Seperti kebanyakan orang, saya mungkin bukanlah traveler sejati.
Sesuka apa pun saya traveling, tentu saya tak akan seleluasa orang-orang lain
yang belum punya bini dan anak untuk melenggang kangkung. Ya, anggap saja saya
tak ingin membuat anak-anak dan mamanya marah, emm…lebih tepatnya sih agar
mereka tidak jauh dari saya gara-gara saya traveling sesukanya.
Saya pun lebih suka traveling bareng anak-anak dan mamanya, meski
tidak selalu juga sih. You know why? Satu, saya selalu berusaha
menjaga kehangatan rumah seisinya dengan pergi bersama-sama, dan dua,
saya ingin memupuk kedekatan sama anak-anak utamanya agar kelak ketika mereka
sudah memiliki kekasih, kami bisa makan malam bersama tanpa canggung. Untuk
apa? Satu aja tujuannya, untuk menitip anak-anak saya pada kekasihnya kelak
bahwa saya teramat mencintai mereka dan tidak berharap hal tidak baik terjadi
pada mereka. Dan saya percaya kedekatan hati adalah caranya, bukan intimidasi!
Pergi bersama-sama adalah salah satu caranya.
Oke, sekian curcol tentang kesukaan saya traveling bareng keluarga.
Kali ini, karena saya tak ingin berlama-lama di jalanan, terutama menghindari
macet liburan panjang, saya memilih traveling ke Pacitan. Seperti biasa, saya
meminta istri untuk googling. “Yang lengkap ya, mulai dari rutenya
sampai gambaran lokasinya…”
Ia kemudian terlihat sibuk googling. Kami lantas sepakat akan
berangkat pagi pukul 06.00, dengan asumsi kami akan tiba dalam rentang 4 jam ke
Pacitan, seperti yang diinfokan beberapa link. Kenyataannya, kami baru
berangkat pukul 08.15, disebabkan tiba-tiba paginya anak saya, dek Diva,
terkena gondukan, kelenjar leher bengkak. Kata orang Madura, babagus.
Katanya nyeri. Ya iyalah nyeri, dek, gumam saya sambil memenuhi pinta mamanya
untuk berobat dulu ke sebuah UGD. Saya ngekek dalam hati, baru kali ini
ada babagus dibawa ke UGD. Kalau di kampung dulu, cukup dikasih ludah
basi (alias bau) bangun tidur atau asam dicampur minyak kelapa. Saya sempat
guyon ke dek Diva, “Dek, butuh donor ludah basi ayah?” Dia teriak, “Emoh!
Njijiki Ayah iki…”
Kami pun melintas Jalan Wonosari, lalu masuk kota Wonosari, dan
mulai kebingungan. Belum pernah sih ke Pacitan lewat rute Jogja-Pacitan. Eh,
lebih tepatnya, belum pernah ke Pacitan. Lol.
Saya sempat bertanya pada anak-anak kantor yang pernah ke Pacitan.
Katanya tinggal masuk kota Wonosari, terus ikuti plang penunjuk jalan. Oke,
ternyata nggak ada plang bertuliskan Pacitan dengan panahnya!
Tapi saya punya GPS cap mulut yang selalu saya bawa. Ya, bertanya!
Setelah turun dari mobil tiga kali, akhirnya ketemulah saya sama sebuah plang
yang membuat senyum saya menjadi lebih manis: Pacitan.
Jelasnya begini: dari Jogja saya terus meliuki pinggang Gunung
Kidul, sampai kota, terus saja lurus, lalu bertanya. Oke, saya diberi petunjuk
oleh seseorang supaya belok kiri setelah keluar kota Wonosari, mengikuti arah
Pracimantoro, melintasi Museum Karst yang senyap karena terletak di tengah sunyi
yang entah untuk apa diletakkan di situ. Setiba di pasar Pracimantoro akan
ketemu perempatan, saya lurus terus memasuki Girintoro. Terus saja lurus ikuti
jalan satu-satunya yang tak gede, karena kalau papasan dengan mobil lain ya
harus ngerem nyaris berhenti salah-satunya.
Jalannya berkelok. Overall, baguslah jalannya, beraspal,
kecuali beberapa bagian memang kurang bagus di wilayah Girintoro. Meliuk-liuk
bak ular super panjang. Sekitar setengah jam.
