Bila setelah tulisan ini diposting, lalu muncul
tudingan “bahaya, sesat, kafir” terhadap saya, saya jamin itu hanya penyimpulan
orang-orang yang nggak membaca tulisan ini sampai selesai. Weekk!
Saya muslim yang normal saja sebagaimana
mayoritas umat Islam Indonesia. Saya sepenuhnya yakin bahwa al-Qur’an adalah kalamullah.
Namun, mari kita pahami bahwa teks-teks al-Qur’an sebagian besarnya bermuatan ajaran
yang mujmal (global), tidak teknis, dengan sifat ayat yang mutasyabihat
(dzanniyah, tidak qath’iyah, alias multi tafsir). Kecuali
ayat-ayat yang bertema ‘ubudiyah, semua ayat al-Qur’an berada di ranah
multi tafsir (dzanniyah) sehingga membutuhkan penafsiran-penafsiran
teknis agar bisa diterapkan secara konkret. Begitulah realitas teks al-Qur’an.
Lalu, perlu juga dimengerti bahwa sifat
penurunan ayat-ayat al-Qur’an (asbab al-nuzul) ada yang bersifat (1)
merespons kejadian yang terjadi di masa itu, (2) menetapkan hukum baru dengan
membantah hukum lokal/adat Arab masa itu, dan (3) menyetujui hukum lokal/adat
yang ada saat itu.
Bukti atas sifat-sifat “lokalitas” teks ayat
ini ialah ayat-ayat tentang khamr, berkuda, memanah, hingga perbudakan.
Ayat tentang “julurkan jilbab”, misal, asbab al-nuzul-nya terjadi kala
Saudah, salah satu istri Nabi, keluar rumah dan berpapasan dengan Umar bin
Khattab, lalu ditegur oleh Umar. Saudah lalu pulang dan bercerita pada Nabi.
Nabi membolehkan Saudah keluar rumah untuk suatu kepentingan. Lalu turunlah
ayat ini, yang memerintahkan “julurkan jilbab” agar “berbeda dengan yang lain”
(sebagai identitas pembeda dengan adat para budak masa itu) dan agar “tidak
diganggu” oleh kaum munafik dan musyrik saat itu.
Begitu juga dengan ayat pengharaman khamr. Pengharaman
khamr dilakukan oleh al-Quran secara bertahap, (1) Sesungguhnya pada khamr
itu ada manfaatnya, tetapi madharatnya jauh lebih besar, lalu (2) Janganlah
kalian mendekati shalat dalam keadaan mabuk, dan puncaknya (3) Sesungguhnya khamr
itu keji (rijsun) dan termasuk dari perbuatan setan, maka jauhilah….
Tahu kenapa ayat khamr diturunkan secara
bertahap begitu?
Sebab masa itu, orang Arab begitu demen khamr.
Al-Qur’an menempuh “proses pengharamannya” secara bertahap lho, agar Islam bisa
lebih mudah diterima. Ya, bertahap, sampai finalnya kemudian diharamkan mutlak,
yang ditegaskan dalam sebuah hadits, “Sesuatu yang banyaknya memabukkan,
maka sedikitnya juga haram.”
Sampel-sampel ini menunjukkan dengan jelas
bahwa al-Qur’an memang merupakan “produk budaya”. Nah, ini jangan keburu
disalah-pahami juga. Sekali lagi, saya menyatakan diri bahwa al-Qur’an adalah pure
kalamullah. Bukan buatan manusia manapun. Bahkan bukan karangan Nabi
Muhammad. Saya haqqul yaqin terhadap otentisitas al-Qur’an ini.
Namun kandungan al-Qur’an itu secara historis
merupakan “respons Langit terhadap realitas bumi” masyarakat Arab kala itu.
Inilah yang dimaksud al-Qur’an sebagai “produk budaya”; diciptakan oleh Allah
sebagai respons terhadap dinamika zaman masa itu dalam rentang lebih dari 22
tahun. Clear ya.
Sifat kandungan al-Qur’an yang mujmal
dan mutasyabih itu justru merupakan salah satu kemukjizatannya. Sebab ia
mujmal dan mutasyabih itu, maka ia menjadi abadi, berlaku
sepanjang masa dan tempat, selalu relevan dan actual untuk diterapkan.
