Catatan: Plis baca cerpen ini sampai habis agar tidak sepenggal
kesimpulanmu.
Sambil
memperhatikan dengan seksama posturnya, aku lalu terpikir, mengapa Tuhan hanya
menyematkan satu kemaluan ya padaku? Juga orangtuaku, adik-kakaku,
teman-temanku?
Kenapa tidak
setidaknya dua? Bukankah dengan dua, selain aku bisa berhermaprodit dengan
diriku sendiri, aku pun memiliki cadangan kemaluan seandainya satu kemaluanku
mengalami masalah?
“Otak kotor!”
dengus sobat gilaku ini, Ali Amrin.
Aku ngekeh,
“Coba aja apa jawabanmu?”
Ia terdiam
sejenak, lalu menukas begitu saja seolah tidak lahir dari pikirannya, “Biar
sabun laku!”
Angin remuk
oleh kekehan kami. Semut-semut yang berbaris mengangkut remah-remah roti sisa
makan kami yang tak pernah rapi seolah berhenti menyimak kekehan gila kami.
Mungkin semut-semut itu sekarang sedang menggunjikan kami:
“Dasar
manusia! Punya otak bukannya dipakai untuk berpikir benar, malah nyeleneh jorok
kemana-mana gitu!” tukas seekor semut yang sixpack
itu.
“Itu, itu,
itulah kamu sebagai jantan, persis mereka!” sergah seekor semut betina sambil
memonyongkan mulutnya, sengak. “Udah punya satu pasangan kemaluan, masih mikir
kemaluan lainnya! Kurang apa coba aku ini!”
“Lho, kok jadi
marahin aku sih?” kaget, memicingkan mata.
“Ah, sudahlah,
kamu dan mereka sama saja joroknya! Dasar otak jantan!”
Dasar betina,
gumam semut jantan itu, selalu saja melesakkan amarah jika sudah menyangkut
masalah kemaluan, seolah-olah aku sama saja dengan jantan-jantan lain yang
doyan tukar-menukar kemaluan. Dasar! Tapi ehhmm, katanya sih yummy juga sih gituan…
***
Nangiso sedino ping
pitu yen kui keputusanmu
Aku ora bakal ngganduli lungamu ninggalke aku
aku wis lilo yen sliramu lungo senajan dodo ngempet ing loro
aku ra kuoso menging sliramu sing tak jaluk jujur atimu
mugo sliramu ra cidro senajan adoh ing kono
sliramu tansah gumanti ono ing mripat lan dodo
budal o tak tunggu balimu
Maafkanlah wahai sayangku terpaksa meninggalkanmu
Aku tak membenci dirimu dan melepaskan cintamu
Kau tau diriku ku tau dirimu kita sudah tak sendiri lagi
Kuharap dirimu mengerti diriku tak mungkin kita terus begini
anggap saja semua ini sebagai mimpi tidurmu
lupakanlah masa lalu dari semua kenanganmu
yang lalu biarlah berlalu.
Aku ora bakal ngganduli lungamu ninggalke aku
aku wis lilo yen sliramu lungo senajan dodo ngempet ing loro
aku ra kuoso menging sliramu sing tak jaluk jujur atimu
mugo sliramu ra cidro senajan adoh ing kono
sliramu tansah gumanti ono ing mripat lan dodo
budal o tak tunggu balimu
Maafkanlah wahai sayangku terpaksa meninggalkanmu
Aku tak membenci dirimu dan melepaskan cintamu
Kau tau diriku ku tau dirimu kita sudah tak sendiri lagi
Kuharap dirimu mengerti diriku tak mungkin kita terus begini
anggap saja semua ini sebagai mimpi tidurmu
lupakanlah masa lalu dari semua kenanganmu
yang lalu biarlah berlalu.
Sedaappp…
Mulianya hidupku:
secangkir Kopi Luwak, sebungkus Marlboro, beberapa gadget, debum traktakdess Tak Tunggu Balimu yang di-repeat
tanpa henti.
Senja yang
basah. Ah, stalking akun tweeter porno tentu mengasyikkan, gumamku seraya menebar harapan bakal ada yang
fresh, meski kutahu sebenarnya mau
baru dan baru kayak apa pun pastilah isinya hanya foto-foto susu dan vagina
yang bentuknya akan tetap selalu buruk demikian rupa, dengan sedikit-sedikit
variasi tentunya. Dan, masih sama seperti sebelum-sebelumnya, lamat-lamat aku
pun horny!
Saat horny
beginilah, ingatanku tentang pertanyaan lama “mengapa kelaminku hanya satu?”
kembali melambai-lambai bak nyiur di pantai yang tak pernah capai. Andai dua,
tentu saat ini pun aku kan
bisa langsung memuaskan hasrat seksualnya pada diriku sendiri: satu kemaluan
dengan kemaluan lainnya yang sama-sama ada padaku.
“Tanggung
benar ya Tuhan menghibahkan kemaluan cuma satu gini,” batinku tanpa kumengerti
apa jawabannya. Tepatnya, lebih karena aku merasa saat ini horny-ku tak tersalurkan sih.
