Saya turun ke liang lahat dan membaringkan jasad abah di atas tanah
yang lembab bekas hujan tadi pagi. Saya memegang-megang punggungnya, pahanya,
dan saya sangat berhasil merasakan lembut daging tuanya, tulangnya. Sekujur
tubuhnya amat saya kenal sempurna. Selamat jalan, Abah, gumam saya di antara
riak air mata.
Dialah abah, H. Abdul Aziz bin Abdullah, yang menyusul ibu yang
telah mendahuluinya pada 1 September 2010 lalu, dalam usia 70 tahun, pukul
00.45 di tanggal 26 Pebruari 2015. Dia selazim orang-orang segenerasinya; bukanlah
anak kuliahan. Yang saya tahu, abah sangat rajin mengikuti beberapa pengajin
rutin, juga pernah mendirikan pengajian hari Rabu di rumah, selama
bertahun-tahun. Tentu, abah bukanlah kiainya. Ia hanya jadi tuan rumah yang
menyediakan tempat untuk pengajian itu. Selebihnya, abah seperti kebanyakan
kita, selain ia tak pernah alpa shalat jamaah lima waktu di Majid Agung
Sumenep, dalam hujan dan terang, juga menjadi salah satu imamnya. Lalu, ia tak
pernah meninggalkan shalat Tahajjud tanpa menangis menderu-deru dalam situasi
apa pun dan di mana pun, juga ngaji setiap habis shalat lima waktu.
Saya tiga bersaudara, dan sayalah anak lelaki terbesar, di bawah
kakak saya yang perempuan.
Saya memiliki banyak cerita tentangnya.
Menghitung
Uang
Zaman saya masih SD di Lalangon Manding Sumenep, saya ingat abah
memiliki beberapa jenis usaha; pabrik tahu tempe, toko sembako, dan ternak ayam
petelur dan sapi. Secara ekonomis, abah tergolong cukup menonjol di
lingkungannya.
Uang-uang setoran dari pedagang telor dan tahu tempe seringkali
ditumpuk beberapa hari, lalu abah meminta anak-anaknya untuk menghitungkannya.
Inilah waktu-waktu emas yang selalu saya tunggu, bersama kakak saya. Sebab adik
masih kecil sekali.
Uang koin dan kertas digeletakkan di lantai, lalu kami duduk bersila
dan mulai menghitungnya. Hasil hitungan ditumpuk di sekitar kami. Bila abah
bangkit, lalu mengurus entah apa, saya dan Mbak Iis sontak langsung lirik.
“Jangan banyak-banyak ngumpetinnya,” katanya.
“Kamu juga,” kataku.
Jadi, di balik paha kami yang posisinya bersila, dengan tangkas kami
menyelipkan uang-uang.
Tapi memang trik ini tak sepenuhnya berhasil.
Suatu hari, saat kegiatan menghitung uang ini sudah selesai, tak
seperti biasanya abah masih duduk aja di depan kami sambil menghitung tumpukan uang
kertas yang telah terikat rapi. Dia diam. Saya dan Mbak Iis saling lirik
sesekali, dengan batin sesak; gimana cara berdiri dan pergi tanpa ketahuan ada
uang-uang di balik paha?
Abah menatap kami lalu berkata dengan nada heran, “Kok masih duduk
aja, kan sudah ngitungnya?”
Kami diam. Abah kembali mengulangi kata-katanya, sehingga tanpa
kuasa kami terpaksa berdiri dan rontoklah umpelan uang dari balik paha
kami. Lalu saya dan Mbak Iis balapan sprint….
Abah tak memarahi kami kok. Dia hanya menasehati belakangan supaya
ngomong saja kalau butuh uang, jangan ngambil-ngambil begitu. Sebagai anak yang
baik, kami menunduk dan mengiyakan, meski jelas saja kami tetap sesekali
mengambil uang-uangnya. Maafkan kami, Abah….
Merpati
Muhammad
Saya punya sepupu dekat namanya Mas Opik. Rumahnya kira-kira
sekiloan dari rumah saya. Tiap Sabtu sepulang sekolah SD, dia seringnya ke
rumah lalu nginep.
