“Alhamdulillah, anakku yang kesekian lahir dengan selamat. Syukran,
ya Rabbi.” Begitu tulisan seorang abi di akun facebook-nya.
Lalu ada yang komen, “Anak keberapa?”
Si abi tak membalasnya, sebab ia lupa dan ndak sempat untuk menghitung
itu anak keberapa, gara-gara dua anaknya yang masih kucrit kayak Upin
Ipin menjerit berbarengan gara-gara terjatuh dari jendela lantai dua.
****
Pernah lihat seorang umi
dengan anak-anak kecil keleleran di keramaian? Teng tletek begitu sebab
si umi kerepotan ngurus anak-anaknya yang berderet bagai huruf vokal A I U E O.
Sebab umi kewalahan, belum lagi perutnya sedang melentung,
maka si kakak yang baru umur 7 tahun harus rela ngopeni adik-adiknya
yang umuran 6,5 tahun, juga yang umur 4,5 tahun, lalu yang umur 3 tahun, lalu
yang umur 1,5 tahun. Ingusnya meler ke mana-mana. Baju? Weladalah,
ya ndak usah tanya, dijamin teng blarat ra keruan. Aromanya serba
pecel, bonus cuka Belanda. Belum lagi ada yang guling-guling di lantai stasiun minta
dibeliin chiki, yang ndak kunjung dibeliin.
Saya gemas betul sama si abi tipe beginian. Buat saya, abi beginian
adalah abi yang gagal memaintain fungsi utama tit*t untuk pipis. Kalau
pipis di toilet ya ndak bakal menyusahkan begitu. Tapi, yaealah, Abi, Abi,
anak itu amanah Gusti Allah, sedang tit*t itu karepmu.
“Banyak anak banyak rezeki.”
“Rezeki anak dijamin oleh Allah.”
“Janganlah kau membunuh anak-anakmu karena takut kelaparan.”
Iya, iya, itu benar, tapi benarnya ndak sesederhana gitu juga kale.
Benarnya kaidah atau bahkan dalil begituan ada prsyaratnya, ada sunnatullah-nya,
ada hukum alamnya.
Ya ndak tumon kejadian to, Bi, dengan meyakini kaidah
begituan bulat-bulat, lantas begitu lahiran, tiba-tiba malaikat berduyun-duyun
ngasih pampers, susu, bubur bayi, jamu lahiran, sambil menyematkan pangkat Super
Abi di pundakmu. Lalu, umur sekian tahun, malaikat-malaikat datang lagi membawa
anak-anak ke sekolah PAUD, seragam, buku-buku, sampai kuliah tuntas.
Ya, ndak begitu to cara memaknai hakikat “rezeki anak dijamin
oleh Allah”. Kalau prasyaratnya ndak dipenuhi, ndak bakal itu kejadian.
Lha akibat nelan kaidah begituan dengan
bumbu, “Umi, Abi sayang umi, mari bunuh setan-setan di malam Jum’at ini,” lalu
diler begitu saja “pipisnya”, ya sudah, morning bin meteng lagi.
Lahir lagi, lagi, dan lagi.
Kalau sekadar bikin anak, ya ndak perlu jadi abi pun semua lelaki juga
bisa. Maksud saya, ndak usah disebut abi. Bisa kanda, papa, ayah, atau bahkan
jambret. Tapi kan ya mestinya ada pembeda tegas antara seorang bapak yang tegak
memikirkan masa depan anak dengan yang sekadar njengatan bikin anak.
Ya betul sih bahwa anak akan tetap makan juga. Ya boleh pula sih lantas
hal itu disebut sebagai “jaminan rezeki dari Allah pada setiap makhluk
ciptaan-Nya”.
Tapi kan kita manusia. Bukan cindil, pedet, gudel,
apalagi meri. Anak-anak manusia yang ndak cukup “rezekinya” hanya dengan
makan. Anak-anak manusia butuh benar jaminan kesehatan, sekolah, kasih sayang,
kesempatan bermain di usianya, bergaul, dan sebagainya. Semua rezeki itu
harusnya dipenuhi oleh orang tua kepada anak-anaknya. Biar ada bedanya antara
bapaknya meri sama bapaknya wong.
Kalau anak-anaknya kok dideret bagai bilangan tak terhingga begitu,
sehebat-hebatnya seorang abi, tetap saja bakal kedodoran untuk memenuhi
kompleksitas rezeki anak itu. Makan sih bolehlah tetap makan. Tapi kasih
sayang? Kesempatan main anak? Kesehatannya? Sekolahnya?
Makanya to, Bi, Bi, mbok ya punya tit*t itu ditoto. Dimaintain.
Noto tit*t ya bukan hanya diolahragain atau di-mohawk, tapi lebih
penting lagi “dikendaliin” produksi anaknya. Hari gini ya canggihlah perangkat
untuk mengendalikan itu tanpa mengurangi intensitas olahraganya to.
Dan, ingat lho, Bi, memaintain tit*t itu harus dimulai dari noto
mindset. Lha, jangan salah, Bi! Mindset bukan hanya soal otak
lho, tapi juga soal tit*t.
Kalau tit*tmu ndak dibekali mindset bahwa Allah ndak pernah nurunin
pampers dan susu di atas sajadahmu, sebab urusan pampers dan susu sangat ndak
penting untuk diurus oleh-Nya, pastilah anak-anakmu akan keleleran begitu. Tapi
kalau mindset tit*tmu diberi pengertian bahwa hidup ini bekerja dalam hukum
sunnatullah, termasuk urusan pampers dan susu itu, niscaya ia akan lebih
alim. Jadi, jelas to sampai di sini, Bi, betapa pentingnya mindset
tit*t agar ia jadi sosok yang alim.
Sumpah sangat ndak keren lho bila anak nomer 4 yang umuran 4,5 tahun
tiba-tiba hilang digondol pemulung karena dikira barang ndak bertuan yang keleleran
di jalanan, lalu si abi ngelus rambut umi sambil berkata, “Sudahlah, Umi,
pasrahkan pada Allah. Tawakkal ya. Umi pasti bisa, abi saja bisa kok. Lagian,
kita masih punya 8 anak lainnya dan kita pun masih bisa bikin 8 lagi kan.”
Umi menatap wajah abi yang tersenyum. Umi tak bersuara sepatah pun,
sebab ia sudah hapal, bila abi mengelus rambutnya begitu, itu adalah alarm
paling serius bahwa abi lagi kejer kebelet pipis lagi.
Kalau cuma untuk pipis, JOMBLO JUGA BISA KELEEEE!!! *eh, salah fokus*
Jogja, 8 Januari 2014
Tag :
Yang Serba Nakal
6 Komentar untuk "“BANYAK ANAK BANYAK REZEKI”, IYA REZEKI MBAHMU!"
Saya setuju Mas, selama ini kalau saya melihat tipikal abi seperti itu ya mikir, dia apa nggak kasihan sama istrinya disuruh ngasuh anak sebanyak itu tanpa bntuan pembantu lagi.
semoga blog ini bisa membuka pikiran para abi dan calon abi di luar sana yang menelan bulat2 fatwa banyak anak banyak rejeki.
yang penting abinya ndak jajan hahahah
Haaaa...jajan chiki
Amiinnnn mase
Ilmu baru kie mbiah...
1. Maintain anu
2. Pipis pinuk
Haha untung anakku ngundange ora abi, :D