Saya saranin jangan pakai mobil sejenis sedan atau MPV berbadan
bongsor macam Alphard. Ideal adalah mobil sejenis SUV macam CRV, Pajero, atau
Fortuner. Juga tentu tak lupa MPV sejuta umat, Xenia atau Avanza. Risiko pakai
sedan rentan bleduk-bleduk bannya di jalan-jalan yang berlubang. Jika
apes, apalagi kau merasa lebih pintar dari insinyur Jepang dengan mengganti ban
mobilmu dengan ban tipis ceper, bisa pecah ban! Risiko bawa mobil segede
Alphard, apalagi truk, jika papasan di tikungan-tikungan yang tak ada bahu jalan
untuk buang ban, karena di kanan kiri adalah tebing dan jurang, sungguh bakal merepotkan.
Mata saya kian berbinar setelah melihat gapura Selamat Datang di
Bumi Kelahiran Presiden SBY. Wah ini, baru Pacitan! Sampai di sini, jalanan
sudah sangat lebar, mulus bingit. Tapi saya juga tidak nyaranin kau
ganti mobil selepas gapura Pacitan ini ya. Pakailah mobil sebelumnya saja, yang
dibawa dari Jogja. Lol.
Jalanan meliuk-liuk naik-turun panjang khas kontur kota pegunungan.
Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada plang Gua Tabuhan di kanan jalan. Saya
langsung masuk ke jalan sempit itu, dan tak lama ketemulah sebuah lokasi wisata
pertama itu. Pukul 10.30. Wah, ternyata saya berhasil menempuh Jogja-Pacitan
hanya dalam tempo 2,5 jam. Keren ya saya mengemudi….lol.
Saya parkir seorang diri alias tak ada mobil lainnya lagi. Jepret
sana-sini. Lalu mulai naik ke areal gua. Seorang lelaki setengah baya menyambut
saya dengan tangan memegang sapu lidi. Dia memperkenalkan diri sebagai kuncen
gua Tabuhan. Dia juga bercerita bahwa di dalamnya ada petilasan Sentot
Alisjahbana, bukan Sutan Takdir Alisjahbana, murid Pangeran Diponegoro. Dan,
tentu, dia juga menawarkan jasa mengantar masuk dengan tiga buah senter. Kami
pun masuk. Ada beberapa lampu listrik di dalamnya. Memang tak terang, dan
memang membutuhkan senter lagi.
Lelaki yang mengenalkan diri sebagai Susilo yang masih keturunan Mbah
Joyo, begitu katanya, terus bercerita tentang seluk-beluk gua ini. Saya tak
begitu mendengarkannya, lantaran imajinasi saya berkelebatan ke: “Bagaimana
cara orang hidup di dalam gua begini? Dengan oksigen minim yang bikin pengap?
Juga menghadapi binatang buas?” Saya lihat ada beberapa kotoran kelelawar di
beberapa titik. Sayang, ada aja tangan nakal mencorat-coret tubuh gua ini.
Gua ini dinamakan gua Tabuhan karena ada beberapa batu yang jika
dipukul akan menimbulkan bunyi serupa gamelan. Pak Susilo lalu berkisah bahwa
ada hal mistis di sini, meski saya lebih yakin bahwa bunyi-bunyian serupa
gamelan itu adalah konsekuensi logis dari dengung dan usia batu stalaktit yang
ditabuh saja, plus begitu dekatnya suara gamelan dengan kehidupan masyarakat
setempat. Saya berduga andai gua Tabuhan ini ada di Amerika, lalu ditabuh,
mungkin orang setempat akan mengatakan bahwa bunyinya menyerupai suara bass
drum. Jika gua Tabuhan ini ada di Jeddah, Arab Suadi, lalu ditabuh, mungkin
sekali akan disebut mirip suara gendang hadrah kali ya. Lol.
Tak lama kami di sini. Lalu setelah tanya-tanya, tinggal lurus aja
menuju gua Gong. Nah ini ikon Pacitan!
Sekitar setengah jam, kami sampai di parkiran gua Gong. Lalu jalan
kaki naik, cukup menanjak, cukup menyita derum napas. Di sini saya menemukan keunikan:
semua kios souvenir dan makanan ditulis dalam plang seragam, dengan awalan “Bu”.