Saya dan Mas Opik, sebagaimana anak kecil di masanya, doyan banget
ikut trend mainan. Apa pun! Dari musim layangan, mancing, kelereng, bajang,
karet, jangkrik, hingga merpati.
Nah, di kampung saya, ada seorang pemuda bernama Muhammad yang
dikenal memiliki merpati yang sangat bagus. Saya dan Mas Opik sudah melihatnya
tadi siang dan menanyakan harganya. Katanya Rp. 7.000. Wah, mahal sekali! Harga
merpati biasa saat itu kisaran Rp. 1.000 – 2.000.
Rumah saya yang di Lalangon dulu membentuk taneyan lanjang
(silakan googling istilah budaya Madura ini ya). Setiap Maghrib dan
Isya’, kami shalat berjamaah. Kerabat dan tetangga ikut gabung. Saya tentu
harus ikut shalat Jamaah, juga Mas Opik yang berdiri di sebelah saya. Posisi
kami pas di belakang Abah.
Saat sujud, dahi kami (saya dan Mas Opik) bukannya dirapatkan ke
sajadah, tapi saling toleh berhadapan dengan posisi telinga menempel di
sajadah. Dan kami berbisikan:
“Gimana merpati Muhammad?” tanya saya.
“Ya udah beli aja, pasti juara kalau diikutkan lomba.”
“Mahal.”
“Ada nggak uangnya?”
Obrolan bisik-bisik kami terputus seiring dengan bangkitkan posisi
abah dari sujud ke rakaat berikutnya. Bila sujud lagi, kami meneruskan obrolan
bisik-bisik tentang merpati Muhammad ini.
Begitu salam, abah membalikkan badan, dan menatap kami. Mata-mata
kecil kami menatapnya. “Beli saja merpati Muhammad itu….”
Krik…krik…krikk….tiba-tiba banyak
jangkrik di kepala kami.
Menjual Sapi
bagai Pahlawan
Saya baru kelas 4 SD saat pedagang sapi yang biasa keliling kampung Ganjur
mendekati saya yang sedang duduk di depan kandang sapi abah sambil membuat
layangan. Saya lalu mengantar kedua pedagang sapi itu ke dalam kandang.
Katanya, pengin lihat-lihat sapi abah.
“Gimana, ada yang cocok?” tanya saya (saya membayangkan kini
setiap teringat peristiwa ini betapa cool-nya saya berdiri di hadapan dua
lelaki dewasa itu dan berbincang tentang jual-beli sapi).
“Ini mau dijual berapa?” katanya sembari menunjuk sapi yang dekat
pintu.
“Tawar aja berapa.”
“Enam puluh ribu ya.”
“Tambahinlah.”
“Ya sudah, tujuh puluh lima ribu ya.”
“Setuju.” Lalu saya terima uang sejumlah itu, dan saya berikan sapi
itu, kemudian mereka pergi.
Saya tak sabar menunggu abah pulang dari pasar. Saya haqqul yaqin
abah akan sangat berterima-kasih atas kepahlawanan saya menjualkan sapinya. Maka
begitu abah datang, saya langsung menyambutnya dengan wajah ceria. “Bah,
sapinya laku,” kata saya.
“Sapi? Sapi sapi gimana?”
“Iya, yang dekat kandang. Tadi ada pedagang datang dan kujual. Laku.
Ini uangnya.” Saya sodorkan uang hasil penjualan sapi itu ke tangan abah.
Ia menerima uang itu dengan mata nyaris tak berkedip, lalu
menghitungnya. Lalu memasukkan uang itu ke sakunya.
Dua tiga hari kemudian, pedagang sapi itu saya lihat tengah berbincang
sama abah di beranda rumah. Saya mendengar abah berkata begini, “Sampeyan ini
kok lucu beli sapi dari anak kecil. Sapi lho itu, bukan ayam. Balikinlah
sapinya, atau tambahinlah dengan harga pantas, tiga ratus lima puluh ribu.”
Saya melintas di depan mereka sambil mengunyah mangga matang yang
sangat manis.
