“Munyuk aja
kalau dilipstiki masih lebih cantik dan membuatku bergairah timbang kamu!!”
Wajahnya lebam
dihajar tubian serapah yang menghunjam deras dari mulut lelaki yang amat
dicintainya itu.
“Nggak becus
kamu! Nggak beres! Sampah kamu!! Kecewa berat aku punya istri macam kamu!!!”
Suara debum
amuk itu terus menghajarnya tanpa ampun. Pagi yang benar-benar belah oleh caci
yang tak pernah diimpikannya mencabik ruang keluarga ini sejak pertama kali ia
menangis oleh suara qabiltu itu, lima tahun lalu.
Lelaki itu
telah hilang, hilang bukan hanya membawa badan gempalnya dan amarahnya, tetapi
juga hilang menyeret hempas seluruh kehormatannya sebagai suami dan ayah.
Dipeluknya
bocah yang sedari tadi diam khusyuk menatap layar game iPad-nya. Meski sesekali ia mendongakkan kepalanya tadi,
menatap silih berganti ke wajah ayah dan mamanya. Entahlah, apa yang sedang
ayah dan mama cakapkan tadi, gumam hati kecilnya.
“Kamu jangan
seperti ayahmu ya, Le…” bisik wanita
bermata sembab itu sambil menciumi rambut bocah lelaki kecil itu.
****
Nyaris pukul
dua dini hari begini, lelaki itu belum juga menampakkan tanda pulang. BBM yang
dikirimkan sejak pukul 11-an tadi sudah berubah status jadi r, tanda dibaca. Tapi tak ada balasan
apa pun. Tak apalah, toh itu sudah
cukup baginya untuk jadi isyarat bahwa lelaki yang amat dicintainya itu dalam
keadaan sehat walafiat.
Sambil menyeka
airmatanya yang mulai kering, ia beranjak ke kamar mandi. Mengambil wudhu, lalu
shalat tahajjud. Dalam setiap helai
bacaan shalatnya, ia tak pernah sanggup menangkis hujan airmata hangatnya
sendiri. Dari takbir sampai salam. Sampai berdiri lagi untuk takbir lagi hingga
salam lagi. Demikian terus-menerus sampai rakaat kesepuluh dipungkasinya dengan
salam.
Apa sebenarnya
yang sedang kau cari, ayah?
Jika kau
berpikir bahwa kebahagiaan itu adalah penjelajahan duniawi tanpa batas,
bukankah kau sendiri pernah berkata beberapa tahun lalu tentang kesia-siaan
itu?
Jika kau
berhasrat memuaskan semua ambisimu tentang kesempurnaan, bukankah kau pun telah
berujar sejak kau memberiku cincin emas di belakang kampus, di parkiran, bahwa
kau ingin mengisi kekuranganku dengan kelebihanmu dan kekuranganmu dengan
kelebihanku?
Jika kau tak
lagi mampu mengerem kata-katamu di antara gelegak didih kawah emosimu, bukankah
bertahun-tahun lampau kau sendiri pernah menasihatkan bahwa kata-kata apa pun
yang dilontarkan dalam keadaan emosi pastilah jauh dari nalar akal sehat?
Ya Allah,
berilah hidayah-Mu pada ayah agar dia segera pulang dengan sehat dan selamat dan
kembali menjadi lelaki yang sangat kubanggakan selama ini. Lelaki yang selalu
memiliki waktu untuk bermain cekikikan bersama anakku semata wayang itu, yang
senang bergulingan dan menggelitikinya, yang selalu mampu membuatku tersenyum
lebar sampai terbawa dalam tidurku yang lelap.
Doanya sobek
seketika oleh derum mesin mobil di halaman depan. Plus, debum bass lagu Tak Tunggu Balimu. Dan, seperti biasa, disusul denyit pagar
diseret, lalu suara klik di pintu depan.
Ia sengaja
diam, merekahkan cuping telinganya untuk mendeteksi kegiatan apa lagi yang akan
dilakukan suaminya di malam buta begini. Selintas, tertangkap olehnya suara
kaki diseret-seret, lalu suara tivi. Tapi sejurus kemudian, tak ada suaranya
lagi, termasuk dehem batuknya yang sangat dia hapal. Hanya suara tivi yang
begitu hangar di antara senyap.
Tanpa melepas
mukenahnya, ia keluar kamar, menuju ruang tengah. Di depan tivi yang masih
menyala, dilihatnya lelaki yang dulu amat dikaguminya itu tengkurap lelap.
