(note: maaf, saya nggak tahu sumber gambar ini, hasil grabber)
Seseorang
bercambang belukar, berwajah besi karat, dan bersuara halilintar kemarin sore
jelang Maghrib menebaskan pedang panjangnya ke leher mama. Cres! Tanpa sempat memekik, kepala mama dalam hitungan milidetik bak
laju M-1 VR46 bergelinding jatuh, pas berhenti di depan sepasang kaka kecil
itu. Kaki yang telah basah oleh air kencing yang jatuh tanpa terasa itu kini
sedikit memerah terciprat darah segar yang tersebar dari pangkal kepala mama.
Mata mama tak
sempurna mengatup, juga bibirnya yang penuh luka akibat tamparan dan poporan
senjata itu.
Seseorang
bercambang belukar, berwajah besi karat, dan bersuara halilintar itu melangkah dengan
suara buldoser ke arah tubuh kecil yang mengkeret terpojok ke tembok penuh lubang
dimakan usia itu.
“Simpanlah
kepala mamamu, lalu ingat keras wajahku ini ya! Jika kau ingin menyusul mamamu,
jadilah penjahat sepertinya!” Pedangnya ditempelkan ke pundak kecil bocah itu. Beberapa
tetes darah yang masih sempurna basah berpindah ke kaos dekilnya.
Tak ada seutas
suara pun yang melompat dari lidah kecilnya. Lalu seseorang bercambang belukar,
berwajah besi karat, dan bersuara halilintar itu pergi, disusul beberapa
temannya yang juga bermuka besi karat, setelah memberi aba-aba, “Ya Allah, ya
Allah, hayya….”
****
Senja kembali
menjelang, menebarkan pekat yang begitu mencekam di ruangan temaram ini. Aku
tak ingin tidur kedinginan seperti semalam, jadi aku harus secepatnya
menyelesaikan pekerjaan yang telah kulakukan sejak tadi Subuh ini. Aku hanya
ingin tidur dalam pelukan mama, bukan kepalanya saja.
Beberapa
batang kapur tulis yang pernah dibelikan mama beberapa minggu lalu berserakan
di sekitar lembaran triplek bekas kandang domba ini. Coret sana, coret sini, beberapa bagian
berkali-kali kuhapus. Ya, aku hanya ingin mama, sepenuhnya seperti mama, bukan
yang lain-lain, karenanya gambar tubuh mama ini tidak boleh sedikit pun berbeda
dengan tubuh asli mama yang selama ini kuhapal dengan baik.
Sepotong sumbu
lampu minyak yang kunyalakan beberapa menit lalu tak berhasil menerangi kamar mama
ini dengan baik. Angin padang
pasir yang keras berkali-kali membuatnya begitu redup, membentuk bayang-bayang liuk
kehitaman. Tapi, di mataku, itu adalah lambaian tangan mama padaku.
Melambai-lambai, memanggil-manggilku untuk segera masuk ke dalam pelukannya.
“Sudah kan, Ma?” ujarku sambil mengelap
keringat di dahiku. Kupaksa mataku mengamati sebujur lukisan tubuh yang penuh
bekas hapusan tanganku di mana-mana. Agar detail, sesempurna tubuh asli mama.
Tak ada suara,
hanya lengking angin Maghrib yang berkali-kali menderas membentuk desau yang
tak kumengerti apa artinya.
Ah, ini kurang
bagus, gumamku sambil segera mengambil kapur tulis lagi. Kupertebal gambar
kedua lengan mama. Ya, kutahu mama berbadan agak gemuk, sehingga lengannya
cukup tebal dan hangat saat memelukku dalam lelapnya.
Lalu ini juga,
dada mama yang kutahu sangat hangat lantaran mama sering sekali menyurukkan
kepalaku ke baliknya, dalam keseluruhan dekapannya. Mama benar-benar punya
tubuh sempurna untuk selalu memberikan kehangatan pelukan padaku. Sejak dulu,
sejak aku mengerti bahwa dialah mamaku yang selalu mendekapku erat di balik
pelukan beraninya, yang selalu membiarkan sekujur tubuhnya didorong-dorong
hingga terjatuh oleh para lelaki yang penuh benci pada almarhum ayah itu, yang
berkali-kali mendatangi rumah peninggalan ayah ini, yang seseorang di antaranya
yang bercambang belukar, berwajah besi karat, dan bersuara halilintar itu
berkali-kali memaksa mama untuk menjadi gundiknya.
