Dalam kerja kreatif, seperti menulis, plagiarisme atau plagiasi
begitu dinista. Ia selevel dengan dosa syirik yang tak terampuni lantaran
mengingkari fitrahnya sebagai Realitas Kreatif. Plagiator dengan sendirinya
adalah “ateis-kreativitas”. Mengaku kreatif tapi mengingkarinya sekaligus.
Celakanya, pengertian “kreatif” sendiri bercabang-cabang. Bila
dikerucutkan, ada dua mazhab besar saja:
Pertama, kreatif ialah berkarya secara
orisinil. Makpling. Bagaikan jatuh dari langit begitu saja, tanpa
dipengaruhi atau diwarnai oleh apa pun dan siapa pun.
Kedua, kreatif ialah memberikan
sentuhan-sentuhan segar (fresh) pada hal yang sudah ada sehingga menjadi
“baru”. Ini jelas tidak jatuh dari langit, tapi jatuh dari bacaan dan
pergaulan.
Bila kedua mazhab ini digatukkan dengan percaturan global kini, di
mana interaksi geopolitik teks begitu terbuka dan cepat layaknya isu-isu Rini
Fatimah Jaelani alias Syahrini, mazhab pertama menjadi terperam ke sudut-sudut
pekat idealisme. Mazhab kedua mengambil peran sangat besar kemudian.
Bagi orang yang berkubang di sudut-sudut pekat idealisme mazhab
pertama, cara kerja mazhab kedua disebut bagian dari plagiarisme, hanya
disamarkan. Pseudo-plagiarisme, kira-kira begitu istilahnya. “Pura-pura
kreatif padahal plagiat juga”.
Bagi mazhab kedua, berkarya dengan cara kerja mazhab pertama disebut
musykil. Bagaimana mungkin seseorang berhasil menuliskan sesuatu dengan baik
tanpa melalui proses membaca karya orang lain yang mendahuluinya, yang boleh
jadi memberikan efek samping berupa “keterpengaruhan” (intertekstualitas)?
Begitulah bantahan mazhab kedua terhadap klaim Syahrini ini. Eh, idealisme ini.
Sejatinya, saya pribadi memandang kedua mazhab ini sama baiknya
dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ya, persis saya memandang
kedudukan Sunni dan Syiah.
Mazhab pertama begitu digdaya kreativitasnya tetapi rentan tumpul
produktivitasnya. Mazhab kedua begitu digdaya produktivitasnya tetapi rentan
mengekor capaian karya yang sudah ada.
Nah, bagaimana kalau saya berusaha mendamaikan keduanya saja, ya?
Soal yang mana yang lebih cool, biarkan pembaca yang menilainya kemudian,
setakar dengan bebaskanlah Gusti Allah yang memutuskan apakah kelak yang
diridhai-Nya itu orang Sunni, Syiah, atau malah Jepang yang kebak tepa
selira to, nggak kayak kamu yang berlagak Yang Maha Security.
Mari kita ciptakan ukuran saja yang tentu lebih teknis dan logis
untuk dijadikan sandaran:
Plagiasi
Garis Keras
Praktik plagiasi ini ialah mencopas karya orang secara mentah-mentah
dengan tanpa mencantumkan sumber kutipannya, baik banyak atau sedikit. Misal
mengutip lagu, syair, puisi, frase, quote, narasi, atau apa pun yang notabene
ditulis oleh orang lain, sehingga pembaca kemudian mengasumsikan bahwa karya
yang dibacanya adalah karya penulis yang dibacanya.
Praktik ini membuat saya sangat terharu, sebagaimana saya terharu
pada Syahrini.
Plagiasi
Moderat
Kelompok plagiasi ini statusnya tetap mengharukan. Hanya saja, cara
kerjanya lebih “malu-malu” dibanding plagiasi garis keras yang “malu-maluin”.
Biasanya, modus yang dilakukannya ialah dengan cara mencomot tulisan dari negeri
antah berantah dengan harapan tidak ketahuan orang sendiri atau mencampur-adukkan
tulisan banyak orang bagai puzzle lalu ditatanya sedemikian rupa plus
imbuhan parafrase.
Parafrase
Garis Keras
Ada lagi praktik mencomot tulisan orang dengan tanpa mencantumkan
sumber kutipannya namun kata-katanya telah diubah sedemikian rupa secara
keseluruhan. Esensinya sama, tapi kemasannya telah dimodifikasi.