Titik Lemah
Abah
Saya sangat tahu letak “kelemahan” abah, yakni paling benci kalau saya
tak shalat. Sejak kecil. Tentu, ini berlaku sebaliknya.
Mau beli mainan apa saja, minta mainan apa saja, dengan harga yang
di zamannya tergolong mahal, asal dipinta setelah shalat yang pamer padanya,
niscaya abah langsung mengiyakan. Tentu ini takkan pernah saya sia-siakan.
It works!
Kecanggihan saya mendeteksi titik lemah abah ini terus berkembang.
Bila sesuatu yang saya pinta itu makin besar, saya memperdalam titik lemah abah
dengan cara pamer mengaji di hadapannya setelah shalat. Bahkan, beberapa kali,
dalam shalat Dhuhur atau Ashar, bila abah sedang di kamarnya atau di ruang
tengah, saya sengaja membaca Fatihah dan surat pendek dengan nada keras. Ini
bukan tentang kok ngikut mazhab fiqh mana lho ya, tapi semata agar abah
mendengar saya rajin shalat dan mengaji.
Ternyata, praktik yang sama juga dilakukan oleh Mbak Iis. Bahkan,
dia ngajinya sering dilagukan di hadapan abah kayak orang lagi ikut MTQ.
Umpama saya pulang setelah adzan Maghrib gara-gara keasyikan main
layangan di bukit kecil yang tak jauh dari rumah, yang ini sudah cukup untuk
membuat abah mendelik, saya sembunyiin layangan dan benangnya di kandang sapi,
lalu ke sumur di sebelahnya, membersihkan diri dan berwudhu, lalu menguluk
salam di depan rumah.
Itu membuat abah senang. Tak ada pelototan apa pun darinya.
Sabetan Lidi
Saya tak pernah dipukul oleh abah. Sungguh saya beruntung, dibanding
kawan-kawan sebaya lainnya. Satu-satunya pukulan abah yang saya ingat ialah
kala saya tak kunjung berangkat ke surau untuk ngaji di suatu sore. Abah
mengambil sapu lidi yang biasa dipakai untuk menyapu halaman oleh ibu, lalu
mencambukkanya ke punggung. Ternyata ada anak lidi yang panjang menyambar
sampai ke pipi. Meninggalkan bekas garis luka saat itu. Perih rasanya.
Malamnya, saya terbangun mendengar suara tangisan di sebelah saya.
Ternyata abah! Ia tengah menangis sambil mengelus-ngelus wajah saya yang
bergaris bekas cambukan lidinya tadi. Saya langsung mengerang-ngerang seolah
sedang kesakitan, dengan mata tetap memejam. Dan itu kian sukses memperderas
tangisan sesal abah. Besoknya, saya dikasih uang dan dibeliin mainan
sepulangnya dari pasar.
Abah memang tak pernah berkata apa-apa tentang tangisannya malam
itu. Namun sejak saat itu, ia tak pernah sekalipun memukul saya. Menjewer pun
tidak.
Mondok ke
Jombang
Abah sangat bersemangat kala mengetahui sekolah saya (MTsN Giling
Sumenep) membuka kesempatan pada semua siswa kelas tiga untuk mengikuti seleksi
masuk MAN-PK (Madrasah Aliyah Negeri Program Khusus). Syaratnya, harus bisa
baca kitab gundul!
Ini masalahnya. Abah membujuk saya untuk mengikuti seleksi itu, dan
mencarikan guru kilat untuk prepare tes itu. Kurang lebih dua bulan saya
diles kilat baca kitab gundul. Kitab yang diajarkan waktu itu adalah Jurumiyah.
Pendek kisah, saya lulus! MAN-PK kala itu hanya ada di dua kota se
Jatim: Jember dan Jombang. Sesungguhnya, saya lebih berharap bisa masuk yang di
Jember, lantaran di Jember saya banyak memiliki kerabat. Ibu saya asli Jember.
Namun saya dimasukkan ke MAN-PK Jombang yang menjadi satu dengan kompleks
Pesantren Manbaul Ma’arif. Jadilah saya nyemplung ke dunia pesantren.