Kecuali tentang hukum ‘ubudiyah yang
takkan berubah sampai hari akhir, sehingga kandungan ayat-ayatnya juga bersifat
mutlak (qath’iyah), sebutlah misal ajaran tentang shalat dan haji, segala
realitas kemanusiaan (mu’amalah) akan selalu bergerak dinamis, lokal,
sesuai dengan konteks zaman dan kultur masing-masing. Indonesia nggak bakal
sama kulturnya dengan Arab dan Prancis. Maka betapa Maha Kuasanya Allah dengan
menjadikan ayat-ayat mu’amalah bersifat mujmal dan mutasyabih
itu, sehingga ia selalu relevan dan aktual dengan dinamika hidup umat Islam itu
sendiri.
Andai seluruh ayat al-Qur’an bersifat muhkamah
atau qath’iy (mutlak sesuai teraan teksnya), termasuk tentang urusan
kemanusiaan, pasti telah lama al-Qur’an akan kehilangan aktualitas dan
relevansinya. Bayangkan misal bila hukum safar (bepergian) ditetapkan secara
qath’iy sejak era lama itu dengan memakai unta, maka pasti ayat itu
sudah nggak relevan sama sekali di mana-mana kini.
Inilah bukti betapa al-Qur’an memang akan
selalu abadi, relevan, dan aktual dengan dinamika seluruh zaman dan tempat
hidup umat Islam (shalih likulli zaman wa makan). Dan letak keabadiaan
al-Qur’an ini berkat ayat-ayat yang kontesktual, multi tafsir itu, di mana
al-Qur’an semata memberikan “pesan moral”-nya (ethico-legal).
Misal ya.
Adakah ayat tentang bentuk formal Negara Islam?
Nggak ada. Yang ada hanyalah “pesan moral” berupa musawah (persamaan), ‘adalah
(keadilan), ukhuwah (persaudaraan), ta’awun (tolong-menolong), dan
syura (musyawarah). Andai al-Qur’an membentuk secara legal-formal
pemerintah Islam harus berbentuk monarki, misal, maka niscaya ia akan
kehilangan aktualitasnya lagi.
Adakah ayat tentang jual-beli yang bentuknya
legal-formal? Nggak ada. Yang ada adalah “pesan moral” yang mengercut pada “’an
taradhin” (saling rela, ikhlas, lega antara penjual dan pembeli). Andai
dalam al-Qur’an praktik jual beli ditetapkan secara legal-formal harus pakai sistem
barter atau uang tunai seperti di masa dulu, pastilah al-Qur’an akan kehilangan
aktualitasnya di era serba digital begini. Betapa sulitnya untuk booking
Olimpyatt Hotel di Istanbul gara-gara harus bayar cash atau barter
dengan seratus karung telo to.
Apa yang disebut “pesan moral” dalam ayat-ayat
al-Qur’an adalah maqashid al-syar’ie-nya; landasan dan tujuan
syariatnya. Dalam studi Islam konteporer, istilah ini lazim disebut dengan
istilah “kata kunci” dalam sebuah ayat. Kata-kata kunci ayat inilah yang harus
selalu dipegang oleh umat Islam manapun dan kapan pun, lalu diterapkan dalam
kehidupan nyatanya melalui metodologi tafsir.
Tentu kita bisa bertaklid pada khazanah fiqh
salaf yang relevan dengan realitas hidup kita di masa kini. Bermazhab merupakan
salah satu caranya. Selebihnya, bisa ditempuh dengan cara bertanya kepada
ahlinya (kiai, cendekiawan), yang kredibel ilmu dan integritasnya. Semua ulama
itu (salaf atau kontemporer) ketika memberikan sebuah fatwa sesungguhnya mereka
sedang melakukan penafsiran terhadap “pesan moral” ayat-ayat itu. Sebagai
penafsir, normal belaka bila dipengaruhi oleh kapasitas keilmuannya,
kulturalnya, hingga konteks zamannya. Itulah sebabnya tak pernah ada tafsir
tunggal terhadap satu ayat. Ini wajar dan alamiah belaka. Tak usah dirisaukan.
Lantaran sifat ayat-ayat al-Qur’an baru akan
membumi dalam kehidupan umat Islam sendiri bila dipahami, ditafsirkan, secara praktis-teknis
dan dinamis dan terus-menerus itu, tentu saja kita harus meletakkan al-Qur’an
sebagai “teks terbuka”. Saya nggak perlu kutip Arkoun, Fazlur Rahman,
al-Jabiri, Abdullah Saeed, Yasser Auda, dll., di sini sekadar untuk menunjukkan
bahwa al-Qur’an sealu membutuhkan penafsiran yang dinamis. Biar tulisan ini
tidak jadi ndakik-ndakik.