“Sampai mati
takkan kubiarkan jiwaku kau kuasai!”
“Takkan
kukhianati pengorbanan suamiku dengan apa pun dan siapa pun!”
“Lebih baik
aku mati daripada menjadi gundikmu!!!”
Begitulah
pekikan-pekikan mama yang sering kudengar dari balik lindungan pelukannya
setiap kali seseorang yang bercambang belukar, berwajah besi karat, dan
bersuara halilintar itu mendatangi rumah ini dengan beringas. Dan selalu saja,
beberapa tamparan yang menyisakan percik darah di bibir dan wajah mama tertinggal
setelah kepergian lelaki Dajjal itu.
Ya, lelaki Dajjal,
begitu mama menjulukinya.
“Dulu ayahmu
sering bercerita bahwa Dajjal akan datang di akhir zaman dengan ciri dahinya
memiliki mata,” cerita mama setiap kali lelaki bercambang belukar, berwajah
besi karat, dan bersuara halilintar itu meninggalkan rumah ini. “Tapi sebetulnya
Dajjal telah lama ada di dunia ini, di antaranya lelaki Dajjal itu!” Suara mama
berderak setiap kali sampai di bagian lelaki itu, sambil menyeka bibirnya yang
pecah-pecah dengan air.
Aku hanya bisa
duduk mematung di sebelahnya, menatapnya. Mendengarkan suaranya yang bergetar
tanpa pernah begitu kupahami makna sesungguhnya.
Lalu, tak lama
kemudian, biasanya mama mengajakku tidur, memelukku, dan membisikkan sesuatu di
telingaku, “Baca doa, yuk, untuk ayahmu, lalu baca doa tidur…”
Aku pun berdoa
seperti yang mama ajarkan setiap malam padaku. Doanya selalu kuingat sampai
malam ini, malam yang tak lagi menyediakan mama di sebelahku, kecuali sebujur
gambar tubuh mama yang di atasnya, di bagian kepala, diisi dengan kepala mama
yang darah-darahnya telah mengering hitam.
“Ya Allah,
terimalah ayah di sisi-Mu, ampunilah semua kesalahannya, limpahkanlah semua
kebaikannya. Ya Allah, jika ayah pernah melakukan salah pada-Mu, dan harus
kutebus dengan jiwaku agar ayah bahagia di surga-Mu, ambillah jiwaku sekarang
juga ya Allah…amiinnn…”
Begitulah doa
ajaran mama setiap malam, lalu disusul doa tidur. Tapi, sejak kemarin malam,
sejak darah di pangkal kepala mama yang terpenggal masih basah, aku mengubah
sedikit doa itu:
“Ya Allah,
terimalah ayah dan mama di sisi-Mu, ampunilah semua kesalahan mereka,
limpahkanlah semua kebaikan mereka. Ya Allah, jika ayah dan mama pernah
melakukan salah pada-Mu, dan harus kutebus dengan jiwaku agar ayah dan mama
bahagia di surga-Mu, ambillah jiwaku sekarang juga ya Allah. Ya Allah, aku
ingin mama….amiinnn…”
Lalu aku
memejamkan mata, ditelan payah dan lapar yang menerkam sekujur tubuhku lantaran
sejak Subuh tadi begitu sibuk menggambar tubuh mama di atas triplek bekas
kandang domba ini. Kepeluk gambar tubuh mama, kusurukkan kepalaku ke bagian
dadanya yang hangat, seperti biasanya. Tapi, malam ini tak kudapatkan
kehangatan apa pun di gambar tubuh mama. Dingin. Tak bergerak. Tak membalas
pelukku.
“Mama…” bisikku
lirih, sambil membuka mata pelan, mendongak ke arah wajahnya. Mama diam saja,
dengan ekspresi yang sama seperti kemarin sore jelang Maghrib saat kepalanya
menggelinding ke ujung kakiku: mata mama tak sempurna mengatup, juga bibirnya
yang penuh luka akibat tamparan dan poporan senjata sedikit terbuka.
“Mama, aku kedinginan…”
bisikku lagi.
Hanya desau
angin yang melengking penuh tangis di saantero penjuru gurun pasir itu.
“Mama, aku mau
mama…”
Jogja, 22 April 2013
2 Komentar untuk "MENGGAMBAR TUBUH MAMA Cerpen @edi_akhiles"
sedih nee,,,,, jaga ibunda kita selagi ada
afwn pak, itu kisah anak domba kah??