Abah dan ibu mengantar saya ke Jombang. Kami diterima di sebuah
ruangan besar serupa aula. Mulanya, saya pikir ini hanya aula. Tahunya, inilah
dia kamar yang akan saya huni bersama 29 orang lainnya.
Menjelang sore, abah dan ibu pamit pulang. Saya mengantar sampai ke
gerbang pesantren dengan hati baja. Begitu malam menjelang, saya menangis.
Menangis sejadi-jadinya karena tak kerasan. Saya minta pulang!
Saya benar-benar merasa jadi pesakitan di sini. Apa-apa susah; dari
urusan makan sampai tidur. Saya kirim surat pada abah (belum ada telepon di
tahun 1992 itu), yang baru diterima abah 3 hari kemudian. Tiba-tiba, di suatu
pagi abah telah nongol di pesantren, sepulang saya dari pelajaran olahraga.
Abah menatap saya lalu bertanya, “Mau pulang beneran ya?”
Aku mengangguk sambil menyeka keringat.
“Ya sudah, ini minum dulu.” Ia menyodorkan segelas teh yang langsung
saya tenggak tandas. Lalu abah mengajak saya makan ke warung di luar pesantren.
Abah tetap tinggal di pesantren sampai sore, lalu dia bertanya lagi. “Gimana,
jadi ikut pulang?”
“Ah, nggaklah, aku kerasan kok.”
Abah tersenyum, lalu pamit pulang dan memberi saya uang yang banyak.
Saya benar-benar sangat kerasan sejak kunjungan abah dan menenggak segelas teh
itu.
Entahlah, itu teh merek apa….
Kuliah ke
Jogja: Menulis….
Di masa ini, kondisi bisnis abah menyusut. Ternak ayam dan sapinya
tutup. Entah, saya tak tahu kenapa. Saya bercerita pada abah tentang rencana
saya untuk melajutkan kuliah ke Jogja. Abah mendukung. Ibu juga.
Singkat kata, saya pun diterima di IAIN Sunan Klaijaga Yogyakarta
(kini UIN). Masalah keuangan sedikit terdengar oleh telinga saya dari Mbak Iis
yang pernah mengunjungi saya ke Jogja bersama suaminya.
“Ibu jual kalungnya untuk ngirimin kamu bayar SPP dan kost, jadi
berhematlah ya,” katanya.
Saya tercekat. Saya benar-benar tak tahu kondisi sesungguhnya
keuangan abah. Saya pun diam.
Beruntung saya kenal secara kebetulan dengan seseorang yang
nyentrik: sandal kirinya berwarna merah dan sandal kanannya berwarna biru.
Bukan, itu bukan style Joger. Namanya Faizi. Anak kiai dari Guluk-Guluk,
Sumenep.
Kami begitu cepat akrab. Ia mahasiswa senior saya dan seorang
penyair. Darinya saya tahu bahwa dengan menulis di koran saya bisa dapat uang.
Pilihan saya jatuh pada belajar menulis cerpen. Alasannya sederhana:
fee-nya lebih besar dibanding puisi dan kebetulan pula zaman mondok saya
begitu hobi membaca koleksi novel jadul di perpustakaan bukan karena cintanya
saya pada khazanah sastra Indonesia, namun lantaran bosaannn terus-menerus
ngedepi kitab gundul yang nggak kunjung tumbuh harakatnya. Saat ngaji al-Hikam,
Fiqh Sunnah, hingga Alfiyah, saya sering menyembunyikan Salah
Asuhan atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk di baliknya.
Sesekali, saya pinjam mesin ketik Faizi, sesekali lainnya punya
teman lain. Suatu hari, tanggal 10 Maret 1996, cerpen saya yang berjudul Den
Bagus dimuat di Kedaulatan Rakyat (setelah saya menulis hampir 700 cerpen).
Yes! Saya dapat fee Rp. 35.000.
Sejak saat itulah, tiap bulan sangat biasa bagi saya menerima fee
sekitar Rp. 300.000 – 500.000. Saya membayangkan mungkin penulis muda yang saya
kenal kini yang gencarnya menulis seheroik saya dulu adalah Gus Sam Edy fa’ala
yaf’ulu fa’lan, yang tiap minggu tulisannya bisa nongol 3 sekaligus.
