Saya terketuk untuk menuliskan tentang “selayang pandang Syiah”
hanya dengan satu tujuan: mendedahkan informasi berimbang tentang kelompok
Islam yang paling dihujat di negeri ini, dari sejarahnya, landasan teologisnya,
hingga ajarannya. Kesimpulan yang ingin saya sampaikan di awal ialah Syiah itu bagian dari Islam. Bahwa ada pengecualiaan
di dalamnya, ya tentu saja. Serupa bahwa tidak semua Sunni itu orang-orang
baik, bukan?
Baiklah, sengaja saya mengambil bagian “Nikah Mut’ah” sebagai
tulisan pertama, lantaran ajaran Syiah inilah yang paling mudah diingat oleh
orang, paling gampang divonis, lalu dijadikan landasan sepihak dengan gebyah-uyah
untuk menyesatkan dan bahkan mengkafirkan kaum Syiah. Na’udzubillah min
dzalik.
Perlu Anda ketahui terlebih dahulu supaya Anda tahu latar saya
sebagai penulis kajian ini, saya ini nahdliyyin (kultural), alumnus
pesantren Manbaul Ma’arif Denanyar Jombang dan pernah hapal Alfiyah Ibnu Malik,
pernah pula hapal sebagian besar juz al-Qur’an, kini studi doctoral Islamic
Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Insya Allah saya Sunni.
Saya tidak ideologis pada faksi apa pun, apalagi politik, hanya seorang
pedagang, tidak pula berhasrat meminta Anda mengikuti pandangan saya.
Saya semata bermaksud mengajak Anda untuk membiasakan diri melihat
dulu setiap persoalan apa pun, terutama masalah keagamaan yang sensitif, dengan
teliti, ilmiah, dan bertanggungjawab, agar apa pun pilihan pandangan kita
kemudian benar-benar memiliki landasan pengetahuan yang memadai. Bukan sekadar
ikut-ikutan buta, ngeshare tanpa membaca dulu, yang ujung-ujungnya hanya
akan menjadikan kita sosok muslim berkarakter “minyak babi cap onta”.
Bukankah menyedihkan bila kita membiarkan diri terus-menerus menjadi bagian
dari kaum pencaci, penyesat, dan pentakfir?
Lanjut.
Nikah Mut’ah merupakan salah satu ajaran (fiqh) yang
membedakan antara kaum Sunni dan Syiah.
Dalam Syiah, pernikahan memiliki dua bentuk: nikah mutlak dan nikah
mut’ah. Nikah mutlak ya seperti yang kita kenal di sini selama ini. Nikah mut’ah
ialah pernikahan yang disepakati pada masa tertentu, sehingga otomatis
pernikahan itu terhenti bila tidak diperpanjang. Catat: nikah mut’ah itu bisa
diperpanjang, bahkan sampai mati. Itu berarti tanpa pernah ada perceraian dan
perpisahan. Bukankah bila sudah saling mencintai, berpisah menjadi sangat
musykil untuk dilakukan? Diaaarrr….
Landasan yang dipakai oleh kaun Syiah ialah bahwa Nabi pernah mengizinkan
para sahabat melakukan nikah mut’ah dan banyak sahabat yang melakukannya. Memang ada situasi khusus kala itu yang sering
dijadikan argumen untuk membantah aktualitas ajaran Nabi itu, meskipun pula di
sisi lain ya tentu saja selalu ada analogi (qiyas) yang bisa diciptakan
sebagai hujjahnya.
Tentang landasan ini, baik Sunni maupun Syiah bersepakat bahwa benar
adanya Nabi pernah mengizinkan para sahabat melakukan nikah mut’ah. Anda bisa
lihat hal ini dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Juz V, 1967:92). Anda bisa pula melihatnya dalam buku Perempuan
(2005) karangan Quraish Shihab.
Kemudian kaum Sunni mengatakan bahwa ajaran itu telah dibatalkan (mansukh),
sehingga tidak boleh dilakukan lagi, dan inilah persimpangan jalan yang kini
membedakan pandangan Sunni dan Syiah. Kaum Syiah menolak pandangan Sunni
tentang pembatalan hukum nikah mut’ah ini.
Muhammad Husein Kasyif al-Ghitha’, seorang ulama besar Syiah
(1874-1933 H), dalam kitabnya Asy-Syi’ah wa Ushuliha (Juz 2, tt:168),
mengatakan bahwa, “Ijma’ ulama menyatakan bahwa nikah mut’ah pernah
disyariatkan dan telah dilakukan. Namun kemudian ulama berselisih dalam
pelaksanannya. Ada yang mengatakan syariat itu telah dibatalkan. Tetapi kami
menolak pandangan tersebut, sebab hal itu bertentangan dengan kaidah hukum
bahwa suatu ketetapan yang bersifat pasti (ajaran nikah mut’ah) tidak
dapat dibatalkan oleh ketetapan yang bersifat tidak pasti (pembatalan ajaran
nikah mut’ah).”
