“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
tapi ternyata biaya nikah tak sesederhana yang kukira” (VE)
Sebagian besar panjenengan pasti tahu hadits yang selalu
dibacakan jelang akad nikah. Rasulullah s.a.w. bersabda, “Menikah adalah
sunnahku. Barang siapa yang TIDAK MENGIKUTI sunnahku, maka ia bukanlah bagian
dari golonganku.” Lalu sebagian besar panjenengan pasti berpikir
atau mengamini validitas hadits tersebut dengan penerjemahan seperti itu.
Sengaja saya mencetak kapital pada kata “raghiba ‘an” yang
umum diterjemahkan sebagai “tidak mengikuti”.
Dalam sowan saya ke kawan kiai cendekiawan yang mengasuh
sebuah pesantren terkemuka di Madura, An-Nuqayah, tanggal 24 Januari 2015 lalu,
ditemani secangkir kopi super hitam, setelah ngobrol ke sana-sini tentang banyak hal yang membuat kami berpikir
sesekali dan terkekeh sesekali lainnya, muncul obrolan serius tentang dua hal: pertama,
“kesalahkaprahan” penerjemahan kata “raghiba ‘an” dalam hadits tersebut,
dan kedua, hancurnya sanad ilmu di tangan sosmed yang menyebabkan
begitu tebar siurnya jubelan fatwa dan kutipan agama yang seringkali membawa
dampak blunder, terutama terhadap orang-orang yang belum begitu karib
dengan Islamic studies.
Kali ini saya ingin mencatatkan diskusi yang pertama itu. Hadits
shahih tersebut bila diterjemahkan dengan redaksi sejenis itu, tegasnya bila
kata “raghiba ‘an” diartikan sejenis “tidak mengikuti” atau “membenci”,
maka muncullah kesan bahwa menikah merupakan kewajiban yang harus disegerakan.
Ya, dicepatkan. Umumnya, paham begini ditopang lagi dengan hadist shahih
lainnya tentang “perintah menikah” ini; Rasulullah bersabda, “Wahai Para
Pemuda, barang siapa di antaramu telah mampu ba’ah, menikahlan, sesungguhnya
menikah mampu menjaga pandangan dan kemaluanmu. Barang siapa yang belum mampu,
berpuasalah, sesungguhnya puasa itu mampu mengendalikanmu.”
Kata “ba’ah” dalam hadits tersebut umunya diterjemahkan “menikah,
berkeluarga, atau bersyahwat”.
Dengan dua gaya penerjemahan hadits ini saja, impresiflah pesan
besar bagi muslim/muslimah untuk bersegera menikah. Seolah, mereka yang menunda
menikah bukanlah bagian dari golongan Rasulullah, dengan cap bahwa ia telah “raghiba
‘an” (tidak mengikuti, membenci) sunnah Rasul.
Seorang kiai di Madura, K. Abdullah Bangkalan, dalam sebuah khutbah
nikah, setelah membacakan hadits pertama tadi, menjelaskan bahwa terdapat
kesalahkaprahan di kalangan umat Islam tentang penerjemahan “raghiba ‘an”
itu. Bila diterjemahkan “tidak mengikuti”, maka jelas istbat al-hukmi-nya
adalah “cepetan dong nikahnya biar jadi bagian dari penegak sunnah Rasul,
biar jadi bagian dari golongan Rasul, kalau nunda-nunda ente bisa jadi kaum
ingkar sunnah lho….”
Menurut beliau, di sinilah contoh betapa pentingnya orang memahami linguistik
dengan baik (Nahwu, Sharf, Mantiq, dan Balaghah), agar penerjemahannya tepat
konteks. Apa yang dimaksud tepat konteks, kurang lebihnya, sekaligus menjawab
pesan moral hadist kedua tadi tentang “ada orang yang telah siap menikah,
maka menikahlah” dan “ada orang yang belum siap menikah, maka berpuasalah”. Dua kutub ini tidak laik
dicampur-adukkan, agar tidak memantik masalah baru pasca menikah.
Mari cerna.
Kata “raghiba ‘an” bila diterjemahkan “membenci atau tidak
mengikuti”, yang itu hasil penerjemahan mufradhat (kosakata) belaka,
akan sangat berbeda efek ajarannya dengan pengartian “tidak menentang”.
