“Oke, aku suka
Tak Tunggu Balimu, ada masalah?!”
sergahku. Ah, nih anak, dari kemarin resek banget komen desolah, kamsupaylah,
kampanyelah, kamsialah, hanya
gara-gara aku muterin lagu dangdut koplo yang gigir menghunjam hati sampai
lumer kayak coklat ditaruh di wajan yang diletakkan di atas magma Merapi ini.
Ia tampak
kaget melihat sikapku, lalu bergeser seinci demi seinci hingga bablas di balik pintu kamarku.
Vivi…apa…my honey…apa, my honey? Emoh ah…
Maafkanlah wahai sayangku…oohhh…oohhh….
Terpaksa meninggalkanmu
Aku tak membenci dirimu dan melepaskan
cintamu
Kau tau diriku ku tau dirimu (tak tahu…)
kita sudah tak sendiri lagi (itu kan dulu…)
Kuharap dirimu mengerti diriku tak mungkin
kita terus begini
Anggap saja semua itu sebagai mimpi tidurmu
(emoh ah…)
Lupakanlah masa lalu dari semua kenanganmu
Yang lalu biarlah berlalu…
Taktakdungcesss….
“Udah
kubilang, apa masalahmu aku muterin lagu ini sih?!”
Kurang ajar
benar nih anak! Tadi, benar sih dia mlipir
kabur saat kubentak, tapi masih aja reseknya nggak berhenti. Kirim SMS segala,
dengan nada yang masih sama: mengejek lagu tercintaku itu.
“Kasian aja,
masak zaman tweeter gini masih
koploan gitu, heee…”
Kulempar BB-ku
ke kasur, lalu ngacir keluar. Kubanting kepalaku kesana-kemari, kosong. Nggak
ada sepenggal kepala pun. Hanya deretan kamar kos yang terasa lengang.
Kemana si
buntelan kentut itu?
Gemeletak
benar rahang dan gigiku melihat ejekannya yang sangat tubi itu. Sekali dua kali
sih kudiemin, tapi kok malah jadi terus-terusan gini? Laptop yang kupake
muterin lagu asolole itu ya punyaku,
nggak pake utang ke bank plecit lagi,
lha kok dia begitu sibuk mempermasalahkan hobi baruku?
Nggak ada
seupil pun dari semua kegiatanku itu yang berkaitan dengannya, tapi kok
bisa-bisanya dia nggak ada bosannya untuk terus menghinaku sih?
Siallll!!!
****
Menelan Paul
Ricoeur memang tidak semudah mengunyah Muhammad Syahrur. Memang. Rumit, itu
kata teman sekelasku. Ya, rumit memang sih, tapi harus kuakui bahwa darinyalah
aku jadi kian kesemsem sama filsafat hermeneutika.
Nggak sia-sia
aku banting tulang selama 2 minggu ini untuk menelan Ricoeur dalam sebuah
makalah setebal 20 halaman 1 spasi ini.
“Kata kuncinya
apa itu Ricoeur menurut Mas Edi?”
Jleb! Suara berat Profesor Amin Abdullah
yang mengampu mata kuliah filsafat bahasa ini membuatku diam beberapa jenak.
Kubuka beberapa halaman makalahku, lalu mulai berdehem.
Seutas suara
yang tidak menyenangkan merobek sepi kelas bahkan sebelum tiga suara dehemku
lenyap. “Kayak vokalis koplo aja pake deheman segala…”
Sialll!!
Dia lagi,
lagi, dan lagi! Kulemparkan mata tajamku ke arahnya. Nih anak benar-benar
bedebah!
Awas kamu ya
ntar di luar, sumpahku dalam dada yang gemuruh. Benar-benar perusuh dia!
“Ayo Mas Edi…”
Suara Profesor Amin mencekik pompa darahku yang meledak-ledak.
“Baik,
kawan-kawan semua….” suaraku mulai mengalir, meski rada bergetar bukan karena
grogi, tapi karena kulihat kedua jempol tangan bocah tengik itu
digerak-gerakkan membentuk jogetan koplo.
“Pemikiran
terbaik Ricoeur, menurut saya, terletak pada dua kata kunci hermeneutisnya
tentang teks, yakni what is said atau
apa yang dikatakan teks dan the act of
saying atau cara atau proses teks mengungkapkan maknanya. Kata kunci
pertama, what is said, adalah event yang dikandung sebuah teks. Makna
teks begitu sudah dituliskan seketika menjadi otonom, mandiri, lepas sepenuhnya
dari konteks penulisnya. Mengapa ini terjadi? Sekali lagi, lantaran teks tidak
menyediakan ruang komunikasi langsung antara penulis dan pembacanya, kan? Tidak adanya ruang
ini otomatis menjadikan teks berbicara sendiri secara otonom kepada siapa pun
yang membacanya, yang tentu sangat dipengaruhi intensi, kepentingan, dan
kapasitas pembacanya. Karenanya, makna teks yang sama menjadi sangat beragam di
tangan orang yang berbeda…”
“Good, lanjut Mas…”
Yihaaaaaa….nggak usahlah profesor yang
sangat kuhormati ini berkata banyak, cukup dengan satu kata “good” sudah membuatmu bak Vivi yang
dielu-elukan remaja dan bapak pemuja lagu Tak
Tunggu Balimu itu.