Kaum Sunni menolak nikah mut’ah atas dasar kehati-hatian bahwa
praktik tersebut rentan dengan zina dan lebih banyak madharatnya. Namun kaum
Syiah membantah nikah mut’ah diidentikkan dengan zina, lantaran dalam praktik
mut’ah juga diberlakukan syarat-syarat ketat seperti yang dipakai dalam nikah
mutlak, seperti keharusan adanya ‘iddah, ‘ijab, qabul, mahar, serta
wali. Satu-satunya perbedaan antara nikah mutlak dan mut’ah ialah masalah
pembatasan waktu yang sangat terbuka untuk diperpanjang.
Atas dasar hal ini, Murtadhar al-Ridhawi dalam kitab Ma’a Rijal
al-Fikri fi al-Qahirah (1974:219) mengatakan bahwa, “Dari segi praktik,
saya tidak melihat perbedaan besar antara nikah mut’ah dengan nikah
ahlussunnah. Nikah mut’ah memang berbatas waktu tetapi dapat diperpanjang
sampai seumur hidupnya. Nikah ahlussunah tidak berbatas waktu, tetapi boleh
diputuskan dengan talak. Pernikahan ahlussunah berkesinambungan tetapi dapat
diputuskan di tengah jalan dan pernikahan mut’ah terbatas waktunya tetapi dapat
dijadikan berkesinambungan.”
Hakdes!
Saya ngungun pas ketemu literatur ini, speechless. Apalagi,
ternyata, bagi kaum Syiah, talak baru dibolehkan dengan syarat harus ada dua
orang saksi, yang berlandas pada surat al-Thalaq (65): 2, “Persaksikanlah
dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” Mekanisme talak ini
berbeda dengan kaum Sunni yang tak mensyaratkan saksi, bahkan ada pula jenis
talak muta’allaq (bergantung). Misal, seorang suami berkata pada
istrinya, “Jika kamu pergi ke XXI, berarti kita cerai.” Bila istri
melakukannya, maka jatuhlah talaknya.
Diakui atau tidak, dalam konteks talak ini, pendapat kaum Syiah ini lebih
mampu meredam jumlah perceraian berkat adanya syarat dua orang saksi itu.
Terakhir, saya ingin mengutipkan pandangan Mahmud Syaltut, mantan
pemimpin tertinggi Lembaga-Lembaga Al-Azhar Mesir setelah diangkat jadi
pemimpin tertinggi itu, “Saya mengeluarkan fatwa tentang bolehnya beribadah
dengan mazhab-mazhab yang jelas prinsip-prinsipnya, dikenal sumber-sumbernya,
antara lain mazhab Syiah Imamiyah al-Itsna Asyariyah.”
Sekadar informasi, di Al-Azhar, diajarkan aneka mazhab Islam, dari
Sunni dan Syiah, yang didasarkan pada inisiatif komparatif atas dasar penelitian
dalil, argumen, dan sejarah.
Saya pribadi tidak setuju praktik nikah mut’ah di sini. Alasan saya ora
ndakik-ndakik: secara kultural nikah mut’ah tidak relevan dengan kita
sehingga rentan memantik clash, plus silakan Anda datang ke Puncak
Bogor, di mana praktik mut’ah dilakukan dengan cara reduktif-komersial. Ajaran
Syiah bahwa talak hanya sah bila disaksikan oleh dua orang saksi tidak terjamin
di dalam praktik mut’ah yang dilakukan itu.
Di atas itu semua, kini kita mengerti bahwa ajaran mut’ah Syiah
memiliki landasan yang tidak sederhana, serupa dengan tidak sederhananya pandangan
Sunni yang menolak praktik nikah mut’ah, bukan?
Lalu, bila Anda bertanya pada saya kini, bagaimana hukumnya bila
seseorang mengambil nikah mut’ah (mengikuti pandangan Syiah) dan
meninggalkan istri mut’ahnya tanpa saksi itu (mengikuti Sunni)?
Anda bisa menjawabnya sendiri status hukumnya dari kacamata Sunni
dan Syiah sekaligus kini.
Jogja, 21 Pebruari 2015
Tag :
Kajian Agama
6 Komentar untuk "SERI KAJIAN SYIAH 1: NIKAH MUT’AH Oleh Edi AH Iyubenu"
Intinya harus berhati2 dalam beragama ya pa, jangan mempermainkan agama. Saya sendiri tak setuju nikah mut'ah :)
syiah sesat
Wah bisa menjadi rujukan yang cukup lengkap..
Terima kasih postingan tentang nikah mutah ini. Salam kenal...
nice share gan, thanks penjelasannya, bagus
Souvenir Pernikahan Kediri
Pak, pamit share njjih.............