Kata “raghiba ‘an” sebagai pembanding dengan kata “raghiba fi”
(sama-sama diikuti huruf jar dalam kaidah Ilmu Nahwu) memiliki makna dan
efek ajaran yang jauh berbeda; “raghiba ‘an” berarti “tidak menentang”,
“raghiba fi” berarti “mencintai”. Catat, sekadar beda huruf
jar saja, sontak maknanya sangat jauh. Begitulah bahasa Arab; kesalahan
harakat pun seringkali mencetuskan kesalahan pemaknaan yang serius (insya
Allah lain waktu akan saya tuliskan tentang urgensi Ilmu Nahwu dalam
membaca dalil).
Bila “raghiba ‘an” diartikan “tidak menentang”, maka
ajaran hadits itu sama sekali tidak menyeru “cepat-cepat nikah dong”. Letak
ajarannya justru terletak pada “istatha’a (telah mampu) dan lam
yastathi’ (belum mampu).Tentu, sebagai umat Rasul, tidaklah mungkin
kita menentang sunnah Rasul, bukan?
Perubahan efek ajaran berkat perubahan pemaknaan “raghiba ‘an”
ini akan terlihat kian kuat bila juga ditopang oleh hadist kedua tadi. Mari perhatikan
kata-kata kunci berikut:
Pertama, syabab. Kata ini tepat diartikan
“pemuda”, bukan “anak muda” (fataa). Pemuda, secara
epistemologis, kita tahu adalah “harapan bangsa” (halahh…); seriusnya, sosok
yang telah memiliki “kematangan berpikir dan berperilaku”. Anak muda adalah
“sekadar” sosok yang baligh; tak ayal, kini, anak muda identik dengan
sebutan suka galau, sebutlah ababil.
Panjenengan pasti tahu dong Sumpah
Pemuda. Ya, Sumpah Pemuda yang dimotori para pemuda macam Bung Tomo, misal.
Tidaklah mungkin pemikiran nasionalis yang hebat begitu dihasilkan oleh sekadar
anak muda; tidaklah mungkin Bung Tomo dan kawan-kawan penggerak Sumpah Pemuda
adalah anak-anak muda yang sekadar baligh, alay dan ababil.
Bila yang memekikkan Sumpah Pemuda adalah anak-anak muda, boleh jadi
isi Sumpah Pemuda yang kita warisi sekarang akan menjadi sejenis ini: “Loe
dan gue ciyusan sepakat nih, bangsanya satu, bangsa yang gaul, asyik, dan kagak
pake sakitnya tuh di sini.”
Begitulah perbedaan mendasar antara pemuda (syabab) dan anak
muda (fataa). Maka memaknai kata “ya ma’syara al-syabab” dalam
hadist itu sebagai baligh doang, jelas memicu masalah epistemologis yang
sangat serius.
Kedua, “man istatha’a”. Fi’il
(kata kerja) yang dipakai hadits tersebut adalah fi’il madhi (lampau).
Artinya, khitab (perintah) menikah dalam hadits itu hanya ditujukan
kepada mereka yang “telah mampu” atau “telah siap” menikah,
berkeluarga. Yang “TELAH” otomatis menunjuk pada mereka yang telah mengerti dan
siap menempuh plus-minus kehidupan rumah tangga yang jelas bukan melulu tentang
yang-yangan atau kelonan, tetapi sekaligus siap ekonomis, psikologis,
sosial, hingga agama. Bila “TELAH” ini diberhentikan hanya pada makna “syahwat”,
ya sudah nikahkanlah semua anak-anak muda yang hari ini bisa sudah baligh
di umur 12 atau 13 tahun, untuk kemudian saksikanlah keberantakan rumah tangga
sebab pelakunya masih lemah secara ekonomis, psikologis, sosial, dan agama.
Lalu, bagian akhir hadits tersebut yang menggunakan kata “lam
yastathi” (belum mampu) yang secara Ilmu Sharf adalah kata kerja
untuk masa yang akan datang (fi’il mudhari’), bermakna perintah bahwa
siapa pun yang “belum siap” menikah, hendaklah ia mempersiapkan diri
untuk “telah mampu” menikah tadi.
Tegasnya, bila panjenengan belum siap menikah (siap secara
biologis, ekonomis, psikologis, sosial, hingga agama), jangan paksakan diri
untuk menikah sebab takut disebut tidak menjalankan sunnah Rasul, tetapi panjenengan
hanya perlu berpuasa untuk menahan syahwat (makna berpuasa di sini bisa
diqiyashkan ke banyak ekspresi), sambil mempersiapkan diri dengan gigih untuk
bisa menjadi “telah siap” (istatha’a).