“Baik, Pak,”
suaraku mulai diseraki rasa percaya diri yang membludak. “Pada posisi what is said ini, maksud penulis teks
menjadi tidak tersekat pada standar makna apa pun, termasuk standar makna yang
dimaksudkan si penulis. Bahkan Ricoeur menyebut penulis teks sebagai pembaca
pertama, dengan makna yang diproduksikan pada teksnya, lalu diterima oleh
pembaca kedua, ketiga, dan seterusnya, dengan produksi makna masing-masing, yang
niscaya terus menghasilkan pergeseran makna dari pembaca pertama itu alias penulisnya
sendiri…”
“Yang kedua,
yang the act of saying, Kang?”
Sumpah,
kuhajar beneran kamu ntar ya, koplak!
Dia lagi, dia
lagi, nyeletuk nggak penting banget gitu, yang pastilah semata hanya untuk
meledekku. Lihat itu, pakai kata “Kang”
segala, sebutan yang lekat dengan lagu koplo itu!
Kembali, kupaksa
menekan gemuruh dadaku. “The act of
saying adalah cara teks
mengungkapkan dirinya kepada pembaca manapun melalui sebuah event itu, yakni peristiwa hermeneutis,
yang menjalinkan kesalingterbukaan antara teks di satu sisi dan pembaca di sisi
lain. Dari sini teks selalu memproduksi makna yang sangat berlimpah, tak
terbatas. Keberlimpahan makna atas pembacaan sebuah teks menunjukkan bahwa
proses “teks membuka makna dirinya” kepada setiap pembacanya membutuhkan
“pembaca yang membuka dirinya pula” kepada teks, agar dari event hermeneutis itu lahir produksi-produksi makna baru. Terus-menerus.
Mohamed Arkoun menyebutnya korpus terbuka.
Ya itulah the act of saying, situasi
dinamis selamanya.”
“Mantap Mas
Edi…” ujar Profesor Amin sambil mengangguk-angguk.
“Maaf, Prof,
boleh saya tanya?”
Apa maunya nih
anak? Semoga nggak lagi main-main dia ya pake acara ngacung sok mau nanya
serius gitu?
Profesor Amin
mengangguk.
“Ya, saya
setuju dengan kesimpulan Mas Edi tadi. Saya hanya ingin meminta Mas Edi mencoba
menerapkan teori hermeneutika Paul Ricoeur itu dalam teks. Misal….” Dia diam.
Kedua jempol tangannya tampak digoyang-goyangkan.
Omaigat! Ya Tuhan, jangan sampai dia
tanya, bagaimana filsafat Hermeneutika Ricoeur dijadikan pisau bedah menggali
makna dari syair Tak Tunggu Balimu,
batinku penuh harap.
“Ayat apa
mungkin?” tukasku mendahului. Berharap dia hanya akan menyodorkan sebuah contoh
ayat atau hadits apa pun.
“Bukan,
bukan,” ia menggeleng. Tersenyum kecil, tapi sungguh terasa bak seringai
serigala di mataku. Sial, awas kalau sampai kamu menyebut lagu pujaanku itu.
“Eheemm, misal sebuah syair gini: Nangiso
sedino ping pitu yen kui keputusanmu / Aku ora bakal ngganduli lungamu
ninggalke aku / aku wis
lilo yen sliramu lungo senajan dodo ngempet ing loro / aku ra kuoso menging
sliramu sing tak jaluk jujur atimu / mugo sliramu ra cidro senajan adoh ing
kono / sliramu tansah gumanti ono ing mripat lan dodo / budalo tak tunggu
balimu…”
Udara seketika
pecah oleh gemuruh kikikan teman-teman sekelas. Profesor Amin yang sepertinya tak
mengenal syair itu hanya mendonggakkan kepala, tersenyum kecil. Lalu
menyilahkanku untuk menanggapinya…
****
“Enak kan? Syairnya, juga trektekdungces-nya itu tuh?” Mulutku
tertawa lebar.
Ia
mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti suara ketrakan gendang yang menyeret hati begitu dalam.
“Hebat ya
penciptanya…” sahutnya kemudian. Kecil.
“Ya, makanya,
kenapa pula dulu kamu menghina lagu ini terus coba? Hanya semata karena ini
lagu dangdut koplo yang kadung diidentikkan ndeso
itu?” Aku mendengus di depannya. “Stigmatisasi memang merusak obyektivitas kan?”
“Ricoeur benar
sekali ya tentang peristiwa hermeneutis teks dan pembacanya dalam melahirkan
makna baru….”
“Lha kok jadi lari
ke Ricoeur lagi?” Alisku terangkat menaut.
“Tahu nggak
kenapa aku jadi suka lagu ini?”
Aku
menatapnya, menyelidik. Menggeleng kecil.
“Srintil. Ya,
Srintil dan aku udah nggak bisa bersama lagi. Ada faktor x yang nggak memungkinkan kita
bersatu lagi,” suaranya lirih. Bergetar.
Ahaaaa…dia
terluka, berrrooooo!!! Anak S-3 pun bisa galau! Ternyata galau benar-banar
lintas apa pun ya…
Tanpa perlu
mendengarkan curcolnya lebih lanjut, aku langsung berani mengambil kesimpulan
bahwa horizon-nya yang patah hati itu
telah bertautkelindan dalam sebuah peristiwa hermeneutis dengan syair Tak Tunggu Balimu ini, lalu memproduksi “makna
baru” baginya: suka lagu koplo ini!
Makanya lo,
jangan songong jadi orang! rutukku dalam hati.
Jogja, 11 April 2013
3 Komentar untuk "TAK TUNGGU BALIMU Cerpen @edi_akhiles"
kayaknya ane kudu belajar pilsapat ke ente pak bose.
Saya harus bilang wow....wajib, fardu ghin, artinya setingkat lebih tinggi dari ain
Salman
banyak belajar dr sini :-)