Assalamu'alaikum. Fahri....
Tahun lalu,
saya menerbitkan buku Putusin Nggak, Ya?, yang memang saya niatkan untuk
“melengkapi” (sebagiannya menyetujui, sebagian lainnya menambahkan atau juga
mengkritisi) buku ustad Felix Siauw, Udah Putusin Aja!. Biasalah, pro
dan kontra pun menyeruak. Wajar saja.
Di antara
kewajaran itu ya jelas ada ketidakwajaran pula. Misal, tahu-tahu berkat
kemurahan hati situs ar-rahmah yang kabarnya alhamdulillah diblokir,
buku saya disebutkan sebagai karangan JIL, dibagikan gratis, untuk merusak
akidah anak muda.
Olohh…oloohhh…jelas
fitnah itu. Lha wong buku saya dijual dan saya tulis dengan teliti dan
hati-hati benar. Lha wong saya muslim yang masih demen shalat kok.
Dan, biasa pulalah, di daring banyak orang
yang terbuai permukaan. Ikutan ngeshare fitnah tanpa baca dulu. Ya,
begitu jadinya. Niat mulia menegakkan ajaran Islam, tapi karena gegabah,
jadinya malah aktif nian nyebar-nyebarin fitnah.
Berhentilah
ya, Dek, membuat dirimu berlumur dosa dengan cara ngeshare tanpa baca
dulu begitu ya.
Tapi itu
semua bukan poin yang ingin saya tuliskan di sini. Kali ini, saya ingin
menuturkan tentang relasi saya, Felix, dan pacaran.
Secara
personal, saya tak kenal Felix. Tak ada urusan bisnis apa pun. Jadi mana
mungkin saya bisa tidak menyukai atau mencintainya?
Saya melihat
Felix ya seorang muslim, ustadz, yang bejibun jamaah sosmednya. Sebagai sesama
muslim, saya terima saja keberadaannya, dakwahnya, gaya bersosmednya, dan
kemampuannya menjaring jamaah bejibun itu.
Secara materi
dan gaya pemikirannya, saya tak ada urusan. Kecuali tentang pemikirannya soal
nasionalisme itu tak penting, sebab beliaunya memperjuangkan khilafah
islamiyah di Indonesia. Itu yang pokok darinya yang saya sepenuhnya tak
setuju. Lain-lainnya kayak selfie, ah sudahlah, itu tak penting saya
bahas di sini. Itu hanya pendapat kecil saja.
Demikian saya
memposisikan diri di hadapan beliaunya. Lalu tentang pacaran.
Di buku saya,
juga saya dedahkan bahwa fenomena pacaran dewasa ini memang mengerikan. Amat
sangat bahkan! Anak-anak masih sekolah atau kuliah, berpacaran, dan gaya pacarannya
mayoritas serem. Di keramaian saja, kayak di jalanan atau restoran atau kafe,
mereka ting slentot, ting meketek, tanpa sungkan, bayangkan lagi di
kesepian. Jelas mudah dibayangkan hierarki kejadiannya .
Ini memang memilukan.
Sampai di sini, wajar nian berbagai kalangan, termasuk Felix menyeru pacaran
itu haram. Udah, putusin saja! Dan itu tercermin dengan sangat lugas dalam buku
beliaunya.
Saya jadi
mikir dan merenung, apakah pacaran harus diharamkan mutlak begitu?
Jawabannya
ialah iya. Iya, bila melihat fenomena gaya pacaran anak-anak muda yang kayak
tadi itu. Celakanya, yang demikian itulah mainstream-nya. Gaya
mayoritasnya. Ya iyalah, namanya juga cinta, beapa sulitnya melerai kedekatan
dan keintiman to.
Tapi di sisi
lain, saya mikir dan merenung pula, bukankah persiapan psikologis untuk saling
mengenal antarcalon suami-istri itu penting? Dan bukankah itu hanya akan bisa
dicapai dengan cara penjajakan?
Iya ya,
penting banget ini. Biar kita nggak kayak pepatah membeli kucing dalam karung. Ini
urusan rumah-tangga seumur hidup lho, bukan uji coba.
Lalu
muncullah istilah yang terkesan menjembatani dua sisi kebutuhan ini, yakni ta’aruf.
Ya, istilah islami.
