Tulisan ini dimuat di kolom RUANG PUTIH JAWA
POS (1 Pebruari 2015). Selamat membaca….
Jika Anda pernah menonton sebuah iklan, lalu
Anda tersugesti untuk mencobanya dengan tujuan supaya Anda “sama” dengan
bintang iklan itu, berarti Anda telah terkena (dalam bullet theory) “peluru
ajaib” media massa (koran, majalah, social media, televise, atau portal).
Dalam bahasa Noelle-Neumann (2002), Anda telah menjadi bagian dari proses
transmisi “gelombang kebisuan”; media massa sebagai lembaga teknologi
komunikasi, figur yang diprototipkan, dan Anda sebagai individu klien media
massa.
Tak heran, dengan kian gemuruhnya banjir
bandang media massa yang ditopang oleh “kemurahan hati” teknologi komunikasi (gadget),
sehingga semua orang kini bisa menggenggam informasi di tangannya, tanpa sekat
level ekonomis, pendidikan, dan budaya lagi, budaya dan lifestyle kita
begitu up to date. Bukan lagi hari per hari, bahkan menit per menit,
lintas tema, wilayah, dan bangsa.
Jangan dikira seorang makelar bus di terminal
Giwangan Jogja, misal, tidak tahu apa yang terjadi pada Charlie Hebdo di
Prancis. Pun jangan disangka, seorang guru honorer di luar pulau Jawa yang jauh
dari jangkauan transportasi massal tidak tahu sosok Nini yang jualan getuk di
sebuah jembatan penyeberangan di Jakarta.
Begitulah kini pengaruh massif media massa
dalam mentransformasikan informasi dan sekaligus membentuk opini dan mindset
di setiap kepala kita. Tentu, beda isi kepala akan menghadirkan opini yang
berbeda pula terhadap informasi yang sama. Tak syak lagi, berkat kejenialan
media massa dalam mengorganisasikan opini publik ini, opini-opini kita pun berlesatan
sedemikian cepatnya sesuai dengan media yang kita asup dan sekaligus latar
mindset kepala kita.
Lihatlah misal bagaimana masyarakat begitu
ngos-ngosan dijejali ragam informasi yang saling bertabrakan jelang Pilpres
kemarin. Akhirnya, media mana yang kita asup, sekaligus bekal isi kepala kita dalam
mencernanya, menjadi penentu jenis opini macam apa yang kemudian bersemayam di
kepala kita.
****
Sebagai sebuah lembaga teknologi informasi yang
massif, media massa selalu sanggup membentuk opini orang. Tanpa menafikan
posisi media cetak, selain sosmed, televisi merupakan avant-garde-nya.
Opini-opini yang dicitrakan itu bisa berupa apa saja, yang berbasis jurnalistik
investigatif atau sekadar provokatif, yang bertanggungjawab hingga abal-abal.
Kita tentu tidak pikun-pikun amat untuk
mengingat bagaimana media massa berhasil mengorbitkan Sinta dan Jojo jadi
selebritis dalam semalam berkat media massa bernama Youtube. Kita pun
ingat sosok Norman Kamaru, yang mendendangkan lagu India sambil joget-joget di
kantor polisi saat bertugas, yang sontak melesat bagai meteor dalam hitungan
hari.
Lalu kini, kita ternganga menyaksikan sosok
Nini, penjual getuk asal Indramayu, yang mulanya diorbitkan oleh Twitter,
beberapa hari ini berubah total berkat “kebaikan hati” media massa. Nini yang “orang kampung” kini telah di-make
over, diajari table manner seperti tata cara makan steak
dengan pisau di tangan kanan dan garpu di tangan kiri. Tentu, Nini juga telah disulap
untuk mengolah gesture ala public figure alias selebritis, plus
sentuhan ajaib super instant ala dunia entertainment untuk menyanyi
dan bergoyang di atas panggung. Mungkin saja, beberapa waktu ke depan, kita
akan diberondong “peluru ajaib” sebuah jogetan bernama Joget Getuk.