Tambahan lagi, dalam sirah Nabi, kita mengetahui bahwa
Rasulullah menikah di usia 25 tahun dengan Khadijah. Cermatilah bahwa di usia
25 tahun itu, Rasulullah telah memiliki “bekal siap” yang baik secara ekonomis,
sebab beliau adalah seorang saudagar sejak lama. Perniagaan masa itu bukanlah
dengan cara buka toko kelontong lalu ditunggui sejak pagi. Tetapi berkarafan ke
negeri-negeri jauh, sampai ke Syam. Panjenengan mungkin juga tahu tentang
ramalan seorang rahib yang disampaikan pada paman Rasulullah supaya menjaga
beliau sebaik-baiknya sebab beliau akan menjadi seorang nabi. Itulah bukti
historis bahwa Rasulullah melangsungkan pernikahan dengan Khadijah dalam
keadaan “telah siap” (istatha’a) dan dalam keadaan syabab
(pemuda).
Jama’ah Sosmed rahimakumullah…. J
Paparan di atas benderang sekali memperlihatkan bahwa sama sekali
tidak ada tuntunannya bagi muslim/muslimah untuk cepat-cepat menikah dalam
kondisi belum siap menikah dari keseluruhan aspek penopang kesakinahan sebuah
rumah tangga. Sepanjang pengetahuan saya, sepanjang pencermatan saya pada
orang-orang di luar sana, kesakinahan rumah tangga sangat sulit diraih tanpa
topangan kematangan biologis, ekonomis, psikologis, sosial, dan tentu agama.
Tentu, ukuran kematangan ini relative antarorang. Yang terpenting, fairlah
pada diri sendiri apakah kini sudah memiliki bekal siap itu atau belum, lalu
ambillah posisimu.
Sulit membayangkan ada sebuah rumah tangga di hari gini mengaku
sakinah bila salah satu pasangannya (maaf) lemah syahwat (biologis); tak mampu
belanjain dapur dan nyekolahin anak-anaknya (ekonomis); sebentar-bentar kemas
tas dan minggat jika sedang berselisih (psikologis); tidak bisa srawung
dengan lingkungan hidupnya (sosial); dan
otoriter dengan dalil keimanan suami (agama). Sulit sekali.
Bila panjenengan hendak menggunakan hadits bahwa Rasulullah
itu berlomba-lomba dengan para nabi sebelumnya dalam hal banyak-banyakan umat,
mari renungkanlah hadist lain Rasulullah yang sangat popular, “Orang yang
paling baik di antara kalian adalah orang yang paling bermanfaat kepada orang
lain.”
Saya kok yakin banget bahwa orang yang mampu memberikan manfaat bagi
orang-orang lain di sekitarnya hanyalah orang yang memiliki kekuatan plus pada
dirinya; bisa kekuatan agama atau pun kekuatan ekonomis atau pun kekuatan ilmu.
Di luar mereka yang memiliki kekuatan-kekuatan itu, niscaya hanyalah anak-anak
bawang yang menjadi anak bawang sebab seabrek kelemahannya, yang pasti disebabkan
pertama kalinya oleh kelemahan keluarganya.
Menikah itu sunnah, kuthul itu tidak. Ukuran siap tentu personal,
finally jadi monggo dijawab sendiri-sendiri pertanyaan, “APA
BENAR SAYA SUDAH SIAP MENIKAH ATAU SEKADAR BERAHI YA?”
Kulo nuwun.
Jogja, 29 Januari 2015
Edi AH
Iyubenu (@edi_akhiles, FP: Edi Akhiles), pedagang yang pernah
nyantri dan calon doktor Islamic Studies yang resah sama “Minyak Babi
Cap Onta”.
Tag :
Artikel,
Kajian Agama
7 Komentar untuk "MENIKAH ITU SUNNAH RASUL, TAPI TIDAK USAH BURU-BURU JUGA… Oleh Edi AH Iyubenu"
Tulisan ini wajib dibaca tuh, sama cowok-cowok yang sukanya bilang "Yank, terima aku apa adanya yaaa..." hahahaaa... aku mah ga mau cowok yang model begitu! pasti dia pemalas. pasti dia mau ngajakin istrinya susah. hehee Piiiiis :D ^^v
super sekali,, ijin share mas
Bagus mas tulisaanya.
Suwon
maaf, permisi numpang link.
http://www.detexsi.com/2015/02/sunnah-rasulullah-dalam-kehidupan.html
Assalamu'alaikum pak.
nikahnya emang ga buru-buru pak, trus kalo ga nikah-nikah mo ngapain pak, apakah BOLEH PACARAN dulu? ato ada SOLUSI lain pak?
thanks to the info from my father added insight thank you so much, may be useful for us all
please aprove mister.
by sewa mobil semarang
Semua memang perlu persiapan yang matang...
Wisata