Masalahnya
ialah apakah isi ta’aruf dijamin tidak nyerempet sama dengan isi
pacaran? Bukankah ta’aruf kita berdenyut di dalam kebudayaan kita yang memang
cenderung longgar? Nggak kayak di Arab Saudi, misal, yang ketat.
Bila isinya
adalah serupa dengan pacaran, sekalipun disahkan dengan istilah ta’aruf,
bahkan juga ucapan, “Aku mencintaimu karena Allah.”, maka ini sia-sia belaka. Ini
ibarat serigala berbulu domba.
Saya lalu
berpikir bahwa haruslah ada sesuatu yang lebih substantif di balik
istilah-istilah itu, yang jadi pegangan kita.
Saya lalu
menemukan poin-poin begini:
Pertama,
menikah itu sunnah Rasul, haruslah kita jalankan. Tujuan menikah ialah membangun
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Untuk mencapainya, jelas
dibutuhkan pilar-pilar yang jelas. Masalah ekonomis iya, dan yang tak boleh
diabaikan lagi ialah kesiapan psikologis.
Makanya saya
mengatakan kalau anak baru baligh, alias abegeh, mbok ya jangan keburu
nikah, sebab kamu belum cukup matang secara psikologis untuk menghadapi ceruk-ceruk
rumah-tangga. Atas dasar apa pun! Mbokya sekolah dulu, kuliah dulu, asah
psikologis dulu, cari pengalaman hidup dulu, baru deh mikir nikah.
Ini lpoin
yang kurang dijelaskan secara seimbang di buku Ustadz Felix itu. Ya sebab
beliaunya memang hanya concern pada “menghindari hubungan bebas dalam
pacaran”. Saya maklum tujuannya menulis buku itu. Dan saya lalu berusaha
melengkapi wacananya itu.
Kedua,
karena itu, ndak usah pacaran-pacaran atau ta’aruf-ta’arufan dulu deh
jika kamu masih sekolah atau kuliah, sebab sejatinya dalam posisi demikian ya kamu
belum siap menikah. Banyak hal berharga dalam hidup ini sebagai persiapan penting
memuliakan masa depanmu di luar urusan pacaran.
Jadi di sini
kesimpulan saya ialah anak-anak muda yang masih sekolah atau kuliah dan nadah
duit orang tuanya tidak usahlah pacaran dulu. Tidak usah ta’arufan dulu.
Hindari saja dulu. Pendam saja dulu perasaanmu. Lakukan hal-hal lain yang lebih
relevan dengan proses pematangan personality-mu.
Ya emang
nggak mudah. Tapi ya mau gimana lagi? Jika kamu kalah ma perasaan, ya kamu
bakal kejeblos pacaran. Dalam jeda yang entah berapa tahun lagi kamu siap
nikah, apa iya kamu sanggup mengendalikan hawa napsu sama pacarmu?
Ini masalah
seriusnya. Mampu ndak? Angel, Dab…. Hanya penyair Achmad Muhlis Amrin
dan politikus Ersa Yusfiandi yang mampu kali.
Ketiga,
mencetak ajang saling mengenal sebagai bagian dari persiapan psikologis menikah
itu ya memang ndak ada cara lain selain “berdekatan”. Boleh saja kau sebut ini ta’aruf.
Yang lain nyebutnya tunangan. Lainnya lagi nyebutnya pacaran. Atau tunangan
alias khitbah.
Apa pun deh
istilah yang kamu sukai, proses ini memang diperlukan. Tapi catat, hanya layak dilakukan
oleh kalian yang sudah siap nikah!
Plus ndak
usah lama-lama dan harus pula di bawah kontrol kerabat atau orang tua.
Ini penting sekali
agar prosesi saling kenal yang memang diperlukan itu ndak malah menjadi pisau
bermata dua: satu sisi diperlukan, tapi sisi lain menjerembabkan pada hubungan
bebas.
Mau udah dikhitbah
sekalipun, tapi terlalu lama menuju nikahnya, ya ujungnya bakal rentan digoyang
godaan kebersamaan itu to. Jadi jangan berlindung di balik istilah khitbah,
sebab ia sama sekali bukan esensinya. Esensinya hanya ada pada niat mau nikah,
siap menikah, dan menjajaki tanpa lama-lama.
Bila sudah
mantep, nikah aja. Bila ngerasa tidak, ya udah cari lainnya saja.