Saya hanya akan mengajak Panjenengan
untuk berpikir simple dan logis saja. Ambil saja contoh satu ayat
tentang “poligami” ya. “Nikahilah wanita-wanita yang menyenangkanmu dua,
tiga, empat. Jika kalian khawatir tidak bisa adil, maka cukuplah satu.”
“Pesan moral” atau maqashid al-syar’ie ayat
ini ialah menikah itu harus ditegakkan dalam prinsip keadilan. Mau menikahi 2
atau 3 atau 4 wanita sekaligus, boleh saja. Tetapi jangan sampai melanggar asas
keadilan itu. Nah, asas keadilan itu bagaimana?
Wah ini panjang tafsirnya, relatif, pasti
berbeda-beda. Panjenengan yang ngebet pengin nambah istri, punya sejuta
argumen tentang keadilan. Kaum istri juga punya jubelan argumen untuk
menandaskan bahwa laki-laki takkan bisa adil pada dua atau tiga atau empat
wanita sekaligus, sehingga “pesan moral” ayat itu sejatinya ialah monogami.
Yang mana yang benar? Yang mana yang
dikehendaki oleh ayat itu? Yang mana lalu yang akan disebut Islam yang Haq,
yang sesuai Syariat, yang shirath al-mustaqim? Yang mana yang disebut
sebagai Kehendak Allah?
Semuanya akan menyebut tafsirnya sebagai “benar”,
haq, sesuai syariat. Takkan pernah ada titik temu antarberagam tafsir itu.
Selamanya akan begitu.
Mengapa? Sebab setiap penafsir akan selalu dipengaruhi
oleh kapasitas keilmuan, kultural, realitas hidup, hingga kepentingan dan
bahkan ideologi. Dan sifat tafsir begini tidak perlu ditutup-tutupi, apalagi
dipaksa untuk dibungkam. Sifat tafsir selamanya akan selalu beragam.
Semua perbedaan penafsiran itu akan selalu sah-sah
saja untuk ditimba, sepanjang (catat ini) tidak memantik masalah sosial
bagi kelompok-kelompok lain. Bila masalah sosial ini melecut akibat sebuah
tafsir, maka inilah masalah yang harus dikritisi. Bukan soal benar/salah
tafsirnya, tetapi dampak sosialnya yang membahayakan harmoni sosial.
Ada baiknya, semua penafsir dan pengikutnya
selalu mengingat nasihat salaf nan bijak ini: “Dar’u al-mafasid
muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” (menolak/menghindarkan (akibat yang
memicu) keburukan harus lebih diutamakan dibanding mengejar kebaikan semata).
Sebab al-Qur’an memang selalu membutuhkan
penggalian pemahaman dan penafsiran agar bisa diterapkan secara praktis dan
aplikatif dalam kehidupan umat Islam sendiri, maka berhentilah melakukan
mitologisasi terhadap al-Qur’an. Saya tegaskan di sini biar nggak disalahpahami
lagi: jangan memitoskan al-Qur’an. Sebab sikap mitologisasi al-Qur’an ini hanya
akan menjadikan ayat-ayat al-Qur’an beku, bahkan mati, tak lebih dari sekadar tulisan
Arab di atas kertas yang tidak produktif lagi. Sedihnya, khazanah tafsir
warisan lama ternyata tak selalu memadai untuk dijadikan panduan praktis dengan
konteks kehidupan keseharian kita.
Sikap mensakralkan al-Qur’an semacam itu, sehingga
menjadi mitos, jelas hanya akan merugikan peradaban Islam itu sendiri. Bahwa
al-Qur’an itu kalamullah, karenanya ia selalu shahih dan suci, jelas
saya setuju. Tetapi mari bedakan antara mensucikan
al-Qur’an sebagai kalamullah dengan memitoskannya sampai tak berani
mempelajari dan menafsirkannya.
Tak mungkin kita berani untuk menggali keluasan
samudera “pesan moral” al-Qur’an, menjadikan penafsirannya sebagai landasan
hidup Islami kita, bila al-Qur’an diharamkan untuk diteliti, dicermati,
dipahmi, ditafsirkan. Yang terpenting di sini ialah proses penafsirannya
mengindahkan kaidah keilmuan yang memadai dan buah tafsirnya menghadirkan praktik
hidup yang baik dan nyambung (kontekstual) dengan kehidupan kita.
Ukuran sebuah pemahaman dan penafsiran
al-Qur’an (juga hadits tentunya) itu baik buat hidup umat Islam ialah (1)
menghadirkan landasan hukum baru yang baik dan tidak memicu madharat, (2) tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok Islam, seperti iman, akhlak, dan
keshalihan sosial, (3) merespons dinamika zaman dan tempat kehidupan umat Islam
yang khas, dan (4) menghadirkan kehidupan yang lebih baik.
