17 Pebruari 2014.
Salah satu list perjalanan kami selama di Istanbul ialah menyeberang ke Bursa. Bursa
adalah nama sebuah pulau tersendiri di wilayah Istanbul,
yang pernah menjadi ibukota pertama, dan tentu saja di sana banyak peninggalan berharga dari
kekhalifahan Turki Ustmani. Ntar saya tulis sendiri tentang Bursa, termasuk tentang seorang SPG yang
ternyata nggak ngerti makna “one more
please…”
Ketika bus
yang saya tumpangi mulai memasuki kapal feri (kapalnya persis feri yang dipakai
di selat Madura), ada satu pemandangan yang membuat saya takjub: begitu
berjubelnya burung camar!
Iya, burung
camar yang kini di kita hanya ada di lagu Iwan Fals itu, berseliweran terbang
rendah di atas feri. Banyak banget. Mungkin jumlahnya ribuan. Sebagiannya, nongkrong
woles di atas feri, mulai dari ujung
depan, di atas bentangan kabel, di atas besi melintang, dll. Dan semua kapal
feri yang ada di dermaga ini juga memiliki panorama yang sama dengan aktivitas
burung-burung camar itu.
Burung-burung
camar itu sama sekali tidak takut pada orang. Bahkan, bersahabat. Ada tips yang
diberitahukan oleh Mr. Murad untuk kian mendekatkan diri dengan burung-burung
camar itu, yakni melempar potongan roti ke udara.
Setelah saya
keluar dari toilet (yahh, emang kalau bab toilet di sini pas-pasanlah
keadaannya), saya langsung naik ke dek atas dan melihat banyak orang tengah
dikerumuni oleh burung-burung camar yang melintas di sekitar kepala mereka.
Rupanya, sebagian mereka sedang melemparkan potongan roti-roti ke udara, lalu
burung-burung camar itu menyambarnya. Suara cericit mereka menambah eksotik
panorama ini.
Saya berbisik
pada kakak yang berdiri di sebelah, “Ini kalau di kampung kita, ya di
Indonesia, pasti udah habis dari lama burung-burung camar ini ya.”
Sejujurnya,
baru kali ini saya mengetahui tampang burung camar itu kayak apa. Badannya agak
besar, bentangan sayapnya lebar, warnanya dominan putih. Setahu saya, cara
bedain burung camar dengan elang laut yang juga banyak berbaur dengan
camar-camar itu ialah dari ukuran tubuhnya. Elang laut memiliki tubuh yang
lebih gede.
Kakak saya
menjawab, “Iya ditangkapin, ditembak atau dijaring.”
“Orang sini
memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya menjaga lingkungan ya. Nggak perlu
lagi ada polisi untuk memastikan itu berjalan.”
“Ini camar
udah jadi bagian dari aset hidup mereka juga sih.”
“Iya, yang
bedain pelabuhan ini dengan pelabuhan lain di negeri kita ya karena camar ini
aja. Lingkungannya bersih, lihat itu air lautnya sangat bening. Semua orang
merasa turut bertanggungjawab untuk memelihara eksosistem camar ini.”
Kapal kian
menjauh dari pelabuhan, dan burung-burung camar itu terus menguntit kapal kami.
Pokoknya, selama masih ada orang yang melempar-lempar roti ke angkasa, maka
camar-camar itu pasti mengikuti. Beberapa camar yang mungkin kelelahan, tampak
mengapung di permukaan laut. Kayak bebek. Seolah kita sedang berlayar bersama
burung-burung camar.
“Malu ya kita
sebenarnya sama orang sini. Penampilan yang ngakunya Islami banget, tapi kita kalah
telak disbanding mereka dalam hal kesadaran menjaga lingkungan,” ujar saya
lebih lanjut.
“Islam
dianggap hanya shalat aja sih,” sahutnya.
“Ya itu
masalahnya….”
Saya terdiam
kemudian, berdiri di tepian pagar kapal, melempar mata ke kejauhan. Kelebat
camar-camar masih cukup banyak berseliweran di sekitar. Saya merenung, kenapa
ya kok keislaman kita begitu cetek
hanya tentang shalat, puasa, haji? Seolah asal itu dilakuin, kita lalu merasa telah
kaffah. Selebihnya, dianggap nggak
penting. Kayak merusak lingkungan, buang sampah ke sungai, main tangkapin
hewan-hewan liar sekenanya, lalu dijual, dianggap penghasilan, lalu duitnya
dimakan, nyatu dengan jiwa. Seolah yang di luar urusan shalat dianggap bukan
bagian dari nilai keislaman!
“Harusnya
muslim yang baik itu bukan hanya yang baik shalatnya, tapi juga yang baik pada
burung-burung ya,” gumam saya kemudian.
Saya cabut
sebatang rokok untuk sekadar mengusir dingin udara lautan ini. Sejenak, menoleh
kesana-kemari. Ada
tulisan dilarang merokok. Lalu saya turun ke dek bawah. Tampak beberapa orang
merokok di sekitar sebuah tong sampah yang berfungsi sebagai tempat puntung
rokok.
Ah, saya
benar-benar malu udah ngeluarin rokok dari dek atas yang dilarang merokok tadi.
Ya, malu sama mereka yang begitu tertib dan disiplin dengan ketentuan apa pun
di sini. Mereka yang perokok rela berdekatan dengan tong sampah agar bisa
merokok tanpa melanggar aturan dan hak orang lain.
Jika mentalnya
udah begitu, kagak akan pernah ada ceritanya seseorang berani merokok tidak pada
tempatnya, bukan? Lebih tepatnya bukan berani ding, tapi malu….
Hemm, saat
dermaga Bursa
sudah di depan mata, saya teringat sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan
Bukhari-Muslim. “Setiap agama memiliki
landasan, dan landasan agama Islam adalah rasa malu.”
Iya, malu di
dada jika melanggar apa pun, bukan kemaluan…
Tag :
Traveling
2 Komentar untuk "BERLAYAR BERSAMA BURUNG-BURUNG CAMAR (OTTOMAN PART 5)"
pantesan di foto ada gambar rokok yang gagal dinyalakan, hihihihi
iyya padahal katanya juga cinta Rasul SAW tapi koq gak nurut sama beliau ya, berarti apa kurang tulus cintanya, kurang ikhlas maksudnya. Lalu orang-orang Indonesia nurut siapa dong? Pemimpin, juga bolak-balik ganti. Jadi ya dimulai dari diri sendiri dan keluarga dulu lah. Tapi, masalahnya, penataan kota di Indonesia juga semrawut, bikin hotel asal komisi oke ya ayo bangun, bikin mall,bikin hypermart, bangunan-bangunan megah yg baru yg supermegah, pada saingan, pastinya juga komisinya saingan juga. Emang Indonesia tercinta kita masih semrawut kali ya, tapi semog, kelak ada generasi-generasi baru yg lebih baik lagi dari generasi swbelumnya shg bisa membangun Indonesia, yg tidak hanya membangun perekonomian tapi akhlak masyarakat juga.