Maafkanlah wahai
sayangku terpaksa meninggalkanmu
Aku tak membenci
dirimu dan melepaskan cintamu
Kau tahu diriku kutahu
dirimu kita sudah tak sendiri lagi
Kuharap dirimu
mengerti diriku tak mungkin kita terus begini…
Serahkan saja pada
yang di atas sana…
Ayekree…ayekreeee….eeeekkk asyiiikkk…
Kutipan lagu
koplo Tak Tunggu Balimu yang mletak-mletuk
itu, yang tsakeeepnya nggak nyantai
banget itu, huuhh…huuhhh…asolole…,
jika disimak oleh 10 kepala, pastilah tidak akan pernah melahirkan persepsi
yang sama, kan?
Pasti!
Sebagian kan bilang, itu sikap
fatalistik, nggak menarik, cemen, potret orang yang nggak optimis dan tangguh!
Campakkan sikap semacam itu!
Sebagian lain kan bilang, itu kan
cuma alasan si cewek karena udah pengen pisah ma cowoknya, dasar lidah tak
bertulang!
Sebagian lagi
bisa bilang, wajar sih dalam kepentokan
apa pun, manusia akan mojok pada kuasa Tuhan.
Ah, selalu
deh, selalu, aku, kamu, dan dia kan
selalu begitu pula dalam memahami, menafsirkan, dan menyikapi wacana apa pun.
Beragam, pluralistik!
Wacana kan selalu menjadi
dirinya: produk pemikiran manusia yang tidak steril dari subyektivitas. Dan
subyektivitas selalu bertumpu pada kepentingan. Nah, kepentingan-kepentingan
subyektif inilah yang menjadikan setiap kita berbezaaa. Jika kepentingannya sama, pastilah aku dan kamu bakal
sobatan banget atuh.
Nggak heran kan, minggu lalu kita
masih begitu karib, hari ini kita begitu deras menjelek-jelekkan satu sama
lainnya saat kepentingan tidak lagi sejalan.
Cowok dan
cewek yang semalam masih ciuman basah saling bertukar jigong pete sekalipun,
hari ini bisa saja saling menghujat di akun masing-masing jika “kepentingan
bersamanya” telah soak.
Hidup ini
sungguh benar-benar tentang bagaimana caraku berstrategi di depan kepentingan
dan struktur sosialku.
Itu pertama,
kepentingan.
Kedua, setiap kepentingan subyektif
pastilah berdenyut dalam bingkai etika yang kita miliki, yang tidak pernah sama
antar orang, yang dipengaruhi oleh cara kita bersikap di hadapan sebuah
struktur sosial, yang lagi-lagi itu juga tak pernah sama.
Aku tidak suka
kamu, misal, lantaran kamu berbeda kepentingan denganku. Oke, anggap ini satu
dasar pemicunya. Aku tergerak untuk mendorongkan rasa itu, tetapi nilai etikku
pasti tidak akan sama dengan nilai etikmu kan dalam cara mengungkapkannya.
Umpama aku
punya nilai etik yang kendur, maka aku akan mudah untuk mencerca, menghujat dengan
bahasa terbedebah yang pernah dikenal umat manusia sekalipun. Umpama aku punya
nilai etik yang lebih ketat, pasti aku akan lebih berhati-hati memilih cara dan
kata dalam menyampaikannya.
Secara etik,
pekikan, “Ini jurinya cuma sok pinter, tahu permukaan, aslinya bodoh, nggak
tahu apa-apa tentang Jepang! Gobloookkk!!!” dibanding, “Menurutku ini memang
ada beberapa kelemahan sih…” pasti memuncratkan orgasme etik yang beda. Pasti. Meski,
keduanya sama-sama memiliki kepentingan subyektif yang sama: tidak setuju!
Apalagi bila salurannya
adalah sosmed, yang tidak pernah menawarkan ikatan emosional apa pun, niscaya
potensi untuk mengendurkan nilai etika begitu perkasa di dada.
