Menjadi
penulis adalah pilihan luar biasa: cerdas, kreatif, interpretatif, dinamis, dan
mampu mempengaruhi opini dan bahkan prinsip hidup pembacanya. Karena luar
biasa, tentu tidak begitu banyak orang yang bisa begitu. Bedanya yang luar
biasa dengan biasa tentu saja, salah satunya, adalah kesedikitannya itu. Ini
sama pula dengan semua pilihan “menjadi” lain-lainnya yang sedikit itu tadi.
Setidaknya,
ada 3 “kelebihan” menjadi penulis:
Pertama, mampu berpikir “tidak biasa”.
Setiap penulis tentu dituntut untuk mengetahui lebih banyak, lebih luas, dan
lebih dalam tentang ide dan tema yang ditulisnya. Otomatis ia membutuhkan
perluasan pengetahuannya, melalui bacaan hingga diskusi/sharing.
Kedua,
mampu berpikir logis dan sistematis. Tulisan yang baik bukanlah tulisan
yang njelimet, memusingkan kepala
pembacanya. Tetapi tulisan yang terang, teratur, sistematis, dan logis,
sekalipun disajikan dengan “lompatan-lompatan” apa pun. Prinsip membangun
sistematika logis dan harmonis merupakan tuntutan sebuah tulisan yang baik.
Karenanya, penulis yang baik niscaya akan mampu berpikir logis dan sistematis
pula agar tulisannya juga menjadi logis dan sistematis.
Ketiga, mampu menciptakan interpretasi
(penafsiran). Tentu saja subyektivitas penulis akan mempengaruhi tulisannya,
dan itulah yang melahirkan tafsir-tafsir baru terhadap ide dan tema yang
ditulisnya. Tafsir-tafsir baru itu tentunya akan diterima atau ditolak oleh
pembacanya. Bagi pembaca yang sepaham dengan tafsir baru penulis, ia bahkan
akan mengambilnya, menerapkannya sebagai prinsip hidupnya. Penulis, dengan
demikian, bisa menjadi inspiratof, pengubah hidup pembacanya. Dan ini adalah
ceruk yang luar biasa kan?
Jadi, kenapa
masih ragu untuk menjadi penulis?
MENULIS FIKSI
Fiksi adalah
dunia cerita, bentuknya puisi, cerpen, dan novel. Di sini, saya akan fokus
hanya ke fiksi yang berupa cerpen dan novel. Dua bentuk fiksi ini memiliki
hakikat yang sama. Jadi, tidak perlu dipetakan sendiri-sendiri. Keduanya hanya beda dalam panjang-pendek
ceritanya.
Sebelum masuk
ke teknik menulis fiksi, perlu saya tegaskan bahwa hal pertama yang kudu
dibenahi sebelum menulis fiksi ialah mindset.
Ya, cara berpikirmu!
Jika kamu
berpikir bahwa menulis fiksi adalah menuliskan imajinasi, itu tak sepenuhnya
benar. Dekat ke salah.
Betul bahwa
fiksi adalah cerita rekaan, karenanya ia membutuhkan imajinasi. Kian kuat
imajinasi, kian kuatlah fiksinya. Tetapi kudu buru-buru kamu catat segera,
bahwa imajinasi yang kuat pasti bersumber dari pengetahuan yang kuat. Itu satu.
Yang kedua, imajinasi takkan banyak membantumu untuk bercerita banyak,
akibatnya ceritamua hanya mutar-mutar kayak odong-odong kehabisan gizi, jika
kamu tidak memiliki cakrawaka pengetahuan yang banyak dan luas. Eehh, sama ya
intinya? LOL…
Coba
bayangkan, bagaimana mungkin kamu bakal bisa menulis cerpen tentang Cleopatra
jika kamu tidak tahu bahwa ia adalah penguasa Mesir bersama ayahnya Ptolemeus
XII, memiliki saudara laki-laki, Ptolemeus XIII. Cleopatra berhasil mengatasi
kudeta yang digebrakkan saudara laki-lakinya, dengan cara bersekutu dengan
Julius Caesar, lalu Marx Anthony, tentu salah-satu kongsi itu adalah dengan
pesonanya dong. Buktinya, Cleopatra
memiliki 1 orang anak dari Julius Caesar dan 3 anak dari Mark Antony.
