Tanggal 24 Desember 2014, pukul
13.30 waktu Bangkok (tak ada selisih waktu antara Jakarta dan Bangkok), kami
mendarat mulus di Svarnabhumi airport. Dari Jakarta, flight hanya
butuh waktu tiga jam. Rasanya belum marem bayar tiket Garuda yang dibeli
dadakan saat high session, ehhh….tahu-tahu sudah sampai aja!
Kurang tuwuk! #plakkk.
Ke Bangkok, sama kayak ke
negara-negara tetangga lainnya, nggak perlu visa. Terbang aja! Asal bawa passport,
duit, dan tiket PP, serta booking hotel sih. Tidak saya rekomendasikan
untuk asal terbang, tanpa bekal itu semua. #yaiyalah, muhun!
Traveling akhir tahun 2014 ke
Thailand kali ini memang kurang direncanakan sih. Nama Bangkok muncul begitu
saja saat anak-anak jelang liburan bertanya, “Mau ke mana kita, Yah?”
“Maliboro!” kataku.
“Huahhh….” Mereka menangis.
“Amplaz!”
“Huahhh…huaahh….” Tangis mereka
kian pecah.
“Waterboom Balong!”
Mereka ndelosor,
bergeleparan di halaman rumah.
“Gembira Loka!”
Mereka hampir pingsan. Muncullah
lalu nama Bangkok. Saya langsung kebayang wajah wanita-wanita putih cantik
dengan suara blek pecah. Baiklah, bagian ini memang lebay.
Singkat cerita, dapatlah saya 4 seat
Garuda PP Jogja – Jakarta – Bangkok. Mehong! Tambah dikit lagi, bisa
nyampe Turki lagi. Air Asia pun yang punya rute ke Bangkok selisih nggak
seberapa (FYI, saya sering pula naik Aisr Asia). Ya, ya, kesalahan terbesar
saya kali ini ialah tidak merencanakan jauh-jauh hari sehingga bisa pesan tiket
dan voucher hotel murah. Tapi nggak apa-apalah, demi anak dan istri. Sungguh
betapa saya adalah ayah yang subhanallah, bukan? #heerrrrr…..
Saya dapat hotel Novotel Siam
Square via Agoda. Sering memang saya beli via Agoda. Kredibel! #Agoda harusnya
bayar saya nih di sini. Dan, lagi-lagi, mahal! Mahalnya ya itu tadi, sebab
mendadak di high session. Setara aja sama tarif hotel Mandarin Orchard
yang notabene teronggok di jantung Orchard Road yang harganya kampret
itu!
Well, saya kagak demen traveling pakai paket
tour. Saya nyusun sendiri jadwal destinasi yang diinginkan via taushiyah
Ustadz Google, milah dan milih, lalu dicatat dalam planning harian.
Cukup?
Nggak!
Saya perlu transport dong
untuk membawa kami dari airport dan seterusnya. Singkat kata, saya
kenalan sama seorang driver asli Bangkok via online, saya telepon
dia, lalu make a deal. Maka, saat kami melenggang keluar bandara, Mr.
Dranai (driver) telah menunggu kami di gate 3. “Welcome to my
land, Brother,” katanya. Mobilnya Innova. Persis sama Innova di negeri
kita. Hari pertama, lantaran capek sebab kami keluar rumah dari pukul 04.30
WIB, langsung check in hotel dan tidur.
Mr. Dranai ramah banget. Asli,
suer! Meski komunikasi kami pakai bahasa Inggris yang saya dengar suka
campur-aduk sama bahasa Thailand, itu tak mengurangi kehangatan kami. Saya
beberapa kali memeluknya dari belakang. Hangat sekali, bukan? Halah! Dia
jugalah yang menyarankan saya menggabungkan beberapa destinasi yang searah,
agar efektif.
Oh ya, di pesawat sesaat akan landing,
kita akan dikasih selembar kartu imigrasi. Isi saja sesuai poin-poin yang ada.
Ada dua sisi memanjang. Satu sisi untuk arrival, satu lainnya untuk departure.
Saat imigrasi, bagian departure akan dikembalikan ke kita setelah
distempel oleh petugas imigrasi, dan jangan pernah dihilangkan kertas ini. Saat
akan balik, kertas departure ini akan diminta oleh petugas imigrasi.
Suasana lalu lintas Bangkok se-akhi-ukhti
dengan Jakarta. Ya, di bawahnya dikit. Jika kemacetan Jakarta katakanlah
seorang gadis penggalau macam Ve, Ayun, Tiwi, dan Aya, bolehlah Bangkok disebut
seorang gadis rada galau kambuhan macam Nisa dan Vivi. Gitu. Ya, 11 – 12
sajalah crowdednya.
