Judul buku : Cerita buat Para Kekasih (Antologi
Cerita Pendek)
Penulis : Agus Noor
Penerbit : Gramedia, Jakarta
Cetakan 1 : November, 2014
Tebal buku : x + 277 halaman
ISBN : 978-602-03-0898-2
Kau tahu sendiri bukan, di dunia
ini, banyak persoalan cepat beres dengan kecantikan.
(Agus Noor)
Bila Anda pernah membaca Nietzsche, filsuf
Jerman yang kumisnya selebat akar-akar gantung beringin itu, pastilah Anda tak
asing dengan istilah “Nihilisme”. Nietzsche dengan sangat gencar mendorong
manusia untuk “membebaskan diri” dari segala ikatan nilai (kultur, sosial,
politik, bahkan agama) sebagai satu-satunya jalan untuk menjadi “Manusia Super”.
Proses “membebaskan diri” nilah yang disebut Nihilisme atau Nihilisasi.
Tentu, tulisan ini tidak berhasrat untuk
mengajak Anda mendiskusikan Nihilisme Nietzsche. Tulisan ini hanya ingin
membedah kumpulan cerpen terbaru Agus Noor, salah satu avant-garde
cerpenis Indonesia kontemporer, yang begitu intens mengusung aksi “pembebasan
nilai” (Nihilisasi) ala Nietzsche dalam setiap kisahnya.
Estetika
Sarkastik dan “Pesan Moral” yang Nihilistik
Buku ini memuat 31 cerpen, yang sebagian di
antaranya dikemas dalam bentuk cerita mini (cermin). Sebagian cerpen ini
pernah dimuat di media massa. Satu hal yang bisa ditarik sebagai “benang merah”
buku ini ialah betapa senangnya Agus mengangkat tema-tema “urban atas” (metropolis)
dalam cerpen-cerpennya. Dan, cukup jauh berbeda dengan trend mayoritas
penulis sastra koran yang doyan berpihak pada masalah-masalah urban kelas
wong cilik, Agus memilih masalah-masalah urban kelas wong gede;
dunia malam, kafe, lipstick, kuteks, bir, resto, orang kaya, dan sejenisnya.
Benang merah tematik ini terlihat begitu terang
dalam semua cerpen Agus. Lihat misalnya cerpen Seorang Wanita & Jus
Mangga, Kunang-kunang di Langit Jakarta, hingga Perempuan Berkuteks
Merah.
Ia tinggal di apartemen dengan anjing kecil
berbulu putih. Anjing itu langsung menyalak ketika melihatku.
“Pasti cemburu,” katanya mengusap kepala anjing
itu. “Ini anjing jantan. Pejantan selalu cemburu pada pejantan!” (hlm. 5).
Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan
kenangan.
Padahal ia berharap menghabiskan liburan musim
panas di Pulau Galapagos –meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau
itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama
George. Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. (hlm. 113).
Setiap melihat perempuan berkuteks merah, aku
selalu teringat padanya. Ia tak hanya cantik dan pintar, tapi juga rajin
berdoa. Kupikir itu bukan perpaduan sempurna. (hlm. 236).
Pilihan tematik ini memang bukanlah mainstream
Agus belaka, sebab belakangan memang cukup banyak cerpenis (terutama berusia muda)
yang demen mengangkat tema-tema “urban atas”. Namun, Agus punya kekuatan
tersendiri yang membedakannya dari cerpenis-cerpenis penyuka dunia urban
lainnya, bahkan di hadapan cerpenis sekaliber Seno Gumira Ajidarma dan AS
Laksana, misal.
Bila Seno mengangkat tema “urban atas” hanya
sesekali, itu pun dengan gaya estetik yang tidak sesarkas Agus, baik secara
deskripsi setting maupun pesan moralnya (lihatlah misal cerpennya yang
berjudul Sebuah Pertanyaan untuk Cinta dan Bibir yang Merah, Basah,
dan Setengah Terbuka…), dan AS Laksana “mendekat” pada gaya estetik-naratif-eksistensialis
ala Gabriel Garcia Marquez, Agus mengangkat tema “urban atas” dengan sangat
intensif dan mengobrak-abriknya dengan gaya estetika “sarkatik” dan “pesan
moral” yang Nihilistik. Jadi, dapat dikatakan bahwa Agus telah memiliki
“strategi literer” yang khas, intens, dan kuat, yang tentunya tidak terjadi
secara kebetulan.