Dengkurnya bak auman singa jantan.
Ia mendekatinya,
lalu duduk di bibir kasur berseprei Manchester United itu. Matanya menyapu rata
dari ujung rambut hingga ujung kaki itu. Air hangat kembali membuncahi kelopak
matanya.
Ya Allah,
inikah lelaki yang tadi pagi menyerapahiku habis-habisan bak aku bukan lagi
manusia yang punya perasaan?
Inikah mulut
yang tadi mengataiku munyuk: bahkan munyuk lebih cantik dan menggairahkannya
daripada aku, ya Allah?
Inikah wujud
lelaki yang sejak lima tahun silam kuabdikan hidupku sepenuh jiwa untuknya,
yang selalu kudengarkan kata-katanya lantaran dia adalah imam hidupku, yang
telah memberiku buah hati yang lucu, yang selalu kubanggakan pada
saudara-saudara dan sahabat-sahabatku bahwa aku sama sekali tidak salah pilih
sebagaimana yang dulunya pernah mereka cemaskan?
Ayah, kamu
sudah bukan lelakiku yang dulu itu, yang tak banyak bicara jika merasa tak
perlu bicara, tetapi selalu berbuat nyata untuk memberikan segala yang terbaik
buatku dan anakmu.
Dengkuran itu
tak terpengaruhi sama sekali oleh lelerah air hangat itu. Ia begitu lelap dalam
mimpi gelapnya, yang tak pernah ada seorang pun yang tahu kecuali dia dan Tuhan
belaka.
****
“Aku minta
maaf jika ada sikap dan kata-kataku yang berlebihan padamu, yang menyinggung
perasaanmu, kemarin…”
Tak ada
tolehan apa pun darinya. Mulutnya tetap sibuk mengunyah sarapan kesukaannya
yang sengaja disiapkan sejak habis shalat Subuh tadi.
“Yah, tolong
maafkan aku ya…”
Kali ini
lelaki itu menoleh, hanya sekilas, lalu kembali mengunyah.
Ah, kamu
memang sudah sangat berubah, Yah… Ia menelan ludahnya sendiri. Pahit.
Tak lama
kemudian, dia bangkit setelah meneguk air, lalu melangkah gontai tanpa
meninggalkan sehelai kalimat pun. Bocah lelaki yang berpapasan dengannya di
tangga dekat kamar dilewatinya begitu saja. Seolah tak terlihat olehnya.
Derum mobil
terdengar kemudian, tentu diiringi dentum bass
Tak Tunggu Balimu.
Mata lelahnya
hanya kuasa mengitip laju mobil itu dari balik kamarnya sambil menggendong
bocah lelakinya yang berkali-kali menciumi pipinya hingga basah. Ya, basah oleh
ludah anaknya, bercampur air hangat yang kembali tetas dari sumur matanya.
Sampai malam
kembali membusuk dibekap waktu yang tak pernah berhenti melumat segalanya,
lelaki yang amat dicintainya itu tak kunjung pulang. BBM-nya pun tak terkirim
lagi. Hanya centang. Dua kali ia menelponnya, tapi tak pernah bisa masuk.
Kembali, di
antara pukul dua yang sepi, ia pecahkan tangisnya di atas sajadah. Di kamar
yang sangat ia hapal lekuknya, yang menyimpan semua senyum dan tawa bahagianya bersama
lelaki tercinta itu sejak bertahun silam.
“Ya Allah,
selamatkanlah dia, selamatkanlah dia ya Allah….”
Selanjutnya,
tak ada suara yang terdengar lagi. Tak ada seutas bisik pun yang sanggup
disematkannya lagi pada tubuh malam. Kecuali isak tangis yang naik turun
mengiringi gemuruh dadanya yang terluka.
Hingga subuh
menjelang, derum mobil dan suara bass Tak
Tunggu Balimu yang sangat dikenalnya itu, yang sangat diharapnya itu, tak
kunjung terdengar. Halaman depan tetap sepi dan kosong. Tapi ia masih tetap
menunggu, di atas sajadahnya, di atas tangisnya, di atas doanya untuk
keselamatan lelakinya itu. Lelaki yang telah mengatainya munyuk, bahkan lebih
buruk dari munyuk.
Jogja, 16 April 2013
1 Komentar untuk "MUNYUK! Cerpen @edi_akhiles"
saat yg paling menyakitkan adalah saat kita tidak dimanusiakan oleh org yg paling kita cintai..