17 Pebruari 2014.
Beberapa hari lamanya,
saya sudah keliling sebagian sudut Istanbul.
Saya terpesona oleh semua keelokan warisan arsitektur Romawi dan Ottoman yang
bertebaran begitu jubelnya. Juga kehidupan mereka yang lekat dengan kebersihan,
kedisiplinan, dan menghargai orang lain.
Satu hal lagi sih
yang membuat saya takjub selama keliling-keliling kemarin: “Maaf ya, kok tidak ada orang jelek sih di sini!”
Ngomongin
tentang jelek versus cantik, ya iyalah itu subyektif dan relatif. Ini jamak
kita jadiin argumen yang (hemmm….)
eufemistik. Satu sisi, itu benar adanya, tapi sisi lain, itu pun statemen yang
subyektif dan karenanya relatif. So, statemen
tersebut sangat rawan dengan kepentingan diri pengucap yang tidak dekat dengan
penilaian cantik lho….pisss…
Karena saya
cowok, wajarlah saya fokus pada kategori cantik, bukan ganteng. Sungguh
memalukan kalau saya harus mengatakan si anu ganteng, karena itu sama halnya
merendahkan martabat diri saya sendiri di satu sisi, dan di sisi lain rentan
bagi saya nantinya terklaim mehong!
Jadi, saya
dibenarkan dalam note ini untuk hanya
bicara tentang jelek versus cantik.
Then, sekalipun saya pun tidak keberatan
menerima statemen bahwa cantik itu subyektif dan relatif, namun sangat penting
pula bagi saya untuk segera menginsafkan kalian bahwa selalu ada “standar
universal” dalam bidang apa pun di kehidupan ini, mulai dari urusan moralitas,
kecerdasan, kecantikan, hingga seksualitas.
Orang yang
nggak bisa menjawab dengan cepat berapa sisa uang 10.000. jika dipakai belanja
sebesar 7.000., “standar universal” akan mengatakan bahwa ia tidak cerdas alias
bodoh!
Orang yang
nggak bisa menahan emosinya di depan publik, lalu marah-marah memaki sesuka
diksi yang melompat dari bibirnya, “standar universal” akan mengatakan bahwa ia
tidak bermoral.
Orang yang
nggak bisa menunjukkan bahwa panjang hidungnya sanggup melebihi panjang
bibirnya, “standar universal” akan mengatakan bahwa ia pesek, dan jelek
karenanya.
Orang yang
nggak bisa mencegah tumpukan daki dari kulitnya, sehingga ia tampak kusam kucel
birut, “standar universal” akan
mengatakan bahwa ia kotor dan buruk karenanya.
So, kesimpulannya, perdebatan tentang
subyektif versus obyektif dalam hal kecantikan sesungguhnya sudah selesai di
tangan “standar universal” tersebut. Weeekk!
Guys, di sini, di sekujur wilayah Istanbul, dari daratan
sampai lautan, amatlah susah untuk menemukan orang jelek. Hidung mereka mancung
semua! Sumpah, semua! Kulit mereka kelihatan cerah semua. Sumpah, semua!
Tak
terelakkan, mau mereka pakai baju sesimpel apa pun, mereka menjadi memikat.
Coba ambil baju yang mereka pakai, lalu kalian pakai deh, hasilnya niscaya
sungguh beda, sungguh masya Allah….
Saya jadi
teringat tweet saya dulu, “Orang
jelek membutuhkan banyak gaya
dan tingkah untuk eksis. Orang cantik tidak memerlukan semua itu karena
otomatis sudah eksis.” Iya lho, orang jelek biasanya lebih banyak belagunya dibanding orang cantik. Ya itu tadi, masalah ngeksis. Lol.
Anak-anak
kecil pun di sini ternyata sudah berani kurang ajar pada orang-orang kita lho.
Benar! Bayangkan, masih kecil aja mereka sudah memiliki hidung yang lebih
mancung dari hidung kita. Apa nggak kurang ajar itu?!
Saya marah
ini! Lol.
Kemana saja
sebenarnya para nenek moyang kita dulu saat digelar pembagian hidung ya? Sampai
nggak kebagian begini, dihabisin sama orang-orang sini jatah hidungnya,
sampai-sampai kita hanya kebagian seumlik
begini.
Seorang dari Istanbul berkata pada saya begini: “Orang Indonesia, saya
tahu, bermasalah dengan hidungnya.” Ia ngakak.
Saya pun
ikutan ngakak, meski nggak tulus banget.
“Tetapi,
ketahuilah, hidung orang Indonesia
yang pendek dan berlubang besar telah sesuai dengan alam tropis yang
membutuhkan sirkulasi udara cepat. Beda dengan orang kami, hidungnya panjang
dan berlubang kecil, yang sesuai dengan kondisi musim-musim di sini. Jadi, tak
ada yang salah sebenarnya dengan hidung kalian….”
Jleb!
Saya, dalam
hati, sangat tak setuju dengan statemennya. Tapi saya memilih diam, daripada
obrolan tentang hidung ini melebar kemana-mana dan lebih melukai perasaan.
Logika saya mengatakan begini: Jika hidung memang ada hubungannya dengan iklim alam,
kenapa banyak orang luar berhidung panjang dan berlubang kecil nggak mengalami
sesak napas saat berada di Indonesia?
Saya kira, dia
takkan bisa menjawabnya.
Tag :
Traveling
11 Komentar untuk "SIAL, TAK ADA ORANG JELEK DI SINI! (OTTOMAN PART 6)"
Hahahahahaaaa.......ngakak pas baca paragraf ini
Kemana saja sebenarnya para nenek moyang kita dulu saat digelar pembagian hidung ya? Sampai nggak kebagian begini, dihabisin sama orang-orang sini jatah hidungnya, sampai-sampai kita hanya kebagian seumlik begini.
hahaha. paragraf yang terakhir kampret banget. istanbul di turki ya?
yang cakep lagi itu, wilayah pakistan dan timur tengah. lahir disitu kayaknya otomatis cakep. ntar istriku, aku suruh ngelahirin di sana aja
pandangan pertama memang memabukkan ya Pak Edi. Pandangan selanjutnya bisa jadi biasa-biasa saja. Khan sampeyan gak mungkin to mau naksir wanita senegara, hehehe. Para pria Turki menurut saya biasa-biasa saja, biasa cakep tapi, ya seperti pemain-pemain bola yg muncul di TV. Wanita memang selalu mempesona ya, makanya auratnya musti ditutupi, ehem.
aseli Envy bingiiiit mau kesanaaaah juga :")
biar dapet pacar yang mancungnya kaya perosotan TK,
semoga bisa kesampean aamiien
Waaa ini so wise haaaa iyaa tentu cuma emosi sesaat
Wahh itu ide tsakepp
Berangkaaatttttt
Heeee sebuah parodi aja itu
Tahun 2005 saya sempat ke Ankara. Dan membatin ”sialan” sama seperti anda ini.
Ha ha ha....
cok guzel
wkwkwk ngakak baca nya, thanks udh share :D
Watch movie HD