Konon, tebalnya
jenggot berbanding lurus dengan tebalnya iman. Iya, iman. Nggak main-main lho
ini. Iman, Bro!
Saya kok
tiba-tiba ingat dengan begitu jejalnya ragam perkononan lainnya yang seliweran di sekitar keseharian kita, yang
muaranya ialah tentang ini baik dan itu kurang baik. Konon-konon yang berwajah
fisikal, awakan, utowo sandangan dan lipstik.
Nah, ngomongin
lipstik, semua wanita suka dong pakai lipstik.
Bahkan, sebagian lelaki pun demen berlipstik. Bila ada wanita yang alergi
bibirnya diolesin lipstik, lalu jadi bengkak-bengkak gitu, niscaya ia berbibir
bukan wanita. Bibir yang salah menempel di tubuh yang benar. Tubuhnya wanita,
tetapi bibirnya lelaki; catat, jenis lelaki yang tidak demen lipstik tentunya.
Sesuka apa pun
wanita pada lipstik, dari yang warna glossy
sampai hitam gothic atau merah
menyala bagai anggur cap orang tua ketumpahan cat duco red metalic, tetap saja wanita mengerti bahwa itu hanyalah lipstik.
Yang lebih penting adalah bibirnya, sementara lipstik sekadar pemanisnya,
simbolisnya bahwa ia bertengger di sebuah bibir.
Catat: mencium
lipstik itu ndak ada enaknya.
Jelas ndak
lucu to bila lipstik dipakai di kuku.
Meskipun sama perannya sebagai pelapis organ di bawahnya, sebagaimana kala ia
dipasang di bibir yang melapisi organ bibir itu, tetap saja lipstik ndak elok
untuk disebut kutek sebab diolesin ke kuku itu. Jadi, pelajarannya sampai di
sini ialah pakailah lipstik hanya di bibir saja, sesuai tempatnya, agar benar-benar
berperan patut sebagai smbol pemanis bibir.
Catat: bibir
berlipstik itu enak dicium. Ingat, bibirnya, bukan lipstiknya doang.
Jenggot pun,
jika dipikir-pikir, demikian khittah-nya.
Maqam-nya. Sebab apa yang disebut
jenggot, bahkan setelah saya buka-buka KBBI, adalah bulu yang tumbuh di dagu,
maka bulu-bulu yang beranak-pinak di selain dagu tidak disebut jenggot. Kalau
di pipi disebut brewok. Kalau di kepala disebut rambut. Kalau di ketek disebut
bulu ketiak. Kalau di kelamin disebut….jember
utara.
Bila kita
percaya pameo “tebalnya jenggot
berbanding lurus dengan tebalnya iman” itu, lha kok pendekatan analitik apa
pun terasa susah menjelaskannya. Bahkan, teori postmo-nya Foucault pun kandas. Lah wong Faucault aja kepalanya plontos,
apalagi jenggot.
Argumentasinya
begini.
Namanya iman
itu di hati (“Al-imanu ha huna,” kata
Rasul sambil menunjuk dada.) Harusnya, kalau niat nyari-nyari parameter, ya
bukan jenggotlah simbol ketebalan iman itu, sebab iman di dada jauh jaraknya
dengan habitat tumbuhnya jenggot, dagu itu. Harusnya ya bulu dada, kalau lelaki.
Atau, payudara, kalau wanita.
“Tebalnya bulu
dada atau besarnya payudara berbanding lurus dengan tebalnya iman.”
Nah, ini lebih
wangun, lebih logis, sebab iman yang bersemayam
di dada memang tetanggaan sama bulu dada atau payudara.
Kenyataannya, ndak
begitu to. Berapa banyak coba kaum
lelaki yang dadanya lebat itu, kelakuannya demit. Lha yang dadanya lebat saja
kok demit, gimana dengan yang ndak punya bulu dada?
Kenyataanya
pula, berapa banyak wanita yang berpayudara besar, namun kelakuannya
kuntilanak. Lha yang payudaranya besar saja kuntilanak, gimana dengan yang
payudaranya nggak niat banget untuk menyusui itu?
Sampai di
sini, kok “teori kedekatan” ini sama sekali ndak menemukan relevansinya ya.
Apalagi yang jauh macam jenggot di dagu itu. Otomatis, tebalnya jenggot tertolak
secara ilmiah untuk diandaikan sebagai tanda tebalnya iman. Jadi, ndak usah
repot-repot maksain dagu berjenggot sedemikian tak terhingganya, sebab ia tak
ada kaitan ilmiah sama sekali dengan kualitas iman tadi.
Sesuatu yang
ndak ilmiah berarti bertentangan dengan logika. Seyyed Ahmad Khan sampai ngendika bahwa segala yang tidak logis
berarti tidak sesuai dengan sunnatullah
alias hukum alam. Ya, makanya, ndak perlu memaksakan hal-hal yang ndak logis
ilmiah begitu untuk dianggap absolut.
Bila masih
dipaksaian, sungguh mujurlah orang-orang berjenggot tebal macam Andrea Pirlo
atau Karl Marx dan Friedrich Engels itu. Lalu kasihanlah nasib orang yang
gennya fakir jenggot macam En Hidayat itu.
Jenggot punya “takdir”
lho untuk tumbuh atau tidak. Jika ia tumbuh lebat karena dipelihara, ya itu
sekadar sebab ia diberi kesempatan tumbuh oleh owner-nya. Takdirnya begitu. Sebaliknya, jenggot yang ndak tumbuh
sebab dipangkasin atau emang dasarnya ndak ada gen jenggot tebal, ya itu
sekadar sebab ia tidak menemukan ladangnya di sebuah dagu itu. Takdirnya
begitu.
Ya, jenggot
itu samaanlah posisinya sama lipstik tadi. Sama-sama tidak sanggup mengusung
parameter apa pun. Buktinya, banyak orang berjenggot ndak kopen sama titi*nya
sampai anak-anaknya keleleran bagai deretan abjad. Banyak pula wanita
berlipstik ndak kopen sama pahanya
sampai kayak ndak ada yang punya tercecer di keramaian.
Dan, tahukan
Anda, “Kopen itu bagian dari iman”.
Jogja, 6 Januari 2015
5 Komentar untuk "PELAJARAN TENTANG JENGGOT"
Hahah, baru aja tadi pagi nanyain ke ibu kenapa kebanyakan para pemuka agama selalu berjenggot tebal.ingat Kebayakan, saya ga bilang semua yah. hehe
Setuju iman itu dari hati jauh dari posisi dimana si akar gigi itu tumbuh
Haaaaa....
Kalo iman dan jenggot berhubungan. Berarti saya gak punya iman. Lha wong jenggot saya gak tumbuh sama sekali.
Konon, orang yang jember utaranya tebal, dia akan kuat sekali "main"nya.
Emang yang bilang "tebalnya jenggot berbanding lurus dengan tebalnya iman" yang bilang begitu siapa om, wah mungkin saya kurang ngopi sama begadang..