“Teru-Teru Bozu kok dibilang non-mainstream, itu biasa banget!
Jurinya kagak melek! Mengecewakan, nggak seperti yang kupersepsikan selama ini!
Pfffttt….plaakkk! Taikkk lo…!!!” Niscaya
ungkapan sejenis ini takkan pernah sanggup dilugaskan secara langsung karena face to face selalu memiliki ikatan
emosional yang tidak sederhana. Tapi sosmed
nothing to lose benar. Kendati tidak berarti bahwa sosmed lantas tidak
mengenal nilai etik sama sekali juga sih, dan ini pun berpulang pada karakter
etik masing-masing personnya aja.
Begitulah atuh yang namanya wacana.
Jangan pernah bertanya,
jika demikian adanya wacana, lantas yang benar yang mana atuh?
Mencari
jawaban atas pertanyaan sia-sia ini hanya akan memunculkan kesimpulan sia-sia pula.
Ya, serba sia-sia.
Why?
Semua wacana,
apa pun itu, bahkan misal tafsir ayat sekalipun, bisa menjadi benar atau salah
sekaligus pada dirinya tergantung pada (lagi-lagi) kepentingan subyeknya. Bukankah
kitab tafsir dan fiqh sedemikian
abreknya dari zaman dulu sampai kini dan terus ke depan?
Bahwa memang
dibutuhkan keyakinan atas kebenaran sebuah wacana yang dianut, tentu saja itu bersifat
mutlak dalam hidup kita. Meyakini sesuatu, sebuah wacana sebagai benar dalam
hidup ini jelas adalah kebutuhan pokok setiap kita agar tidak kehilangan
orientasi hidup.
Tetapi bahwa
wacana yang kita yakini benar berdiri di antara jejalan wacana-wacana berbeda
yang juga diyakini benar oleh orang-orang lain, haruslah selalu menjadi
kesadaran pula pada diri kita. Sadar bahwa wacanaku benar menurutku, tetapi ada
wacana-wacana lain yang juga diyakini benar oleh orang-orang lain.
“Kamu
benar-benar cantik,” pujinya pada sang kekasih.
Ya, ia perlu
meyakini bahwa penilaiannya atas wacana cantik itu adalah benar.
Tapi kan belum tentu buatku atuh.
Aku bisa saja
menggumam, “Ya ampun, hallowww…keluar
dari cangkangmu dong, masak cewek berhidung dan bertinggi minimalis gitu lo
bilang cantik banget?! Masak bobot tubuhnya yang maksimal gitu lo puji sebagai
wanita bertrah Cleopatra? Hallowww…”
Yang lain juga
bakal punya gumamam sendiri, sendiri, dan sendiri.
Begitulah
wacana. Hidup selalu bekerja dalam sesaknya jubelan wacana, apa pun itu. Dari
urusan akhirat sampai dunia.
Ngaku nggak
ngaku, setiap kita adalah penyembah kepentingan subyektif kita. Soal landasan
pembenarnya dibangun secara ilmiah atau emosional, sebagai wacana atau klaim, itu
hanyalah payung pelindung kepentingan.
Mendamba semua
orang mencintaiku jelas sama konyolnya dengan berpikir semua orang membenciku.
Jogja, 10 April 2013
3 Komentar untuk "NAMANYA JUGA WACANA"
nyambung - nyambung dikit sama pos sebelumnya, eh komentar di pos sebelumnya. bermaksud mencerahkan sepertinya....
Itulah potret manusia...ujung-ujung segala sesuatunya untuk memuluskan kepentingannya sendiri...SETUJU!
Sepertinya menyambung dengan posting tentang analisis pemenang lomba japan in love (rafandha). Memang. Semua pasti berpendapat kepentingannya lah yang benar. Memang begitu. Tapi, setidaknya kita dapat memaklumi itu. Setiap orang mempunyai pemikiran dan kepentingan yang berbeda beda. Setuju dengan bapak!