Nini bulan lalu jelas tidak lagi sahih untuk
disamakan dengan Nini hari ini; bulan lalu ia jualan getuk di jembatan
penyeberangan, kini wajahnya nongol di banyak media massa. Nini bulan lalu selalu berharap orang-orang
yang melintas di dekatnya berkenan mampir untuk membeli getuknya, Nini kini
selalu diharap oleh banyak orang untuk berkenan selfie dan memberikan tanda-tangan.
Ya iyalah, tak ada yang salah dengan kedigdayaan
media massa membidik dan mengorbitkan “orang-orang mujur dalam semalam” itu,
sebab khittah media massa yang berjantung industri adalah rating.
Apa pun persoalan di balik berhala rating, bukanlah urusannya. Atau,
setidaknya, dipikir nanti saja. Ingatkah Anda bagaimana acara joget-joget yang
mulanya diniatkan untuk mendampingi Anda bersahur di bulan Ramadhan, ternyata dilanjutkan
tanpa batas sebab rating-nya moncer? Soal nama yang dulunya berbau
Ramadhan, Yuk Kita Sahur, ah, gampanglah itu, tinggal ganti saja jadi Yuk,
Keep Smile….
****
Tak ada seorang pun kini yang tidak membutuhkan
media massa. Tidak ada. Sebagai bukti, dalam kajian doktoral Global Issues,
disebutkan bahwa siapa pun yang memiliki “informasi” di era global ini, maka
dialah yang memiliki bargaining position. Siapa pun yang kuper, maka ia
hanya akan menjadi anak bawang. Tentu, dalam konteks ini, media massa adalah
ahlinya, pawangnya.
Sebagai pengasup informasi, tak ada hal paling
berharga yang bisa kita lakukan lagi kecuali bersikap kritis pada setiap
informasi yang mencuat. Sekali lagi, penting untuk kita mengerti bahwa kini
terlalu banyak informasi yang tidak jelas juntrungnya, kapasitasnya,
investigasinya, sehingga bisa memantik disaster opinion bagi siapa pun
yang tidak kritis. Bahwa model jurnalistik demikian merupakan “pengkhianatan
intelektual” terhadap tugas kecendekiawanan jurnalistik, sebagaimana dituturkan
Ahmad Sobary, itu benar. Tapi, bisa apa kita kini?
Pun tidak ada yang salah dengan sosok-sosok
semacam Norman hingga Nini. Mereka melesat dalam semalam, menghuni gemeriap
lampu entertainment, dan merasakan deretan panjang angka di rekening.
Itu sah-sah saja.
Namun begitu, sangatlah penting dipahami oleh siapa
pun yang terjun ke jagad media massa, bahwa watak azali media massa
adalah isu. Namanya isu, ia akan berkelebat begitu cepat, melesat, untuk kemudian
dilindas begitu saja oleh isu-isu baru yang lebih seksi. Lihatlah bagaimana
kini kita tak lagi bisa menyaksikan wajah Sinta Jojo, juga Norman, serindu apa
pun kita, lantaran isu mereka telah tenggelam dibekap isu perempuan penjual
getuk bernama Nini.
Tentu, kita berharap Nini akan eksis lama di
jagad media massa. Menjadi entertainer dan bahkan seniman sejati. Tetapi, Nini sendiri
harus buru-buru mengerti bahwa “sesuatu yang mudah cenderung berakhir dengan
mudah pula”. Nini yang melesat jadi kejora dalam semalam sangat besar
kemungkinannya untuk tenggelam ke laut dalam di keesokan harinya. Dan, media
massa selalu sanggup untuk “bermurah hati” melakukan itu. Kecuali, Nini segera sadar
untuk membekali diri dengan skill dan good attitude yang notabene
merupakan modal paling pokok para entertainer.
Di luar itu, percayalah, saya dan Anda masih
akan menyaksikan orang-orang baru macam Nini beserta isu-isu getuk atau lainnya,
yang mendapat berkah “peluru ajaib” media massa.
Jogja, 21 Januari 2015
Tag :
Artikel,
Utak Atik Manusia
1 Komentar untuk "NINI “GETUK” DAN “PELURU AJAIB” MEDIA MASSA Oleh Edi AH Iyubenu"
Alhamdulillah, dari televisi anak istri bisa tahu gosip selebriti. :(