Bila saya
sedang tak ke masjid saat shalat Maghrib, saya selalu memimpin shalat jamaah di
mushalla rumah. Semua harus ikut, termasuk Dek Gara. Dulu, saya biarkan
dia shalat pakai celana pendek. Tapi sudah beberapa bulan ini bila ia sedang
bercelana pendek, ya saya suruh pakai sarung.
Lalu, seiring
bertambahnya usia, saya ajarin lagi dzikiran dengan suara keras habis shalat. Biar
mereka tahu apa saja yang lazim dibaca sehabis shalat. Berlanjut ngaji. Suatu
hari, mereka akan saya ajari shalat rawatib. Bertahap sajalah.
Nah, saat akan
dimulai dzikiran dengan suara keras ini, saya bilang sama anak-anak. “Jadi
harus bersuara ngikutin ayah dan dihitung ya 33 kali. Boleh pakai tasbih atau
ruas jari.”
Mulanya, saya
berharap anak-anak akan bertanya bagaimana caranya untuk berhitung dzikiran
dengan ruas jari. Tapi ndak ada yang tanya. Saya lihat Dek Diva sudah melakukan
dengan benar, tanda ia sudah tahu jauh sebelumnya.
Lhah, yang
bikin shock ini ya Dek Gara.
Begini ceritanya.
Setelah saya
membaca prolog dzikir (allahumma antas salam wa minkas salam….), lalu
mulai dengan subhanallah….saya lihat Dek Gara memainkan jari kanannya
dengan tangkas. Saya meyangka dia sudah bisa berhitung dzikir dengan ruas jari.
Tapi setelah dicermati, saya heran kenapa jari telunjuknya tak bergerak dari
jempol, telunjuk, jari tengah, jari manis, terus kelingking nih.
Jari telunjuknya
hanya diadu-adu saja dengan ujung jempolnya. Begitu terus. Ya nggak jalan jadinya.
Macet di jempol!
Saya menghentikan
dzikir dan bertanya, “Itu maksudnya gimana, Le, kok gerakan jarinya macet
di jempol?”
Dengan
gayanya yang khas, yakni cool dekat ke nyebelin, dia menjawab, “Ayah masak nggak tahu, lha
ini kan gantinya tasbih, Yah.”
“Iya, tahu.
Tapi masak macet di jempol aja? Trus hitungannya gimana dong?”
“Ya kalau
Ayah sudah berhenti berarti hitungannya sudah selesai.” Enteng sekali nadanya
terdengar di telinga saya.
Kami terbahak
di atas sajadah. Lalu saya memegang tangan kananya dan mengajarinya cara
hitungan dzikir dengan ruas jari. “Nah, gitu yang bener, jadi kalau sudah balik
lagi ke jempol, berarti sudah 33 kali.”
Matanya
menatap saya lekat-lekat, ekspresinya datar. Lalu katanya, “Ayah salahin aja temanku
yang ngajarin gerak-gerak di jempol begitu.”
“Oh, jadi
diajarin temanmu?”
“Iya.”
“Baiklah,
besok akan saya cari temanmu yang mengajari hitungan salah itu, lalu akan Ayah
hajar seperti aksi Narutomu.”
Dek Gara
mengancungkan jempol ke arah saya. Tanpa suara.
Tiba-tiba
saya ingin menjadi anak kecil saja.
Jogja,
11 April 2015
Tag :
Yang Serba Nakal
4 Komentar untuk "DEK GARA DZIKIRAN"
Hahaha-Haha-Ha-aa... :( tiba-tiba saya ingin jadi anak kecil saja.
-_- rasengan !
hahahha jawabannya keren rada nyebelin haha
pak edi, sering-sering nulis ceria tentang anaknya dong. lucu-lucuuuu :D