Terdengar
suara kaki diseret dari garasi. Mungkin simbok! Buru-buru kusembunyikan
kemaluanku yang sedari tadi terhampar penuh pesona keperkasaan. Benar, simbok
melintas dari garasi menuju dapur.
Sial, jadi
terganggu horny-ku. Kulirik perlahan
kemaluanku, sekilas. Ah, bener kan,
sekarang dia udah kehilangan sixpack
keperkasaannya, menjadi ular pemalas yang melungker tanpa daya dan asa hidup
mulia.
Kubuka lagi
akun porno itu, tapi…aku benar-benar sudah gagal membangun kekuatan kemaluanku
lagi. Tetap melungker tanpa optimisme menatap masa depan.
Kulihat simbok
kembali melintas keluar, entah mau kemana. Damn!
Ini hanya gara-gara suara kaki simbok yang diseret tadi kan?
Ternyata,
kemaluanku begitu takut pada suara sendal simbok. Tepatnya, kemaluanku memiliki
malu yang begitu besar sampai-sampai sontak ia kehilangan kekuatannya saat rasa
malu itu menyergap.
“Malu,
kemaluan, bagaimana menurutku?” ku-send
BBM pada Ali Amrin.
Tak lama,
BB-ku bergetar. “Ya itu makanya titit orang disembunyiin, karena malu kali.
Kecuali titit orang gila! Lol.”
Malu,
kemaluan, iya sih, benar sekali jawaban si sinting itu. Kemaluanku jadi
mengkeret sekeret-keretnya semata karena didera rasa malu diketahui orang lain,
ya simbok itu tadi. Jika tidak ketahuan, tentu kian merajalelalah ia memamerkan
otot-otot gym-nya.
Malu, ya,
malu, jangan-jangan memang inilah maksud dasar mengapa Tuhan hanya menyediakan
satu kemaluan padaku ya?
“Berarti
sekali aku malu, maka habislah aku sebagai manusia ya, gitu ya?” tanyaku sambil
menatap tajam wajah Ali Amrin yang sepintas kayak dirubung malaikat.
“Iyalah, kata
pepatah…”
“Ups!
Mainsream banget main pepatah!” tukasmu memotong. Aku tahu pastilah dia hanya
pengen ngutip: Lebih baik putih tulang daripada putih mata, lebih baik mati
berkalang tanah daripada malu.
“Owww, sok
tau, makanya dengerin dulu!” sergahnya monyong. “Kata pepatah kan gini, gajah mati meninggalkan gading,
harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama….”
Aku menyimak,
entah mau kemana dia bersilat pepatah gitu.
“Nama itu kan kemaluan itu to
maksudnya…”
Aku ngakak.
Tafsir yang lebih tak beraturan dari ketakberaturannya postmo Foucault dan
Derrida.
“Lho bener kan?!” Seolah minta
persetujuanku dia.
“Iya deh,
benar,” sahutkua asal. “Semua hal kan
bisa dibenarkan tergantung argumen yang melandasi kepentingan-kepentingan.”
“Gini
maksudku,” kalau masang muka serius, Ali Amrin ini sudah berhasil benar
mengalahkan ustadz koplak. “Kita mau hidup gimana coba kalau kita menanggung
malu yang tak bisa disembunyikan lagi? Kemana-mana jadi nggak nyaman, nggak
eksis. Bukankah lebih baik mati to? Makanya, manusia mati meninggalkan nama
itu, maksudnya ya nama kemaluannya itu. Bagus tidak reputasi nama kemaluannya
dalam menjaga malunya itu kan?”
Aku diam.
Menatap tiang PLN yang sama-sekali tak setimpal untuk diimajinasikan sebagai
kemaluan.
Benar sih, aku
setuju kali ini. Pantas saja Tuhan hanya memberikan satu kemaluan padaku, pada
siapa pun. Bertaruh, ya bukankah semua kita sebenarnya sedang mempertaruhkan
satu-satunya kemaluan yang akan sangat menentukan nama yang akan kita
tinggalkan kelak?
“Andai ya,
andai…”
“Ah, masih
kemaluan lagi?” sergahnya memotong kalimatku.
“Bukan!”
“So?”
“Andai
masing-masing kita punya dua kemaluan, pastilah kita akan entengan untuk tidak
menjaga malu kita ya. Sebab kalaupun satu kemaluan itu terkuak malunya, masih
ada serep satu lagi kan?”
Ia mengangguk.
“Hidup hanya sekali, ya logislah bila kemaluan juga sekali saja malunya.”
Cakep, cakep
argumennya, gumamku, meski kutahu tak secakep kemaluannya yang sering nongol tanpa
ijin saat si empunya yang doyan bersarung tanpa celana dalam lelap.
Jogja, 5 April 2013
1 Komentar untuk "CERITA SEBUAH KEMALUAN Cerpen @edi_akhiles "
haha lucu..lucu..keren..hanya saja masih ada beberapa kata yang masih salah dalam pengetikan..