Namanya pun unik-unik. Mulai dari Bu Muskilah (yang saya curiga ini typo
dari Muslikah, diftong Jawa untuk Muslihah, kebaikan, karena Muskilah
dalam bahasa Arab artinya masalah) lol. Tak ketinggalan dong ada Bu
Juminem, Tumiyem, Sarinem, dan seabrek nem lainnya. Yang penganut postmo
dengan anti-mainstreamnya, ada satu yang bernama Erix. O ya, ada satu nama
lelaki, Pak Jono. Saya membatin, apakah semua “Bu” tadi adalah istri poligami
Pak Jono? Lol.
Kami pun masuk ke mulut gua, didampingi seorang ibu guide
kagetan. Gua Gong memang jauh lebih eksotis dibanding gua Tabuhan. Jauh lebih
luas, unik, benar-benar keajaiban bawah tanah. Sudah ada beberapa lampu sorot
dan blower juga. Tapi tetap dibutuhkan bantuan senter. Jalan di dalamnya
juga sudah dibuat undakan beton sejak tahun 1996, plus pagar stainless.
Jalanannya curam naik turun, tentu menguras napas. Tetapi semua lelah
muter-muter di dalam gua tertebus oleh juntaian ribuan stalaktik, juga batu
marmer dan kristal yang sungguh luar biasa. Semoga tak ada tangan brengsek yang
melukai keindahan gua ini. Sebelum mati, saya saranin kalian harus menyaksikan
keajaiban ciptaan Tuhan yang satu ini.
Sekadar mengantur napas lagi, kami duduk-duduk di luar mulut gua
kemudian. Saya tertegun menguping obrolan seorang bapak pengunjung usia 65-an dengan
ibu guide tadi, yang meminta untuk mengambilkannya 4 botol air di dalam
gua. Katanya, ada air keberkahan, kemuliaan, bla-bla-bla. Mitos! Sepanjang
jalan turun dari gua, saya berpikir begini: “Jika beneran air sendang dalam gua
Gong itu memberkahi, memuliakan, tentu ibu guide tadi tak perlu bekerja
lelah begitu lagi, bukan? Tinggal minum air sendang itu, atau cuci muka, atau
dioleskan ke perut, maka kenyanglah…” Ada-ada aja mitos ini. Dan yang lebih
ada-ada lagi adalah ada-ada aja orang yang mempercayainya. O ya, di sini, di
kios Bu Muskilah ada sederet gorengan yang maknyus, panas, dan kriuk!
Kami lanjut ke pantai Klayar, yang berjarak sekitar 13 KM dari gua
Gong. Tinggal lurus aja, ikut satu-satunya jalan yang menyempit. Wowww,
ini baru traveling!
Bukan hanya menawarkan kelokan naik-turun bejibun, Ciiinnn,
tapi juga sempitnya jalan, terjal, campur tanah di beberapa titik. Berkali-kali
saya tak bisa melihat jalan di depan saya apakah belok kanan atau kiri lantaran
tertutup kap mobil yang terdongak saking menanjaknya. Bayangkan! Seolah tak
lagi ada dunia di depan saya. Akhirat aja di depan! Lol. Dan kau harus rela
nurunin sebelah ban mobilmu jika berpapasan bahkan dengan motor. Bonus, bodyroll
dan gruduk-gruduk ban beradu dengan kerikil-kerikil.
Sekali lagi, mobil jenis SUV adalah pilihan terbaik untuk melintasi
jalanan ini. Pastikan mobilmu prima, tentu juga sopirnya. Tak lama, kami pun
sampai di sebuah jalan menurun setelah loket retribusi yang membayar tuntas
semua perjuangan kami. Keren! Seolah sedang berada di potongan surga lho. Kami
jepret-jepret dulu, lalu segera turun ke pantai.
Amazing! Tsakep! Ombaknya gede,
pantainya juga curam, dengan pasir yang bersih. Uniknya lagi, di antara
gulungan ombak besar itu, saya berkali-kali menyaksikan ikan-ikan sedang
atraksi selancar. Meliuk-liuk mengikuti gerakan ombak. Keren! Saya bayangin
akan lebih keren lagi jika kau berada di pantai ini saat sunset atau sunrise.