Keempat,
mbokya ingat selalu betapa eman-emannya badanmu, kehormatanmu, bila
ngelakuin pacaran, ta’aruf, atau bahkan khitbah dalam posisimu
yang belum siap menikah beneran.
Lha
mana bisa anak yang masih nadah ortu, masih sekolah atau kuliah, kok hero banget
bilang siap nikah. Nikah apaan?! Itu kan hanya cenderungnya jadi alibimu untuk
mengesahkan perilaku asmara dan syahwatmu to.
Buktinya, lihat
aja, kalaupun nikah beneran, ya butuh berapa tahun lamanya gitu. Kalau nggak
jadi nikah, parah lagi. Gerangan apa coba yang telah kalian lakukan dalam
bertahun-tahun jalin asmara itu?
Semua noda
itu takkan bisa pernah terhapuskan dari tubuhmu, jiwamu, ingatanmu, dan kitab
amalmu.
Begitu ya.
Jadi, saya sepaham benar dengan pandangan banyak orang, termasuk Utsad Felix
itu, hindari dulu aja deh pacaran. Namun saya harus menambahkan satu kalimat
lanjutan atas pandangan ini: kecuali kamu sudah niat benar untuk menikah dan siap
beneran untuk menikah. Bila dua poin itu di hatimu sendiri belum jelas, wes
ndak usah aja.
Jadi, pacaran
(atau kamu boleh memilih istilah ta’aruf atau pun khitbah) hanya
layak dilakukan oleh kalian yang sudah berniat benar segera menikah dan siap benar membina rumah tangga. Lillahi ta’ala.
Hanya kamu dan Allah yang tahu kebenaran niatmu.
Jogja,
9 April 2015
Tag :
Kajian Agama
14 Komentar untuk "ANTARA SAYA, FELIX SIAUW, DAN PACARAN"
Riteeee! Pacaran cuma boleh dilakukan oleh orang dewasa yang sudah matang. Anak SD, nonton Boboiboy aja lah.
Aha..... selalu baca tulisan njenengan pak :-)
Ibarat ngitung bulu rambut di kepala. Pacaran itu uda kayak dasar pondasi di pikiran-pikiran kita. Lah wong memang godaan terbesar manusia itu hawa nafsu. Nabi adam contohnya. Kakek kita. Saya sendiri juga gitu #jujur. Tapi mungkin krn kondisi ayah dan ibu saya, dan apakah itu memang karena allah yang memberikan. Saya jadi lebih menghargai yang namanya kehormatan wanita. Untun saja dulu negeri ini didatangi 9 sunan tuhan. Kalau enggak, apalah beda anak muda generasi kita dengan ayam petelor.
well done :)
masih sekolah, masih nodong orang tua buat jajan memang belum pantes pacaran..
Anak sd zaman sekarang udah pacar-pacaran, lah aku masih main karet dan sepedaan :(
ustad felix menulis buku dengan pedoman al-qur'an dan hadist....sedangkan anda menulis buku tentang agama dengan pedoman apa?
dalam berpacaran...ingat berdua an saja sudah dosa....wanita bersolek/berdandan agar terlihat cantik didepan pacar yg bukan mahramnya juga dosa
berpegangan tangan juga dosa.....bilang sayang, rindu, kangen terhada yg bukan mahramnya juga dosa
semua itu tertulis di hadist
jadi anda menulis buku dengan pedoman apa?
nah ini yg di atas apakah termasuk contoh pemikiran setelah membaca buku anda?
jadi wajar saja situs ar-rahmah men judge buku anda merusak akidah anak muda.
nah pemikirannya saja jadi gini.....artinya anak kecil yg belum mapan tidak boleh melakukan dosa sedangkan yang sudah dewasa atau mapan boleh melakukan dosa
coba aja anda baca dulu bukunya sebelum terhasut situs lain
terima kasih infonya.......
infonya sangat bermamfaat.....
salam kenal dan salam sukses..
mantap...
