Tak banyak memang anak-anak muda yang ingin belajar agama Islam
berkesempatan nyantri di pesantren beneran kayak Habib Rusydi, Ahmad
Muchlis Amrin, dan Abdul Hamid. Solusinya, di era gadget ini, berguru
Islam pada seleb-seleb sosmed dianggap sebagai pilihan paling efektif.
Nggak perlu tatap muka, nunduk, nyemak, apalagi dicambuk lidi, sudah
dapat ilmu Islam yang subhanallah. Sambil ongkang kaki, boker, ngedate,
nongkrong pun, udah dapat ilmu Islam. Udah jadi “santri” (wan/wati). Enak banget to?
Saya nggak ingin kejebak dalam valuasi “itu nggak memadai” sih,
tetapi saya lebih berminat untuk
menunjukkan bahwa “santri sosmed” itu akan menjadi kopian sempurna kiai/ustadz
sosmednya. Plek! Tanpa kritisi, tanpa mikir bahkan (otaknya disimpan
saja dulu), serba berwatak “pokoknya begitu katanya”. Begitulah ciri khas
para santri sosmed.
Mudah dibayangkan lantas, bila kiai/ustadz sosmednya bilang “Nikah
kok takut miskin, itu generasi pathetic namanya, udah nikah aja, bismillah,
tawakkal sama rejeki Allah….”, maka “fatwa” itu sontak menjiwainya sebagai
“inilah Islam”. Plek, sepenuhnya! Lalu di-share ke sosmednya
dengan berduyun-duyun, tentu dengan caption “amin” atau “subhanallah”.
Saat lalu ia nikah beneran dengan semata bekal fatwa itu, lalu ia kere beneran,
melarat beneran, nestapa beneran, nggak enak beneran hidupnya, aihh…si
kiai/ustadz ya tetap kaya raya dong.
Berguru Islam pada sosmed negatifnya memang demikian, apalagi di
tangan anak-anak muda yang nggak punya bekal ilmu agama yang memadai dulu. Jika
kiai/ustadz sosmed yang dipujanya berkata B atau C, ya begitu pulalah watak
Islamnya. Ia akan benar-benar menjadi sosok muslim(ah) yang melihat Islam
dengan kacamata kuda. Tahunya ke depannnnn mulu yang ada pemandangannya,
padahal di kanan, kiri, belakang, atas, dll., juga ramai pemandangan lho.
Karena Islam dan hidup ini hanya dipandang dengan kacamata kuda demikian, ya
pemandangan di depan itulah yang selalu disebutnya “benar”. Aih, benar
ternyata kata Muhammad Abduh ya, sang reformis fenomenal itu, “Islam itu satu
hal dan muslim itu satu hal lainnya.”
Di pertengahan Desember 2014 ini, sebagai contoh, saya dikritik bagai
perang Suriah oleh banyak akun sosmed gara-gara buku saya yang mengkritisi “fatwa”
seorang ustadz seleb tentang Hukum Pacaran dalam Islam. Mereka menuding
saya JIL (Jaringan Islam Liberal), merusak akidah, meracuni masa depan generasi
Islam. Pada suatu malam, saya ngakak sampai kejer dan kejang saat menemukan
sebuah serangan heroik yang mengulas nama sosmed saya, Edi Akhiles.
Begini kritiknya, “Dari namanya, penulis buku JIL ini adalah
pengikut filsuf Barat bernama Achiless, tetapi sengaja namanya disamarkan
menjadi kearab-araban biar terkesan Islami, menjadi Akhi-les.”
Kata “Akhi” yang bermakna “saudara laki-laki” dalam bahasa
Arab, bagaimana silsilahnya dikaitkan dengan Akhiles, ya? Dan, siapakah itu filsuf
Barat bernama Achiless, ya?
Sampai sekarang, saya gagal menemukan jawabannya di kamus Al-Munawwir
dan juga di buku Betrand Russell hingga Frans Magnis Suseno. Mungkin, akhirnya
saya berpikir begini saja, ia hanya sedang begitu bersemangat untuk ikutan nge-share
kritik itu demi “kesucian Islam”, lantaran pandangan saya agak berbeda dengan
guru sosmednya, dan sekaligus ia sangat ingin meyakinkan sanak kerabatnya sesarang
sesama santri sosmed, dengan mengarang sebuah cerpen sastra bahwa Achiless
adalah filsuf Barat yang sezaman dengan Michel Foucault dan “Akhiles” adalah
penodaan serius terhadap kesucian kata “Akhi” bahasa Arab itu.
Alhamdulillah sih, nama sosmed saya
nggak sampai dikaitkan dengan merek sebuah ban, Achiless. Oh ya, kapan para
santri (wan/wati) sosmed ini mau imtihan, ya?
Jogja, 31 Desember 2014
2 Komentar untuk "SANTRI (WAN/WATI) ALUMNI PESANTREN SOSMED"
kematian sanad.
Soal Akhiles, Akhi+less, itu memang lagi trend utak-atik-gatuk, mungkin
Daftar jadi ustadz di PP. At-Twitter ah, kalau gak gitu ya di PP. Al-Faizbuq aja.. Hehe..
@alfarafa