Cukupkah kamu
hanya mengandalkan imajinasimu yang bodol tentang Cleopatra, lalu menulis
cerpen berdasarnya? Apa yang terjadi? Cerpenmu, novelmu, hanya akan menjadi puzzle mbulet imajinasi belaka, kan?
Ini mindset yang kudu dibenahi pertama kali,
bahwa menulis fiksi tidak cukup hanya dengan mengandalkan imajinasi.
Baik. Sekarang
mari masuk ke teknik.
Secara umum,
fiksi sebagai sebuah cerita mensyaratkan hal-hal ini: alur cerita, setting/latar, penokohan, konflik, dan ending.
Kita bahasa
satu-satu ya…
1. Alur Cerita
Alur cerita
adalah jalan cerita. Apa pun bentuknya, sebuah fiksi harus memiliki jalan
cerita. Apa pun!
Alur cerita
ini bebas saja bentuknya, bisa alur maju (dari A-Z), alur mundur (flashback,
dari Z-A), atau alur maju-mundur (jangan ngeres lo!). Semuanya bisa menjadi
pilihan satu-satu atau bahkan gabungan sekaligus. Bebas! Intinya adalah kamu
harus menciptakan alur cerita.
Untuk
mengalirkan jalan cerita, tentu hal pertama yang kudu kamu miliki ialah
“gambaran jalan cerita”. Membuat outline
sebelum menulis (kira-kira ceritanya akan dialirkan gimana) merupakan salah
satu cara efektif untuk membantumu mengingat rencana alur cerita. Jika penulis
yang sudah berpengalaman, sering tidak butuh outline lagi, tapi cukup membayangkan sebelum menulis, atau bahkan
mengalir begitu saja saat menulis.
Untuk pemula,
buatlah outline dan disiplin
dengannya. Tentu akan terjadi pergeseran-pergeseran alur dalam proses
penulisannya, tetapi upayakan untuk mendisiplinkan diri dengan outline-mu. Khawatir aja sih, jika
terus-menerus diturutin pergeseran-pergeseran itu, lantas cerpen atau novelmu
nggak pernah jadi lantaran terus berubah dan berubah.
Selanjutnya,
mengalirkan cerita bisa kamu bangun melalui narasi dan dialog. Kombinasikan
keduanya secara proporsional ya. Terlalu banyak narasi, apalagi panjang-panjang
kayak rel kereta Thomas, tentu akan membuat pembaca bosan. Terlalu dominant
dialog, apalagi dialog-dialog yang nggak penting, tentu akan membuat pembaca
meyakinimu bahwa kamu lebih rewel dan cerewet dari Omas.
Sebaiknya,
narasi dan dialog diciptakan proporsional. Dan, catat ini, jangan pernah
membuat narasi dan dialog yang tanpa peran untuk membangun cerita ya. Basa-basi
yang basi-basa. Itu nggak menarik. Juga, jangan mengulangi inti dari narasi
dalam bentuk dialog atau sebaliknya, karena pengulangan-pengulangan begini
hanya akan mencederai karyamu.
Berikut contoh
kombinasi narasi dan dialog yang berperan mengalirkan cerita:
Kyoto
mulai beku. Lalu-lalang yang tadi tampak berisik kini melengang. Siklus alam,
ya, selalu saja orang akan kembali pulang saat malam kian kencang menorehkan
lelah. Tapi tidak buatku!
Aku masih saja duduk di taman
yang gigil ini, setia menunggumu. Setia menanti janjimu, Omas.
Kulirik lagi arlojiku, sudah
pukul 2 dini hari.
“Benar ya, pukul 10 nanti?”
tanyaku penuh semangat.
Omas tersenyum manis, menjereng
deretan giginya yang putih mempesona, menaklukkan hatiku.
“Ya, aku akan dating,” sahutnya.
“Aku kan menunggumu, lebih dulu
dari jam yang kamu janjikan. Pasti itu!”
Ah, kembali, lagi-lagi, ia
mengingkari janjinya. Pukul 10? Sekarang sudah pukul 2 dini hari, dan tak ada
secuil kabar pun darinya. Selalu begini! Tetapi aku masih saja selalu setia
memberikan dada lebarnya padanya untuk mengerti dan mengerti, meski tentu saja
aku sama saja dengan lelaki lain yang tersuruk kecewa saat kekasihnya kembali
ingkar janji.
Baca lagi deh
itu. Ada aliran
cerita di situ, kombinasi antara narasi dan dialog.