sep dah
Anggap lah saya g tau agama islam....tapi terkadang untuk jaman sekarang dibutuhkan ketegasan...bukan hal yang abu abu....dari pada pusing memilah kalimat"boleh pacaran jika...." atau "BISA PACARAN ASAL....." itu terlalu jlimet buat kami yang masih mudah di hasut setan....makanya ust. Felix lebih " mengextremkan" ajaran islam karena emang umat jaman sekarang lebih keras kepala dan susah menerima ilmu dibanding umatt zaman dulu yang lebih ikhlas menjalankan agama islam.....nggeh nopo mboten mas....taruh lah kita sebuah kelonggaran "boleh pacaran jika siap nikah dalam islam" sekarang yang jadi konsen anak muda sekarang bukan siap nikahnya tapi boleh pacarannya.....apalagi nanti ada embel embel islam di belakangnya...koncern anak muda abege akan menjadi "boleh pacaran dalam islam" , itulah tipu daya setan mas....jadi maksud ustad felix...lebih kearah membentengi umat.....walaupun mas bener...tapi g semua orang bisa ngambil positif ke arah itu.....ustas felix juga g membodohi...tapi memimpin.....lebih baik saya di congom hidung saya tapi si bawa ke padang rumput yang hijau dengan segala janji kenikmatan surga Dari allah...dari pada si lepas memilih sendiri mana baik dan buruk dengan keterbatasan ilmu.....ndak semua umat secerdas dan sebrilian mas. Hal ini mengingatkan saya tentang sheihk siti jennar....apa ada yang salah dengan ajaran beliau...menurut saya tidak...tapi waktu dan pada siapa ilmu itu diajarkan saja yang salah...umat tidak siap...karena kebatinan atau sufistik tidak semua orang mampu pada saat itu.....maka lebih bijak saja memahami maksud orang....maksud ustd felix itu hanya ingin umat menjauhi hal yang jauh mudharatnya....toh seandainya....anak muda....masih 18 tahun berani siap nikah tanpa pacaran tapi setelah menikah harus bercerai.....setidaknya dia tidak melakukan zina atau yang mendekatinya.....adapun perceraian adalah jalan satu2 nya....juga tidak menimbulkan dosa.....pacaran juga bukan jawaban orang langgeng menikah kan....tapi sudah pasti mudharatnya.....monggo panjenengan kaji dulu.......
Anggap lah saya g tau agama islam....tapi terkadang untuk jaman sekarang dibutuhkan ketegasan...bukan hal yang abu abu....dari pada pusing memilah kalimat"boleh pacaran jika...." atau "BISA PACARAN ASAL....." itu terlalu jlimet buat kami yang masih mudah di hasut setan....makanya ust. Felix lebih " mengextremkan" ajaran islam karena emang umat jaman sekarang lebih keras kepala dan susah menerima ilmu dibanding umatt zaman dulu yang lebih ikhlas menjalankan agama islam.....nggeh nopo mboten mas....taruh lah kita sebuah kelonggaran "boleh pacaran jika siap nikah dalam islam" sekarang yang jadi konsen anak muda sekarang bukan siap nikahnya tapi boleh pacarannya.....apalagi nanti ada embel embel islam di belakangnya...koncern anak muda abege akan menjadi "boleh pacaran dalam islam" , itulah tipu daya setan mas....jadi maksud ustad felix...lebih kearah membentengi umat.....walaupun mas bener...tapi g semua orang bisa ngambil positif ke arah itu.....ustas felix juga g membodohi...tapi memimpin.....lebih baik saya di congom hidung saya tapi si bawa ke padang rumput yang hijau dengan segala janji kenikmatan surga Dari allah...dari pada si lepas memilih sendiri mana baik dan buruk dengan keterbatasan ilmu.....ndak semua umat secerdas dan sebrilian mas. Hal ini mengingatkan saya tentang sheihk siti jennar....apa ada yang salah dengan ajaran beliau...menurut saya tidak...tapi waktu dan pada siapa ilmu itu diajarkan saja yang salah...umat tidak siap...karena kebatinan atau sufistik tidak semua orang mampu pada saat itu.....maka lebih bijak saja memahami maksud orang....maksud ustd felix itu hanya ingin umat menjauhi hal yang jauh mudharatnya....toh seandainya....anak muda....masih 18 tahun berani siap nikah tanpa pacaran tapi setelah menikah harus bercerai.....setidaknya dia tidak melakukan zina atau yang mendekatinya.....adapun perceraian adalah jalan satu2 nya....juga tidak menimbulkan dosa.....pacaran juga bukan jawaban orang langgeng menikah kan....tapi sudah pasti mudharatnya.....monggo panjenengan kaji dulu.......
kalau semuanya dosa ya ga usah idup aja..