Pendek kata, post power syndrome adalah “perasaan merasa kuat
di saat sudah tak kuat lagi.” Duh, saya sejujurnya ingin menulis begini (tapi
ndak sanggup mengetikkannya); “Suatu kondisi kejiwaan seseorang merasa bahagia
banget membumbui burung terbang.” Ah, sudahlah, apa gunanya definisi, yang
penting kita sudah sama-sama mengerti to.
Contoh kondisi post power syndrome, ada seorang lelaki yang
merasa perkasa bagai Bima yang berkekuatan 4.000. gajah, padahal sudah “ndak
bisa moco” lagi. Merasa ginseng padahal aslinya telo. Merasa
purwaceng padahal kenyatannya klepon. Merasa tinggi padahal ndak lolos
tes Akademi Kebidanan. Merasa masih memiliki hak dibalas chat-nya oleh seseorang
yang udah jadi mantan. Dll.
Salah satu waktu yang paling sensitif memicu kambuhnya post power
syndrome ialah Saturday night: tepatnya mulai pukul 18.30 s/d 22.00.
Itulah detik-detik paling genting se Indonesia Raya; malam yang senatiasa
disambut dengan hati berbunga oleh para pemuda dan pemudi, tetapi bagi sebagian
(hiiks, besar sih….) panjenengan menjadi detik-detik yang perlu
dihapus dari kalender. “Fatwa-fatwa” pun berlesatan biasanya, sejenis:
“Semoga hujan deras….” *sebuah doa.
“Malam ini sama aja dengan malam lainnya….” *sambil gigit bantal.
“Ah, saya mah, ah, sudahlah….” *saya ndak paham menjelaskan
ini.
Orang yang kena Saturday night post power syndrome
lazimnya akan berkata, atau bergumam, begini: “Gue juga udah tahu keleeeeessss”
atau “Ah, biasa aja, saya udah hapal malmingan, ya dulu sih….”
Bukankah itu sama percis dengan sosok Moammar Gadafi yang
merasa punya sederet pasukan elit cantik yang selalu siap mati untuknya,
padahal ia ndak bisa ke mana-mana lagi selain digorong-gorong to?
Tentu saja, orang boleh saja merasa telah tahu atau berpengalaman dibanding
orang lain. Ini baik-baik saja sih. Misal, “Saya sudah pernah ke Istanbul dulu,
ah gampang kok traveling ke sana.” Ini keren!
Tapi, “perasaan lebih tahu dan lebih pengalaman” begitu kok ya
rasanya ndak keren lagi bila dikaitkan dengan urusan Malmingan. Misal, “Ah,
saya udah pernah tahu rasanya yang-yangan….” Hiikks, kerasa
gimana gitu? Sedih, kan…. Ya begitu bedanya pengalaman traveling ke
Istanbul dengan pengalaman Saturday night post power syndrome
itu.
Ya, sudahlah, bila saat ini, di malam Minggu ini, kalian kok lagi
kejangkit Saturday night post power syndrome begitu, ya ndak
apa-apalah. Tabah ya, Saudara-saudarany se(tak)nasib. Toh, nantinya, suatu kelak, situasi
jiwa begitu akan pupus juga sih bila sudah dapat yang beneran lagi. Yuk,
amininnn ya, kita doain bersama…. Allahumma amin, istajib raja’ana ya
Rabb…
Tulisan ini ndak selesai di sini, sebab setelah saya pikir-pikir kok
ya ternyata ada lho satu lagi kondisi
jiwa yang lebih mengharukan dibanding Saturday night post power
syndrome, yakni kahanan jiwa ngidap Saturday night pra-post
power syndrome. Tamnahin kata “pra”. Apa lagi ini?
Yaitu saat kamu merasa pernah memiliki yang padahal ndak
pernah sama sekali. “Pra-yang-yangan” yang diasumsikan sudah pernah yang-yangan.
Bukan, ini bukan saya maksudkan sebagai “masa pedekate”. Bukan. Tapi, ini lebih
ekstrem kuliner daripada itu.
Merasa berhak cemburu pada seseorang yang disukainya, tetapi yang
disukai ndak pernah suka, sehingga ndak pernah jadi yangnya, itu disebut
pra-post power syndrome. Kalau merasa cemburu pada seseorang yang
udah jadi mantannya akibat ngepoin sosmednya, itu cukup disebut post power
syndrome, bukan pra-post power syndrome.
Merasa begitu asyiknya Malmingan dengan yang, padahal ndak
pernah ke mana-mana selama ini, selain sama remot, itu juga bagian dari
terindikasi kena Saturday night pra-post power syndrome.
Lalu, ya lalu ini hanya sebuah contoh lho ya, tiap malam Minggu
pura-pura macak layaknya punya yang. Kalau kamu cowok, pura-pura
pergi dari kost sambil bawa dua helm. Satu dipake, satunya lagi dicantelin di
stang. Kalau ndak ada temannya yang tanya, ya tetap berkata, “Aku pergi dulu
ya, Bro, mau jemput nih….” Sejak pukul 19.00 s/d 22.00, kamu hanya keliling
kota, ke sana-sini, sampai habis bensin separuh tangki, dan ndak pernah ada
yang make helmnya. Sepanjang keliling kota kamu menyaksikan ramainya pasangan
yang beneran yang-yangan dengan hati haru dan bertasbih. *contoh
PoV 2*
Kalau kamu cewek, mungkin aja gayanya begini: mandi, dandan wangi,
lalu keluar kost, bisa sekadar ke warung di gang sebelah, atau main ke kost
temannya yang juga senasib. Sampai malam, lalu pulang, ya tentu, dengan masang
wajah ceria.
Padahal, yang bikin ceria itu ndak pernah ada. Ini benar-benar Saturday
night pra-post power syndrome.
Ndak tahu saya harus berkata apa lagi di bagian ini, selain nyaranin;
ngaji itu lebih berpahala, atau ikut ta’lim-muta’allim. Kalau hal-hal demikian
udah tuntas, baiknya baca puisi ini:
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti malam Minggu dari
kumpulannya yang terbuang
Biar peluru menembus kulitku, aku akan tetap meradang menerjang
sampai Malming datang
Luka dan bisa kubawa berlari berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau yang-yangan seribu tahun lagi
Hiikss…
Jogja, 10 Januari 2014
Tag :
Yang Serba Nakal
1 Komentar untuk "SATURDAY NIGHT POST POWER SYNDROME"
puisinya 'mak jleb', pak :D