Bila praktik ini dilakukan sampai pada level “plek intinya”,
tanpa sentuhan sudut pandang terhadap kandungannya, ini juga patut dinyatakan
mengharukan. Namun biasanya jarang sekali kejadian mengharukan begini. Seringnya
ialah parafrase terhadap sebagian kandungannya dengan tambahan sudut pandang
penulis barunya. Saya kira ini tak masalah.
Hanya saja memang Tuhan sungguh Maha Adil. Pelaku parafrase akan
selalu menjadi “follower” bin anak bawang to, sehingga tak pernah
melesat ke depan.
Parafrase Moderat
Praktik ini paling banyak dilakukan oleh kita. Dalam bahasa kerennya
disebut intertekstualitas alias keterpengaruhan. Disajikan dengan gaya bahasa
sendiri, namun “karakternya” sejalur dengan tulisan yang telah mendahuluinya.
Secara hukum, hal begini sah-sah saja.
Hanya saja, penting untuk dimengerti bahwa kendati intertekstualitas
di satu sisi amatlah sulit dihindari oleh penulis (terutama pemula), namun di
sisi lain berjuanglah terus-menerus untuk menyelamatkan dirimu dari faksi “parafrase
garis keras” dengan sebanyak mungkin memasukkan perspektif-perspektif sendiri. Dari
soal gaya tulis, karakter strukturnya, hingga sudut pandangnya. Dengan cara
ini, ia akan semakin tipis didekap taste keterpengaruhan itu.
Dalam mazhab ini, parafrase sah dilakukan. Namun, sebagai sebuah
karya kreatif, Anda harus selalu memahami ukuran prinsipil ini: semakin taste
tulisanmu menjauh dari tulisan-tulisan yang mempengaruhimu, maka tulisanmu
berarti semakin mendekati orisinil. Nah, ngomong soal taste, saya kira
nuranilah yang paling sanggup menjelaskannya pada Syahrini.
Akar masalah dari plagiarisme aslinya sungguh sederhana, yakni
semata emoh mencantumkan sumber comotannya. Emoh itu mencerminkan
karakter penulisnya yang dekat dengan angkuh, sombong, dan egois. Watak-watak
personal yang seharusnya sudah lebih dari cukup untuk dinyatakan tidak yangable.
Secara Syahrini, eh hukum, tidak ada toleransi buat plagiator. Kalau
buku saya yang diplagiasi, maka akan saya tuntut secara hukum dan akan saya
buatkan report ke seluruh toko buku untuk menarik buku plagiasi itu dari
pasaran.
Namun saya memandang bukanlah suatu masalah bila plagiasi itu sekadar
dijadikan status, twet, dan sejenisnya. Meski tentu tetap lebih afdhal
mencantumkan sumbernya.
Meminjam ulasan Arman Dhani di Mojok.co, plagiasi itu bukan
kerjaan mudah, tapi membutuhkan ketangguhan mental yang luar biasa; tangguh
menahan malu, tangguh menyebar fitnah sebagai apologi, dan juga tangguh
membunuh karir kepenulisannya sendiri.
Dosa plagiator bukan hanya merugikan secara material kepada penulis
aslinya, tetapi juga sangat berpotensi merugikan nama baiknya. Misal, berkat
ketangguhannya berapologi fitnah, para fans atau followernya akan ngejudge
penulis aslinya sebagai plagiator. Kata Arman Dhani lagi, “Ini adalah asu
seasu-asunya.”
Jika sudah siap diasukan seasu-asunya, ya monggo
khianti saja nuranimu sendiri; pura-pura saja Tuhan nggak tahu bahwa kamu
sedang mencuri tulisan orang lain, yang sedihnya kamu lakukan setelah shalat
Isya’. Setipikal dengan kaum jomblo yang demen nyetatus “Emang kenapa kalau
jomblo, aku bahagia aja nih….” padahal hatinya berdarah dan berdoa turun hujan
di musim kemarau setiap malam Minggu.
Namun jika kamu sejalur sama Pramudya Ananta Toer bahwa menulis akan
membuatmu abadi, maka menulislah dengan jujur.
Tanya Syahrini.
Sumenep, 2 Maret 2015
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
1 Komentar untuk "MENGENAL MAZHAB PLAGIASI DAN PARAFRASE Oleh Edi AH Iyubenu"
Tulisannya nendang banget nih Encik Bos. Semoga para plagiator membaca tulisan ini. Dan segera insyaf dari perbuatan menjiplak karya orang lain.