Bersama kekasih tentu lebih at heart, jangan sendirian ya…lol.
Cukup lama kami di sini, saking keasyikannya. Lalu kembali pulang.
Baru saja keluar dari Klayar, hujan deras mengguyur. Dalam hati, saya
deg-degan. Saya hanya khawatir dua hal: ada longsor dari tebing karst yang
bertebaran atau ban mobil saya selip gara-gara jalanan licin tertumpahi
tanah-tanah yang masuk aspal. Saya tidak mengisahkan rasa deg-degan ini pada
istri. Karena saya mencintainya, saya tak ingin membuatnya cemas dengan hal-hal
demikian. Prett! Syukurlah, semua lancar, sampai kami tiba di hotel
Srikandi di Jalan A. Yani yang telah kami pesan.
Saya tidur dulu setelah shalat. Bangun tidur ternyata masih hujan. Lalu
kami keluar untuk cari makan. Senyap. Sunyi, setangkup Pacitan kepucatan benar.
Seolah bukan sebuah kota. Ya, mungkin saya salah, tapi kesan saya tentang kota
Pacitan adalah kota ini sangat sunyi. Tapi saya berhasil menemukan Indomart dan
Alfamart di sini. Lol.
Besoknya saya melek pagi demi menikmati bentangan sawah luas di
depan hotel yang berlatar tubuh bukit-bukit melintang. Keren. Udara segar,
dingin, perawan. Seperawan kopi saya yang aduhai.
Sesuai rencana, kami lanjut ke Arjosari, pemandian air hangat.
Sekitar setengah jam dari kota, dalam kecepatan agak ngawur, dengan jalan
berkelok. Terkesan jalannya menyulitkan. Sampai di lokasi, kami bengong. Ini
tak adil, gumam saya, jalan jauh berliku sulit begitu ternyata hanya begini
tampangnya. Tapi saya tak mau jadi pengeluh, yuk nyemplung saja. Kami pun
mandi. Waah, ini bukan air hangat, tapi panas! Apalagi di kolam terbesar itu,
sangat panas. Saya guyon pada mamanya anak-anak, “Setelah mentas, ini
tinggal dibumbui dan digoreng ya.…”
Tak lama kami di sini karena beberapa sebab. Kecewa sama keadaannya
yang ala kadarnya, kolam renang yang kotor penuh kletuk seperti daki
keramik kolam, dan….yang super naudzubuillah ialah jejak arkeologis b*ker
yang sial banget kami jumpai di toilet, plus seseorang di pojok sana yang
tengah nyemplungin kakinya ke air panas dan asyik membersihkan kurap sambil mendendangkan
lagu Nirvana: “My girl, my girl, don’t lie to me tell me where did you sleep
last night….” Saya tidak mau ketawa di bagian ini! Suer!
Kecewa kami terbayar saat kami tiba di pantai Teleng Ria. Dekat dari
kota, juga dekat dengan rumah SBY. Nggak ada hubungan kok ini. Nggak nyambung
ya. Lol. Ini pantai memang tak seindah Klayar, tapi fasilitasnya sangat
lengkap. Begitu melihat ada bungalow di dekat pantai begini, saya tiba-tiba
menyesal kenapa semalam tidak menginap di sini saja. Tarifnya Rp.
500.000/malam, fasilitas lengkap. Apalagi katanya jika malam hari banyak ikan
yang bisa langsung dibakar juga. Dan juga diperbolehkan mandi di laut sini. Sial!
Sekadar mengurangi sial, kami memesan beberapa minuman dan makanan
dari bungalow itu. Menikmatinya di gazebo tepi pantai. Waw, asyiklah! Suatu hari
saya pengin kembali ke sini, bermalam, dan menuliskan berlembar-lembar cerita tentang
cintaku padamu yang bakal sanggup membuat iri ombak pada pasir di gazebo tepi
pantai ini.
Hari kedua ini kami langsung memutuskan pulang. Jalanan sepi benar.
Di daerah Girintoro yang berhutan-hutan, kami berhenti untuk foto-foto dulu.
Ah, udah kayak halaman rumah saya sendiri aja saking sepinya.