Saya kenal Agus secara pribadi di tahun
1997-2000 kala dia masih tinggal di Jogja, saat kami (dan beberapa kawan lain
seperti Raudal Tanjung Banua dan Satmoko Budi Santoso, misal) “berarisan”
mengisi kolom-kolom cerpen koran. Gaya estetika sarkastik Agus memang sudah
terlihat kuat dari masa itu, meskipun ia cenderung ke ranah surrealisme.
Seiring dengan hijrahnya ke Jakarta, tentu kemudian bergumul dengan realitas
urban kelas atas Jakarta, gaya surrealismenya mengendur, digantikan oleh gaya
realistik Nihilistik yang sarkastik.
Apa yang saya sebut Nihilistik dalam
cerpen-cerpen Agus ini laksana “pesan moral” yang menegasi mainstream
moralitas kita. Tanpa canggung, Agus melesatkan berbagai narasi dan dialog yang
mungkin bagi sebagian pembaca “penjaga moral” sanggup membuatnya mengerutkan
kening atau mendengus, “Iiisshhhh…!” Apa yang kita sebut sebagai
“moralitas”, Agus mendobraknya dengan ringan begitu saja. Bahkan, di beberapa
bagian, ia terlihat seperti sedang “mengolok-olok” Sesuatu yang Maha Sakral
(dari tata nilai hingga Tuhan). Misal:
Tapi, entah kenapa, aku selalu merasa ada yang
salah, setiap melihat perempuan cantik berdoa. Tuhan menciptakan perempuan
cantik, agar Ia bisa sedikit bersantai. Pasti Tuhan begitu repot mesti
mendengarkan begitu banyak doa setiap harinya. Maka, Tuhan memberi kecantikan
pada seorang perempuan, agar dengan kecantikan itu bisa menyelesaikan sendiri
persoalannya. Kau tahu sendiri bukan, di dunia ini, banyak persoalan cepat
beres dengan kecantikan. Kalau kau cantik dan berbuat salah, kau tak perlu
berdoa meminta maaf pada Tuhan. Orang akan dengan senang hati memaafkan
kesalahanmu. (hlm. 236).
“Orang bijak mengatakan: mendidik anjing lebih
mudah daripada mendidik laki-laki,” katanya. “Dan saya percaya. Andai laki-laki
bisa dididik patuh seperti anjing….” Ia melirik ke arahku. (hlm. 5).
Dalam gelap dilihatnya telepon genggam itu
berkedip-kedip, seperti isyarat yang tak ia pahami maknanya.
Barangkali, Tuhan mencoba meneleponnya. (hlm.
263).
Begitulah “pesan moral” Nihilistik ala Agus. Tanpa
bermaksud berpihak, saya terkesan dengan Nihilisasi “vulgar” ini, sebab ia
bukan hanya membuka mata kita tentang betapa luasnya perspektif moralitas,
tetapi sekaligus menelanjangi diri tentang betapa menduanya kita dalam memaknai
moralitas hidup ini. Buat saya, kelugasan Agus “mengolok-olok” puja-puji mainstream
adalah buah dari kecerdasan filosofisnya, yang pastilah bersumber dari bacaan,
pergaulan, dan sekaligus pengalaman yang intensif.
Di sisi lain, Agus sangat ahli menusuk-nusuk
imajinasi pembaca sedemikian tak terduganya, sehingga Anda harus selalu siap
untuk dikejut-kejutkan oleh setiap kalimat dan paragraf ceritanya. Serba tak
terduga! Suspense dan twist bertebaran di awal, tengah, maupun
akhir cerita. Maka saat Anda membaca cerpen-cerpen Agus, seperti juga membaca
cerpen-cerpen Seno, jangan berhenti di tengah cerita dengan berusaha menebak ending-nya
bakal begini atau begitu, sebab pastilah Anda akan tertipu. Agus selalu sukses
membuat pembacanya terperangah. Dan, mengutip Andina Dwifatma (2014) saat
mengomentari cerpen-cerpen Seno, “kekuatan kepenulisan fragmentaris, yang
membuat cerpen-cerpennya selalu meninggalkan kesan mendalam”, begitu
pulalah level bercerita cerpen-cerpen Agus.
Jika saya diminta untuk memberikan tanda
bintang pada buku ini, tanpa ragu saya akan menyematkan lima bintang. Good
job, Gus, teruslah berkarya, saya salah satu penggemarmu!
Tag :
Artikel,
KampusFiksi
1 Komentar untuk "“NIHILISME” DAN CERITA-CERITA URBAN YANG SARKASTIK Oleh Edi AH Iyubenu"
keren resensinya, mas. goodjob. bintang lima untuk resensi ini.