Mungkin.
Di masa itu, kiriman normal anak IAIN kisaran Rp. 100.000. Sungguh,
betapa kayanya saya dari honor tulisan!
Akhir semester tiga, saya pulang dan menghadap abah. Saya tunjukkan
potongan-potongan wesel dari kertas karton cokelat kepadanya, yang berisi
tulisan-tulisan nominal fee.
“Mulai sekarang nggak usah ngirimin aku lagi, Bah,” kata saya.
Tak ada sahutan apa pun darinya. Saya hanya melihat matanya perlahan
berkabut. Lalu hujan.
Gabung MAPALA
Lazimnya anak-anak kuliah awal-awal, euforia gabung organisasi jelas
keniscayaan. Saya memilih gabung MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam). Alasan saya simple.
Anak-anak MAPALA yang saya lihat itu keren; penampilannya slengekan, belel,
gaul bangetlah. Saya pun mengalami pendakian pertama ke Gunung Merbabu. Saya
sukses sampai puncak, meski di tengah jalan, dalam hati, saya menyesal sekali
melakukan pendakian ini sebab teringat kost yang pasti lebih sanggup bikin pulas.
Saya cerita ke Mbak Iis tentang organisasi saya ini. Rupanya, Mbak
Iis cerita ke abah. Seminggu kemudian, datang surat dari abah ke kost saya:
KAMU DIKIRIM KE JOGJA BUKAN UNTUK MENDAKI GUNUNG DAN MENELUSURI
GUA-GUA.
Hanya itu isinya. Kapital semua. Saya langsung resign!
Yang-yangan
Saya pernah yang-yangan lazimnya kalian (yang nggak berideologi
jomblo). Suatu masa, saya memiliki kekasih di Sumenep. Padahal saya sedang di
Jogja. LDR gitulah.
Saya suatu kali berbicara serius pada ibu tentang hal ini. Tentunya,
obrolan saya juga jatuh ke abah kemudian. Singkat kata, saat saya sedang di
Jogja, abah menelepon saya dan bertanya bagaimana rencana saya ke depan karena
sebentar lagi akan lulus kuliah.
Dengan yakin, saya jawab, “Rencana pulang ke Sumenep.”
“Mau ngapain?”
“Ehhm, sementara aku mau ternak ayam kayak Lik Halil.”
“Modalnya?”
“Motorku biar kujual aja dulu.” Jadi saya punya motor Cristal hasil fee
koran.
Abah diam sejenak. Lalu dia berkata dengan nada tinggi. “Dengar ya,
jika hanya bercita-cita untuk beternak ayam, kamu nggak perlu mondok dan kuliah
jauh-jauh. Percuma aku nyekolahin kamu jauh-jauh!”
Jedesss! Upper cut mendarat di
dagu saya. Telak. Kau tahu, alasan asli saya untuk segera lulus dan pulang
hanya agar tidak LDR. Ah, Anak Muda, tahunya yang-yangan, keburu nikah,
ujungnya sungsang!
Berubahlah jalan hidup saya. Dan saya memang tak pernah lagi menjadi
warga Sumenep berkat upper cut itu.
Menikah
Desember 2001, saya bersama abah dan Mas Ibnu (suami Mbak Iis)
melaju di atas bus dari Madura menuju Indramayu. Niatnya, silaturrahmi saja
sama keluarga seorang gadis desa yang dulunya langsing. Dulu. Catat, itu dulu.
Kalau sekarang mah montox.
Sebagai cerpenis kaliber nasional, saya telah menyediakan batik
terbaik untuk dikenakan saat silaturrahmi. Jumat 1 Desember 2001, setiba di
Curug Kandanghaur Indramayu, keluarga gadis desa yang dulunya langsing itu
menyambut kami. Berhubung itu lagi Ramadhan, tidak ada suguhan. Sejenak
kemudian, kami berangkat ke masjid yang dekat dari rumahnya untuk Jum’atan.
Sepulang Jum’atan, kagetnya saya saat abah berbisik, “Ini kalau
langsung kuminta akad gimana? Soalnya jauh sekali ternyata.”