Tapi pulangnya harus saya tempuh lebih lama dari berangkatnya lho.
Kok bisa? Iya, kami tersesat! Lol. Saya baru curiga tersesat setelah ketemu
sebuah wilayah bernama Eromoko, Wonogiri, yang tak kami lintasi saat berangkat.
Namanya keren ya, Eromoko, serasa berada di wilayah Kyoto.
Saya turun dari mobil dan bertanya pada seorang ibu guru yang akan
pulang dari sekolahnya.
“Bu, maaf nanya, ke Wonosari itu jalannya mana ya?”
Ia melirik plat mobil saya, dan mulai pasang muka curiga. “Mau ke
Jogja?”
Saya mengangguk.
“Lha, Mas nyasar. Balik arah ya, sampai pasar Pracimantoro,
lalu belok kanan, atau tanya lagi di sana….”
“Itu kan jauh sekali, Bu?” Daripada kelihatan begonya, saya mulai mengelakarinya.
“Lha iya, memang….”
“Kenapa saya sampai nyasar sejauh ini sih, Bu?”
Ia ketawa. “Lha tanya sama Mas sendiri itu.”
“Eh, kamu,” kata saya pada mobil. “Kenapa kamu menyasarkan saya
sejauh ini?”
Ibu itu terkikik benar.
“Bu, satu lagi ya, apa Ibu tahu sejarah kenapa wilayah ini dinamain
Eromoko?”
Ia terbahak, menggeleng, tanpa suara jawaban.
Saya segera berkata lagi.“Dulu, Bu, ya dulu sekali di zaman Mbah
Rono, ada seorang Jepang jalan-jalan ke sini. Namanya Eroshima. Dia ketemu seorang
warga lokal bernama Moko. Saking baiknya hubungan mereka, lalu digabungin jadi
Eromoko….”
Ia kembali ngikik sambil menjawil bahu saya. Saya tahu, Bu, kau pengin
mengambil saya menantu, bukan? Maaf, Bu, saya pamit dulu ya, sebab di mobil
sudah menunggu dua anak saya dan mamanya yang pasti tak suka mendengar
keinginan ibu. Lol.
Jogja, 7 Januari 2014
Tag :
Yang Serba Nakal
6 Komentar untuk "KISAH SETANGKUP PACITAN (Catatan Traveling ala Seorang Saya)"
Komen saya pak!
Kayaknya perjalanannya dramatis banget, pak!
Apa kabar klayar sekarang, ya? Tambah ramai pasti. Dulu saya ke klayar tahun 2011. Masih sepi kayak pantai milik pribadi, kamar mandinya cuma satu, g ada yang jual makanan. Tp seru abis. Yang g terlupakan itu sembunyi di bawah batu biar g kehujanan, trus berusaha manjat ke atas ke tempat seruling laut, licin dan ngeri abis. Tapi perjuangannya bikin puas karena indah banget. Kayaknya Pak Edi nggak ke Pantai Buyutan dan Pantai Karang bolong, ya? Katanya bagus pak. Kemarin saya hampir kesana, sih. tapi voting mengatakan ke Dieng., jadi batal.
Kmrin nggak sempat ke buyutan n karang bolong. Dieng ya? Kami sdh kesana. Asyiklah jalan2 bnyk ceritanya
Yang saya tahu tentang Pacitan itu adalah daerah yang tandus. Info itu pun hanya bersumber kabar yang saya baca. Setelah itu, saya tahu bahwa nama Tremas, tempat ulama Nusantara yang kesohor hingga ke Hijaz tersebut, yakni Syaikh Mahfudh At-Tarmusi, ternyata mengacu pada sebuah tempat yang berada di wilayah administratif Pacitan. Ketiga, saya mulai menikmati bentang alam Klayar dari teman-teman setelah teknologi kamera digital dan jejaring sosial membantu penyebarannya. Yang keempat, ya, saya tahu dari posting ini.
Begitulah.
cerita jalan-jalannya meriah dan menarik, jadi pengin ke Pacitan juga nih ama pakne dan anak-anak :)
Faizi: mariii ngopiiii
Uniek: iya sekeluarga asyik bnget, jgn traveling sendirian :))
Akkkkkkk...
tempatnya keren... kelihatan masih asri banget... jadi pengen ke sana...