2. Setting/Latar Cerita
Setiap cerita
selalu membutuhkan latar yang menjadi tempat ia hidup. Apa pun dan bagaimana
pun latar itu diciptakan, entah itu nyata atau imajiner dan fantasi, latar itu
harus ada.
Latar bukan
hanya lukisan tentang tempat. Bukan! Latar juga mencakup suasana emosi yang
terbangun dalam tokoh-tokoh itu, karenanya latar bisa dibangun dengan model
narasi dan dialog pula.
Dan ingat pula
ini: lukisan latar itu harus natural, jangan dipaksakan. Ini bukan tidak boleh
membuat latar yang fantasi atau imajiner, bukan! Harry Potter sukses berat dengan bangunan latar yang imajiner.
Bukan itu poinnya. Tetapi latar yang harus natural itu, alamiah, adalah logis.
Kalau malam
yang gelap dong. Kalau tahun 1945 ya suasana revolusi dong. Saat itu belum ada
Blackberry kan,
jadi jangan bikin latar yang nggak logis.
Film Ainun
Habibie menjadi sangat cidera gara-gara memasukkan “iklan” yang saat kejadian
itu tidak pernah ada. Menyebalkan sekali, bukan?!
Hal lain yang
juga kudu diperhatikan dalam membangun latar cerita ialah jangan terjebak untuk
menjadi reporter ya.
Memang benar,
bahwa fiksi yang berhasil menyajikan latar dengan kuat, detail, dan rigid tentu
akan memiliki kekuatan lebih. Pasti itu! Sebuah novel yang berhasil
menceritakan kota Manchester dengan detail, pasti akan memiliki
kekuatan lebih. Ini bukan tentang kamu kudu ke Manchester
dulu kan,
apalagi sekarang kamu dimudahkan dengan adanya Mbah Google yang setia nyediain
segala macam data sampai bokep. LOL!
#Kembalikefokus
Yang saya
maksud jangan terjebak jadi reporter ialah keasyikan menuturkan latar
sampai-sampai kamu lupa bahwa kamu sedang menulis cerita, bukan berita. Artinya,
mau sedetail apa pun kamu melukiskan latar, kamu harus selalu menuturkannya
dalam bingkai cerita ya.
Misal begini:
Al Shafwa Royale Orchid. Room
734. Dari kamar ini, pesona misterius Masjidil Haram begitu terang di depan
mataku. Ya, begitu dekat! Aku hanya perlu waktu 5 menit untuk sampai ke hadapan
Ka’bah. Turun ke lift dua kali, lalu di pintu keluar hotel sudah berjulang
jelas bangunan dominan abu-abu berarsitektur Timur Tengah ini.
Selalu saja, seperti yang kali
ini pun kukatakan pada istriku tanpa bosan, Masjidil Haram beda auranya dengan
Masjid Nabawi. Jika Nabawi bernuansa anggun-elegan, Masjidil Haram kental
suasana misterius-mistik. Dia mengangguk, membenarkan: ah, senangnya memang
punya istri yang nyaris selalu menyetujuiku untuk hal-hal yang tidak prinsipil.
“Kamu ngerasa kayak disambut bara
tungku nggak setiap keluar pintu lobby hotel?”
“Iya, panas sekali, maklum
suhunya sekarang sampai 47 derajat…” sahut istriku sambil sedikit menghempaskan
napas.
Kujawil lengannya, “Lihat itu, di
pojok, dekat wanita berjubah hitam yang jualan tasbih dan al-Qur’an itu. Anak
tanggung di sebelahnya itu tangannya terpotong. Apa kena qishas ya?”
Istriku menoleh, lalu menepi
sejenak saat rombongan besar jamaah dari Turki melintas membelah jalannya.
Sebagian besar gundul. Seluruhnya tambun-tambun kayak timbunan lemak.
“Awas, minggir…” kataku sambil
menepikannya lagi.
Sebuah bus yang berkaca hitam
berhenti di sebelahnya. Hafil, kubaca tulisan itu di body bus itu.
Bandingkan
dengan ini:
Malam hari terasa masih terang
saja di sekitaran Eiffel ini. Ada banyak sekali
orang-orang yang berjualan segala macam merchandise khas Paris di sekitarnya. Anak-anak kecil juga
banyak melintas, bermain-main di taman yang hijau membentang ini. Sebuah hotel
bertuliskan Hilton berdiri gagah sekali. Di ujung barat taman yang mengitari
Eiffel ini, ada sebuah gang kecil yang jika diikuti akan menuju ke sebuah
perkampungan penduduk Paris
kelas bawah. Suasana yang bertolak-belakang dengan jalan-jalan besar yang
mengitari taman Eiffel ini, yang dipenuhi oleh mobil-mobil lalu-lalang tanpa
terputus.
