tentang
perkuliahan, kecuali bahwa kuliah mereka yakini akan melempengkan jalan masa
depanmu. Sesederhana itu saja. Sebodolah mereka dengan Foucault atau Maslow;
Fazlur Rahman atau Jasser Auda; Marx atau Tan Malaka. Makluminlah, wong
mereka kan cuma makhluk ndeso, jadul, bodoh, tak terdidik, beda sama
kalian yang muda, bregas, gaul, rajin nongkrong, traveling, aktif onlen,
dan sesekali membaca buku beneran.
Satu-satunya hal
yang sementara ini mungkin pernah membuatmu bangga pada mereka yang ndeso
itu ialah mereka rela melakukan apa pun demi kelancaran kuliahmu. Bahkan,
hal-hal yang kamu pinta dengan penuh dusta. Mulai berutang tetangga, gadain
kalung, jual kebun, hingga berdoa di malam buta dengan linangan air mata.
Sekalipun ndeso,
mereka sangat tulus. Tiada hubungan yang lebih tulus dibanding tulusnya
ketulusan orang tua pada anaknya. Tak ada sejumput pun di hati orang tua untuk
kelak meminta balas jasa darimu, mengembalikan besarnya biaya yang telah
dikeluarkan untukmu, atau sekadar memohonmu mengakui mereka sebagai orang yang pernah
berjasa atas capaian masa depanmu.
Ndak. Orang
tua ndak pernah punya pretensi begituan. Kelak, kau akan tahu kebenaran kisahku
ini setelah menjadi orang tua atas anak-anakmu sendiri.
Bahwa kamu
lalu berterima kasih pada mereka dengan cara menghormati dan memuliakan mereka,
mencukupi kebutuhan hidup mereka di masa rentanya, semua itu hanya kelogisan
alamiah belaka. Sunnatullah saja. Bukan tuntutan orang tua. Sehingga
bila ada anak yang suatu kelak sukses, lalu lalai pada kehidupan orang tuanya,
sungguh ia telah melanggar hukum alam, memurtadi sunnatullah. Wajar, mau
sekaya apa pun, setenar apa pun, dan sepintar apa pun, tetapi ingkar sunnatullah
untuk menghormati dan menolong orang tua, hidupmu takkan pernah bahagia.
Kekayaan, ketenaran, dan kepintaranmu takkan sanggup menolong dirimu sendiri
untuk bahagia.
Di luar sana,
bejibun orang beginian; orang-orang kaya, pintar, dan tenar yang hanya menunggu
untuk mati dengan amat meyedihkan lantaran gagal bahagia.
Maka
selayaknya kamu mengerti kini bahwa merupakan bagian dari sunnatullah
pula untuk menyelesaikan kuliahmu dengan sebaik-baiknya. Bukan demi dirimu, tetapi
demi orang tuamu, sebab yang aslinya membuhulkan sunnatullah itu adalah
orang tuamu, bukan kamu. Tersebab orang tuamu mencitakan masa depanmu
cemerlang, lalu mereka banting-tulang menguliahkanmu, maka lahirlah kewajiban sunnatullah
bagimu untuk menyelesaikan embanan itu. Bila kamu tak menyelesaikannya, dengan
dalih apa pun, kamu telah memurtadi sunnatullah itu. Wajar bila seumur
hidup kamu akan sangat menyesal, kecewa pada dirimu sendiri, dan merengek pada
waktu untuk mengembalikanmu ke masa perkuliahan lagi.
Mari
selesaikanlah kuliahmu, Dek Safitri. Bahkan sekalipun kamu muak dengan jurusan
yang sudah kadung ditempuh, dosen yang menurutmu arogan, maupun birokrasi kampus
yang menurutmu menyebalkan. Apa pun alasan muakmu, selesaikanlah kuliahmu, Dek
Safitri, bukan demi dirimu, tetapi demi orang tuamu.
Kamu akan
melihat buah manis sunnatullah ini pada hari saat kamu diwisuda: orang
tuamu bersemangat datang dengan lelah dan payah dari desa jauh, berdandan
dengan pakaian terbaik, lalu berfoto dengan background kampus bersamamu
yang tengah mengenakan toga.
Pada setiap
sore, sembari menunggu kunjungan malaikat Izrail, orang tuamu tak pernah bosan
untuk menatap foto wisudamu yang tergantung di dinding rumah sederhana itu. Matanya
akan selalu begitu berbinar hingga mengatup rapat selamanya.
Tak usah pedulilah
apakah jurusan kuliahmu benar-benar memberikanmu jalan masa depan yang sesuai
dengan disiplinmu, niscaya kamu akan bahagia dengan hidupmu yang berbentuk apa
pun karena kamu telah pernah membahagiakan orang tuamu dalam hidupnya.
Maka
selesaikan kuliahmu, Dek Safitri, demi orang tuamu, bukan dirimu, sebab itu
menjadi akan epitaf bahwa kamu pernah membahagiakan mereka dengan membuat
mereka merasa sangat berarti sebagai orang tua.
Alam dan
semesta selalu mendukung orang-orang yang memuliakan orang tuanya. Tuhan pun begitu.
Apalah yang lebih berharga dalam hidup yang hanya sejenak ini selain membuat orang
tua kita merasa berharga sebagai orang tua?
Jogja,
21 April 2015
Tag :
Utak Atik Manusia
4 Komentar untuk "SELESAIKAN KULIAHMU DEMI ORANG TUAMU, DEK…"
Saya juga blm kelar kuliah ni om. Doain kelar segera, deh :)
Waktu kuliah emang kepikiran cepat lulus pak, apa daya kadang skripsi menjadi sebuah ujian yg paling sulit ditaklukkan haaa
masyaaAlloh seperti tamparan yang menyadarkan.
sangat menggugah hati, ngena banget