FYI, menurut kesan saya sih ya,
bila kalian termasuk orang yang hapal banget lika-liku mall di kota besar macam
Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, doyan belanja-belanja gitu, semua mall di
Bangkok is too ordinary. Biasa saja. Yang disebut MBK, Platinum, dan
mall di seberangnya (ah, saya lupa namanya sebab pakai nama aneh gitu),
tidaklah lebih bertenaga dibanding Tanah Abang, misal. Mall di Bangkok yang
menurut saya “berkelas” ya hanya Siam Mall yang terdiri dari tiga tower: Siam
Centre, Siam Discovery, dan Siam Paragon. Di Siam Discovery ini, terdapat museum
lilin Madame Tussaud. Kalau Ocean World, ada di Siam Paragon. Bersebelahan aja,
tinggal jalan kaki.
FYI lagi, sebaiknya beli tiket online
untuk Madame Tussaud dan Ocean World ya. Lebih murah dibanding beli di counternya.
Bila kalian pernah ke Madame Tussaud Singapura, maka Madame Tussaud Bangkok
levelnya berada di bawahnya. Tentang Ocean World, ehhmmm…menurut saya sih kalah
telak dibanding Sea World Dufan. Jadi, lokasi Madame Tussaud dan Ocean World
Bangkok berada di dalam mall!
Urusan makan di Bangkok, harganya
lebih murahlah dibanding food court di mall-mall kita. Berempat, kami
palingan habis 150.000-200.000. sekali makan. Ya, soal harga makanan dan
belanja di sini, memang masih lebih mahal di negeri sendiri. 1 Bath setara
dengan 400 Rupiah.
Besoknya, kami meluncur ke Grand
Palace. Tiketnya 500 Bath/orang. Begitu memasuki kompleks Grand Palace, saya
terperangah! Amazing! Ini kuil memang sangat menakjubkan. Suer! Kelilinglah
ke sekujur tubuh Grand Palace yang berwarna emas ini, suasana Budhisme sangat kentara.
Kental sekali. Luar biasa, Bro!
Lalu, saya lanjut jalan kaki ke Reclining
Budha (Budha Baringan/Tidur). Besar
banget! Tiket masuknya 200 Bath. Ada suara kemerincing yang membuat saya
bertanya-tanya dalam hati sejak pertama kali masuk. Gemerincing yang konstan.
Belakangan, saya tahu saat akan menuju exit, suara itu dihasilkan oleh
aktivitas para pengunjung yang memasukkan koin-koin sedekah ke wadah-wadah
logam yang berderet banyak sekali. Persis orang main dakon.
Dari lokasi ini, jalan kaki
menyeberang jalan, lalu naik boat dengan tarif 3 Bath. Nyeberang hanya
dalam waktu 5 menit. Di lokasi ini, kita akan menyaksikan kuil atau candi yang
tua sekali, dengan undakan-undakan yang maha terjal. Borobudur masih kalah
terjal.
Di lokasi ini, banyak orang jualan
souvenir murah-murah, yang sebagian besarnya menerima pembayaran dalam bentuk
rupiah.
Besoknya, kami break.
Pengin jalan-jalan sendiri dengan santai di sekitaran Siam Square yang memang
menjadi pusat keramaian Bangkok. Kami masuk ke Madame Tussaud dan Ocean World.
Besoknya, kami pergi jauh ke Pattaya.
Kami tidak pergi ke beach memang, yang menurut saya tak lebih eksotis
dibanding Kuta. Kami memilih masuk ke kebun binatang (yaah, maklum saya bawa
anak-anak), yang menyediakan adegan sirkus buaya, gajah, dan singa. Saat lihat sirkus buaya, saya tiba-tiba teringat kalian, gara-gara ada seorang wanita yang
manis kok intim sama buaya. Padahal, di negeri ini, banyak sekali kawan saya
yang membutuhkan wanita sepertinya. Tapi, percayalah, jomblo adalah yang-yangan
yang tertunda. Haaaa….
Lalu melaju ke Mini Siam. Oh, no!
Tempat ini nggak banget, Bro! Ada nyaris semua ikon negara se dunia; mulai
Menara Eiffel, kincir angin, patung Liberty, dll. Tapi, nggak bangetlah! Saya
cuma 10 menit di sini, lalu cabut ke Floating Market.
Nah!
Ini dia tempat yang sangat
eksotik! Kami naik perahu panjang banget, berempat, dinahkodai orang lokal.
Melewati jembatan, deretan pertokoan, kuliner, dan lalu-lalang turis yang
berserakan. Dalam hati, saya membayangkan bagai orang Vetkong dalam perang
Vietnam. Kerenlah ini.
Usai nyampan, kami naik ke
geladak-geladak untuk makan. Sayang, makanan-makanan di sini memang nggak enak.