Saya terbelah: antara senang dan cemas. Senang karena bila
dinikahkan sekarang, itu berarti si gadis desa yang dulunya langsing itu akan
bisa beneran memiliki saya (oke, ini PoV 3 ya), cemas sebab saya nggak
punya apa-apa, Broooo….
Abah berkata lagi sebelum saya berkata apa pun, “Bismillah ya, nanti
kurembukin dulu….”
Dan, qabiltu nikahaha…. Itu terjadi habis Jum’atan. Lalu
sorenya kami pamit pulang. Gadis desa yang dulunya langsing itu tetap ikut
emaknya, selama tiga hari.
Untung, saya memakai cincin emas yang sengaja saya beli dari fee
koran. Jadilah itu maharnya. 5 kilogram cincin emas (baca: gram).
Sialnya, cincin itu lenyap gara-gara pernah saya gadaikan untuk membayar ongkos
lay out buku di awal-awal saya merintis DIVA Press Group dan tak pernah mampu
saya tebus.
“Ini 500 ribu,” kata tukang taksir pegadaian.
“Saya minta 200 ribu saja,” jawab saya, dengan maksud biar tidak
keberatan untuk nebusnya kelak.
Di tengah jalan, saya mencari wartel lalu menelepon ibu. “Sudah
nikah.”
“Nikah-nikah gimana?” Terdengar suaranya kaget.
Berbisnis
Abah belakangan tahu kalau saya kuliah S2 sambil merintis bisnis publishing.
Tentu, abah takkan pernah tahu apa itu penerbit, kecuali bahwa itu adalah
sebuah usaha menerbitkan buku. Titik.
Ia pernah berkata begini pada saya suatu hari di awal-awal saya
berbisnis. “Cong, jangan pernah tinggal shalatnya sebab itu kunci
bahagia di dunia dan akhirat. Kalau kamu punya uang, bersedekahlah, jadilah
dermawan, sebab itu takkan pernah membuatmu miskin.”
Untuk bab shalat, saya mengerti. Untuk bab sedekah, saya nggak
begitu terang dengan maksudnya kala itu. Tapi saya tak bertanya apa pun kecuali
mengangguk dan menuliskannya kuat-kuat di dalam hati. Saya melaksanakannya.
Selalu berusaha melaksanakannya.
Efeknya adalah kian ke sini saya kian menjadi orang yang nggak tepar
banget sama duit. Amat banyak peluang bisnis dan tawaran-tawaran menggiurkan
yang datang ke meja saya. Tapi saya selalu berpikir, “Njuk arep ngopo?
Mau ngapain? Buat apa? Golek opo neh?”
Saya lebih suka memilih begini saja; bebas ngopi, ngudud, jalan-jalan,
nonton, belanja, sarungan sesekali, sesekali lainnya pakai celana pendek, topi,
dan baca buku, nulis.
Apakah ini yang dimaksud abah?
Saya nggak tahu benar.
Abah Terlihat
Lelah
Seiring jalannya waktu, bertambahnya usia, sepulang umrahnya yang
entah keberapa di tahun 2010, pas saya kehilangan ibu di Mekkah, abah tampak
begitu berubah. Tak banyak bicara, tak banyak bergerak. Ia hanya keluar rumah
untuk bertemu saudara-saudaranya di Lalangon, juga simbah yang masih sugeng
sampai kini, dan ke masjid tiap lima waktu.
Selebihnya, ia di rumah.
Suatu hari saya ditelepon Mbak Iis yang mengabarkan bahwa abah sakit
prostat dan harus dioperasi ke Surabaya. Saya janjian ketemu langsung di sebuah
rumah sakit di Surabaya. Saya pilihkan kamar terbaik dan semua biaya saya
selesaikan.
Abah melihat kertas billing yang sudah saya beresin, lalu
matanya berkaca-kaca dan memanggil saya untuk mendekat.
“Terima kasih ya, Nak, uangmu jadi habis untukku.” Nadanya sangat
derak, serak, nyaris tak tuntas terkatakan.
Saya mengangguk. Dan abah pasti sudah sangat tahu betapa saya memang
lebih suka mengangguki setiap kata-katanya.