Para ulama salaf sebenarnya telah memberikan kaidah
arif yang sangat terkenal dalam hal ini: “Al-muhafadhah ‘ala al-qadimi
al-shalih wa al-akhdu bi al-jadidi al-ashlah” (memelihara pandangan, paham,
tafsir lama yang baik dan mengambil pandangan, paham, dan tafsir baru yang
lebih baik).
Bagi umat Islam luas, yang berada di kalangan
akar rumput, pakailah prinsip ini: nggak usah saklek sama tafsir/ajaran
lama yang sudah kehilangan relevansinya, ambillah tafsir/ajaran baru yang lebih
relevan dan aktual, sepanjang ia menghadirkan KEBAIKAN.
Apa contohnya?
Hijab nggak harus ndakik-ndakik seperti
punya muslimah Arab untuk disebut menutup aurat yang Islami, sebab kultur kita
berbeda dengan kultur Arab. Hijab muslimah Indonesia sudah tak kurang syar’ie-nya
sepanjang telah memenuhi “pesan moral” ayat tentang jilbab itu (menjaga dari
godaan syahwat pada orang lain). Tanpa perlu diformalkan dengan sebutan
hijab syar’ie, ia sudah cukup syar’ie-nya. Jika pengin berhijab jubah
ala Arab, ya juga boleh saja tentunya.
Bangsa Indonesia yang beragam ini tidak perlu dipaksakan
untuk dilegal-formalkan jadi Negara Islam. Selain khilafah itu berada di
ranah ikhtilaf, kondisi kultur bangsa kita ini tidak cocok dengan
karakter khilafah formal ala Umayah atau Ustmaniyah. Indonesia ini sudah
tak kurang Islaminya dengan menilik kandungan Pancasila yang selaras sepenuhnya
dengan “pesan moral” politik Islam. Jadi buat apa ngotot hendak menjadikan
Indonesia ini Negara Islam?
Parfum, selfie, traveling, high heels,
televise, radio, internet, dll., di Indonesia ini adalah realitas kultural kita,
yang tidak perlu diarabkan. Kita adalah kita dan Arab adalah Arab. Hukum
seputar parfum, selfie, traveling, high heels, televise, dan
sejenisnya selalu berada di ranah “niat, batin, hati” (mau sombong atau
menyenangkan pasangan, misal) yang jelas sangat pribadi, tidak bisa diukur
dengan patron general apa pun. Yang penting segala perilaku kultural berparfum,
selfie, traveling, high heels, dan sejenisnya itu tidak
menjadikan pelakunya maksiat (misal, berparfum untuk genitin orang), ya boleh
saja, halal saja.
Fiqh itu hanya bisa melihat dan menghukumi hal-hal yang
dzahir (luar, fisik), tidak masalah hati atau batin. Jadi tidak perlu ndakik-ndakik
memfatwa ini haram dan itu haram, bila sifat hukumnya adalah jiwa personal,
bukan wilayah fiqh yang dzahir tadi.
Masih banyak contoh lain yang bisa diturunkan di
sini, yang menunjukkan bahwa umat Islam selalu dan akan selalu membutuhkan dinamika
kontekstualisasi hukum Islam dari zaman ke zaman, tempat ke tempat, sebagai
berkah dari sifat terbuka al-Qur’an untuk
terus dipahami dan ditafsirkan.
Bila al-Qur’annya saja sahih dan logis untuk
digali terus-menerus, lalu argumen apa sebenarnya yang melandasi sebagian umat
Islam untuk heroik bagai “polisi Allah” menghujat pandangan yang berbeda dengan
pandangannya sebagai bahaya, sesat, dan kufur? Bukankah satu-satunya
ukuran sebuah pandangan atau tafsir itu baik di mata manusia atau buruk
hanyalah soal dampaknya secara sosial? Bukankah tidak pernah Gusti Allah mengirimkan
malaikat Jibril pada siapa pun lagi untuk mengabarkan mazhab ini benar dan
mazhab itu salah, pandangan si anu itu benar dan pandangan si fulan itu salah, to?
Lha kok njut wantun mawon rumangsa benar
sendiri di mata Allah?
Hasyeeemm to niku….
Kulo nuwun.
Jogja, 4 Pebruari 2015
Tag :
Kajian Agama
1 Komentar untuk "JANGAN MEMITOSKAN AL-QUR’AN, TAFSIR, DAN PANDANGANNYA "
Hehe mungkin boleh yuh pak edi ditambah satu lagi: jangan memitoskan pancasila