Saya pesan makanan sejenis bakso, dan begitu nyampe di lidah, rasanya kayak
berkuah spirtus!
Dan, masih di Floating Market,
saat hendak ke toilet, saya menemukan panorama yang detail sekali “menafsirkan”
posisi toilet lelaki dan wanita. Begitu detail, sampai membuat saya terharu.
Maaf, saya memang mudah terharu.
Ya, ya, saya memang belum banyak
eksplor Thailand. Tapi, saya merasa bahwa di Thailand nggak terlalu banyak spot
yang eksotik, kecuali beberapa titik tadi. Kalau Anda suka dunia malam,
datanglah ke Pattaya. Selebihnya, biasa saja. But, bagi traveler,
kepuasan mata yang menuntut eksotisme bukanlah segalanya, sebab di balik setiap
perjalanan, selalu ada catatan kehidupan.
Mr. Dranai, seorang Budhis,
memberikan saya banyak catatan itu; keramahan, kesederhanaan, tanggungjawab,
dan kesetiaan. Pukul 03.30 dini hari, beliau sudah siap di lobby hotel,
untuk mengantar kami ke airport.
Sepanjang jalan ke bandara yang
berjarak tempuh nyaris satu jam, dia banyak mengucapkan terima kasih. Ia juga
mengatakan, “Anda punya uang, bisa keliling ke mana-mana begini, ketemu saya,
menyaksikan banyak hal. Anda beruntung. Saya percaya orang yang banyak melihat
kehidupan pasti akan lebih damai hidupnya. Anda muslim, saya Budhis, tetapi
kita sesaudara, right?”
Saya mengangguk, haru, teringat
keriuhan anak-anak muda di negeri sendiri yang setiap tahun selalu
hujat-menghujat tentang halal-haram mengucapkan selamat Natal. Sebuah penyakit
jiwa tahunan, penyakit kemanusiaan, atas nama akidah dan iman, yang dibabat
habis oleh seorang Budhis bernama Mr. Dranai yang “hanya” seorang driver
di Bangkok.
Setiba di bandara, setelah
menurunkan koper-koper, Mr. Dranai menjabat tangan kami, lalu menekuk kepala
dengan kedua tangan tertekuk di depan dadanya, dan berkata, “Have safe
flight, Brother.”
“God bless us, Mr. Dranai,”
sahut saya.(Ini nomer handphone Mr. Dranai +66875643554).
Keharuan merebaki dada saya. Saya
berdiri sampai dia masuk ke mobilnya, lalu menghilang di tikungan depan, di
antara pendaran lampu bandara yang kekuningan.
Orang sebaik dia, bagaimana
mungkin tega dikatain “hidup sesat”, lantaran sekadar berbeda cara hidup dengan
saya, yang itu pasti memiliki latar yang sangat complicated, sebagaimana
latar saya yang juga complicated?
Ah, kau hanya perlu jalan-jalan, Kawan,
sejauh mungkin dari cangkangmu yang berwarna tunggal itu, agar kau mengerti
bahwa hidup ini tak mungkin sanggup dikalkulasi hanya dengan rumus tunggal: 1 +
1 = 2.
Tag :
Traveling
5 Komentar untuk "AKHIR TAHUN 2014 DI BANGKOK (Wisata dan Pelajaran Kehidupannya)"
ya, kalau apa-apa selalu selalu dipandang dengan hitam-putih, itu pertanda cara pandangnya terlalu dikuasai oleh sudut kamar. artinya, dia memang butuh piknik. saya suka bagian Anda menjelaskan keramahan Mr.Dranai. saya kira, bagian ini menjadi hal yang paling penting dari catatan di atas sebab soal lokasi dan lainnya, mungkin kita bisa jalan sendiri atau cukup baca-baca saja. tapi, interaksi dengan 'orang' dan 'budaya' itulah yang banyak memberikan pelajaran.
Akan tetapi, dari semua bagian, tetap bagian ini yang paling kurang ajar :D :D :D
"Saat lihat sirkus buaya, saya tiba-tiba teringat kalian, gara-gara ada seorang wanita yang manis kok intim sama buaya. Padahal, di negeri ini, banyak sekali kawan saya yang membutuhkan wanita sepertinya. Tapi, percayalah, jomblo adalah yang-yangan yang tertunda"
Haaaa.. .barakakumullah
kereeennn....
Jadi pengen hihihi
hihi...ceritanya seruuuuu dan kocak...
Tulisan yang bagus. Terima kasih atas sharing-nya. terima kasih juga atas pemberian no telp Mr Dranai. Saya sekeluarga berencana ke Bangkok dalam waktu dekat dan membutuhkan driver seperti dia.