Eiffel memang memikat mata.
Menjulang tinggi. Para pelancong tampak
bersemangat semua untuk menaiki Eiffel dengan cara antri di depan lift itu.
Mana ini
tokohnya? Alur certanya? Kayak berita saja?
Begitulah, sekali
lagi penting dipahami bahwa sebuah karya bisa memiliki kekuatan plus jika mampu
membangun latar yang detail, tetapi tetap kudu dalam bingkai cerita ya, baik
melalui narasi atau dialog.
3. Penokohan
Di dalam
cerita, tentu wajib hukumnya untuk ada tokoh-tokoh. Tokoh utama hingga tokoh
sambilan. Semua tokoh ini harus diciptakan karakternya. Dari watak sampai
kebiasaan harian atau pun fashion-nya.
Posisi peran setiap tokohnya pun harus terang dalam ceritamu. Itulah yang
disebut dengan penokohan.
Semua
penokohan ini harus diciptakan oleh penulis secara konsisten dan logis.
Kalaupun di bagian tengah atau akhir kok ada perubahan terhadap penokohan
seorang tokoh, maka tetap harus ada penjelasan cerita yang logis yang menjadi
sebab terjadinya perubahan karakter tokoh itu.
Misal tokohnya
sedari awal diceritakan cewek penggila nongkrong di kafe. Di bagian tengah,
cewek ini berubah style jadi cewek
rumahan, maka harus ada jalinan cerita yang menguraikan secara logis
sebab-sebab pemicu hal tersebut ya.
Logika tokoh
juga mutlak untuk diperhatikan. Ini banyak terjadi di kalangan penulis muda.
Tokohnya,
misal, seorang anak SD kelas 4, tapi dialog-dialognya terasa begitu wise layaknya seorang pertapa usia 60
tahun. Ini nggak logis. Maka sesuaikan saja secara alamiah level setiap tokohmu
dengan perannya, caranya berbicara, caranya beraktivitas, dan sebagainya.
Tokohnya tante
umuran 48 tahun. Hidup di Jakarta sih. Tapi dialognya kok dibuatin kalimat:
“Ciyusss… Kepo iihhh…ceeiileehh…atuttt…atiiittt….”
Ini penulisnya
yang minta dikeplak atau tantenya sih? LOL
So, mau dijadiin apa pun tokoh-tkoh
karyamu, silakan saja, tepi perhatikan betul aspek konsistensi perannya dan
logika ketokohannya.
4. Konflik
Konflik, ya,
setiap cerita harus ada konflik ceritanya. Tanpa konflik, cerita yang kamu buat
meskipun sudah berhasil membangun alur, latar, dan penokohan, akan terasa
sangat datar bin garing bin anyep
kayak jomblo akurat. J
Konflik
sesungguhnya merupakan jantung dari sebuah cerita. Berdasar konflik yang
dibangun bisa dari awal langsung atau mengalir landai, bangunan ceritamu
dibangun kan.
Maka kemampuanmu membangun titik konflik yang mendidih akan benar-benar menjadi
jantung dari bagus/tidaknya tulisanmu.
Dalam sebuah
cerita, konflik memang tidak harus tunggal. Kalau tunggal, cerita akan terasa
sangat sempit. Konflik boleh diciptakan sebanyak-banyaknya, asalkan kamu mampu
mengalirkannya dalam cerita yang mendedahkan konflik-konflik itu dengan baik.
Namun begitu, tetap saja hanya ada satu konflik utama. Konflik-konflik lainnya
bisa dinyatakan sebagai “bumbu konflik” penyedap cita rasa masakan ceritamu.
Ingat betul
ya, bahwa konflik yang membahana, yang disajikan dengan alur yang mengalir,
latar yang detail, dan penokohan yang kuat, akan benar-benar menjadi pelengkap
bangunan ceritamu. Karena itu, jangan milih konflik yang ala kadarnya. Pilihlah
konflik yang cetar, yang tidak monoton kayak Syahrini (#eh), yang kamu yakin
bakal menyedot “rasa penasaran” pembacamu. Dukunglah konflik cetarmu itu dengan
item-item lainnya dari alur sampai penokohan, maka niscaya ceritamu akan mampu
menyeret pembacamu.