Berkali-kali kemudian abah dirawat dan diopname di rumah sakit.
Hingga suatu hari, saya dikabari Mbak Iis lagi bahwa abah mulai “lupa”
pada siapa pun di sekitarnya.
Saya pun segera pulang dan menggenggam tangannya erat-erat. Duh
Gusti, saya ingat betul sosok abah yang perkasa, yang selalu tegas membantu
menyelesaikan banyak masalah orang, serta tutur katanya kala mansehati kami di
rumah. Kini ia golek, kulai, tanpa ingatan lagi.
Semingguan lalu, saya merasa aneh dengan diri saya sendiri. Saya
punya kebiasaan untuk selalu mengirimkan Fatihah buat ibu, bapak mertua, dan
para sedulur yang sudah almarhum setiap habis shalat Dhuhur, Maghrib, Isya, Dhuha,
dan jelang tidur. Selalu, setiap hari, sejak kepergian ibu. Biasanya, di akhir ila
ruhi…. saya menyelipkan nama abah dengan doa khusus, “Ya Allah, berilah
abah kesembuhan….”
Namun sejak semingguan ini, doa saya bergeser dari “Ya Allah,
berilah abah kesembuhan….” menjadi “Ya Allah, berilah husnul khatimah….”
Saya sungguh tak tahu mengapa pula semingguan ini saya begitu sering
teringat abah dan bahkan berkali-kali secara khusus menceritakan tentang abah
pada beberapa kawan main saya.
Saya sentuh wajah abah yang pasi di balik kerandanya pukul 14.30 di
tanggal 26 Februari 2015. Saya menangis, berderak, berusaha menikmati lembut
kulit wajahnya di kulit jemari saya.
Saya ingat betul kata-katanya beberapa tahun lalu sepeninggal ibu. “Cong,
jika kamu tak keberatan, tolong ya nanti kalau aku sudah nggak ada kayak ibumu,
sering-seringlah ya sedekah seikhlasmu dengan diniatkan pahalanya untuku.
Mungkin itu yang bisa menyelamatkanku dari azab Allah….” Kalimatnya terpenggal
oleh bandang tangisnya yang pecah di kalimat itu. Sangat banjir.
Sebanjir kini saya memaku di hadapan jasadnya. Aku akan
melakukannya untukmu, Abah, juga untuk ibu. Aku akan selalu merindukan kalian,
tunggu aku suatu kelak ya….
Sumenep, 27 Pebruari 2015
15 Komentar untuk "CERITAKU TENTANG ABAH Oleh Edi AH Iyubenu"
Subhanallah Pak Edi, semoga Pak Edi sekeluarga diberi keberkahan hidup di dunia dan di akhirat sama Allah. Aamiin!
اللهم اغفر لهما وارحمهما واعف عنهما
Saya anggap ini surat cinta untuk sosok ayah yang luar biasa.
Surat cinta yang manis.
Pecah 😭😭😭
Allahummagfirlahu
Semoga abah dan ibu mendapat tempat yang layak di sisi Allah...aamiin
Semoga beliau berdua berkumpul dan bahagia di surga-Nya.
Tulisannya bikin banjir pak: (
kisah sedih, cinta, semangat hidup jadi satu dalam tulisan ini. tak ada lain kata selain keren. turut belasungkawa dan aku sudah baca tahlil untuk beliau, kawan
Inspiratif dan menjadi contoh bagi saya dan anak muda pada umumnya. Sejak semalam saya tinggal di rumah pak Edi, pak Edi datang terus dalam mimpi yang masih di Sumenep sana. Jadinya, gak bisa tidur sama mas kiki. Hehe
اللهم اغفر لهم وارحمهم وعافهم واعف عنهم..
Kok pake "Hum" yahh? mungkin karna sy jadi keinget ibu dan adek saya.. :)
parah, nangis bacanya :'(
sekarang pabrik tahu tempenya masih jalankah atao sudah tidak ada mbak????
Ikut meneteskan air mata
MasyaAllah ...ikut terharu kisahnya.Semoga orangtua Pak Edi dikumpulkan bersama orang-orang yang sholeh di JannahNya.Aamiin