Ya, menyeret!
Catat lagi
ini.
Cerita yang
baik adalah cerita yang mampu “menyeret”: rasa penasaran pembaca untuk terus
membacanya, emosi pembacanya sampai dia merasa benar-benar menjadi bagian dari
jalan cerita dan kehidupan si tokoh. Tak heran kan, banyak pembaca yang sampai nangis
betulan saat membaca sebuah cerita romantis penuh luka berdarah-darah sepanjang
masa (#halahhhh).
Gimana caranya
saat kamu menuliskan cerita tentang nestapa jomblo akurat yang juga manusia,
misal, yang penuh kesepian dan kedinginan sepanjang hayatnya sejak masih bayi
sampai umuran 30-an, pembacamu bisa terseret empatinya pada nasib anyep si tokoh. Nah, itulah letak
kekuatanmu membangun konfliknya!
So, konflik bebas, boleh apa aja, tapi
perhatikanlah untuk membangunnya secara dramatis!
5. Ending
Apakah ending harus selalu ada? Tidak juga sih.
Tetapi saya sengaja memasukkan aspek ending
di bagian ini dalam rangka untuk membuatmu mengerti bahwa setiap cerita tentu
akan memiliki akhirnya. Sekalipun kamu menulis novel romance dewasa setebal 500
halaman, tetap saja akan ada akhirnya. Akhir itulah yang saya maksudkan sebagai
ending.
Ending karenanya tidak harus berupa “akhir cerita tokoh”. Tidak. Jangan salah
paham ya.
Ending tidak mesti berupa mati atau
bahagia. Menikah. Punya anak. Kaya raya! Basi itu. Bukan itu. Ending pun tidak harus ada di akhir
bagian novelmu. Bisa ada di mana saja, misal di depan atau tengah, dengan
catatan (jika kamu bereksperimen model begini) kamu harus mampu memelihara alur
dan logikanya dengan kuat dan baik.
Karenanya,
kita mengenal istilah ending
menggantung kan.
Ending menggantung adalah menutup cerita dengan sebuah adegan atau suasana atau
dialog bahkan yang dibiarkan menggantung begitu saja. Ini sah-sah saja.
Tetapi kudu
dicatat ya (perasaan banyak banget ya
catatan yang kudu kamu catat dari tadi),
mau model pegimana pun ending-mu, buatlah ending yang menyentak! Ya, yang menampar, menyergap, ngagetin!
Ini penting
lho, agar pembacamu menjadi lebih teraduk emosinya.
Masak ending gini:
“Aku mati ya, Beib, ahhh….”
Atau:
Angin kering pun berhembus.
Coba gini
dong:
“Maafkan tak setiaku selama ini.
Kalau boleh kuminta sesuatu padamu, tolong sampaikan pada anak-anakku bahwa aku
sangat menyayangi mereka. Tolong peluk mereka setiap malam jelang tidur, dan
katakan bahwa pelukanmu adalah pelukan sayang ayah buat mereka…”
#Huaahhh..aku
jadi pengen nangis sendiri…
Intinya, ending itu bisa ada bisa tidak secara
formalnya, bisa ditempatkan dimana saja. Yang terpenting adalah akhir dari
ceritamu harus nampol, menggigit, dan menyeret serta menguras emosi pembaca.
To be continued (sekarang mau nangis
dulu akibat ending ini hiikks L)
6 Komentar untuk "SILABUS MENULIS FIKSI (Tutorial Praktis Menulis Fiksi untuk Pemula)"
Kalau latar/Setting ceritanya digambarkan oleh yang bukan tokoh pertama tunggal bagaimana?
Penting semua *catet aaah*
Saya paling suka tentang kelogisan fiksi. Banyak yang mengabaikan hal ini.
Om next buat silabus buat nulis cerita komedi donk om :D hehe
ijin catet om... nice post
Manteplah, langsung diterapkan. Ngomong-ngomong aku baru aja nyelesain satu novel tanpa sebelumnya tau definisi yang agan tuliskan. Yang ada d otakku pada waktu itu sederhana saja, sebuah niat ingin membuat novel dengan jalan cerita begini, itu aja sih. Eh ternyata beres juga. Tks gan ilmunya.
makasih banyak buat tutornya gan,,, sangat bermanfaat sekali
http://goo.gl/fShaJj