16
Pebruari 2014.
Cobalah kau jalan kaki di
trotoar-trotoar pusat kota Jogja, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Kau harus
rela berbagi dengan pedagang kaki lima di atas trotoar yang sempit, dari yang
legal sampai illegal. Sesekali kau harus rela pula untuk turun ke jalanan
aspal, meski berisiko dibentak oleh klakson lalu-lalang kendaraan yang tak
peduli kau telah memberi tanda lewat pada mereka.
Istanbul jauh berbeda dengan semua
kota yang saya sebutkan itu, Guys, dan pula kota-kota lainnya di negeri
kita. Bahkan, ia juga sangat beda dengan kota berasas Islam semacam Mekkah dan
Madinah.
Di sini, kau bisa berleha-leha dengan
jalan kaki untuk menikmati suasana kota, keindahan arsitekturnya, hingga
keramaian orang-orangnya, tanpa kau perlu khawatir berdesakan, apalagi harus
turun ke aspal. Di sini, pedestrian benar-benar diciptakan oleh pemerintah dan
masyarakatnya sebagai surga untuk jalan-jalan pakai kaki. Sebuah budaya yang
mencerminkan kedisiplinan, penghormatan, dan kesadaran diri super tinggi. Tak
perlu ada polisi atau satpol PP di sekitar sini untuk memastikan semua itu
berfungsi sebagaimana mestinya.
Saya lantas mengkhayal, andai saya
menetap di kota ini, setiap sore saya akan ajak orang-orang tercinta untuk
jalan-jalan kaki di trotoar yang lebar, luas, bersih, dan nyaman ini. Lalu saat
cahaya matahari kian keemasan, menandakan senja telah kian matang, saya akan
ajak mereka untuk duduk-duduk di bangku-bangku kayu panjang yang berjejer
begitu banyak dan rapinya di sebuah taman, sambil menikmati kopi dan menatap
kegagahan arsitektur Aya Sofia di sebelah barat dan kesakralan Blue Mosque di
sebelah timur. Jika Maghrib telah menggema dari Blue Mosque, saya akan ajak
mereka untuk menuju ke sana, shalat jamaah di sana. Wow!
Di belakang saya, di tetamanan,
terdengar pekik burung-burung bertubuh cukup besar, yang begitu banyak
bertengger di pepohonan atau hinggap di tanah-tanah, yang setelah saya cermati menyerupai
burung gagak hitam. Sebuah suasana sore yang sempurna!
Di beberapa titik, juga tersedia
pedagang roti khas Turki yang tergolong murah harganya. Dan, jangan salah, juga
ada penjual jagung rebus dengan asap mengepul yang persis dengan jagung rebus
di negeri kita. Mereka semua, para pedagang itu, tidak berhasrat sedikit pun
untuk mengganggu semua pejalan kaki. Mereka rapi di tempatnya.
Istanbul memang jauh lebih maju
dari negeri kita. Saya tak tahu memang jika tolak ukurnya adalah statistik
ekonomi. Tapi jika melihat begitu melimpahnya jalur pedestrian, yang memang
mudah dijumpai di banyak sudut kota, kebersihannya yang terpelihara, hingga
fasilitas-fasilitas yang memanjakan siapa pun pejalan kaki, Istanbul jelas jauh
lebih maju dari kita. Lebih memanusiakan manusia dari negeri kita!
Sambil berdiri di dekat sebuah
taman yang ber-background Blue Mosque, saya menatap orang-orang yang
berlalu-lalang di sekitar saya. Juga saya tebarkan mata ke sana-sini, begitu
leluasanya. Saya merenung, mereka semua yang berlintasan itu bertampang bule,
berpostur Eropa. Jika selama ini sebagian besar kita berpikir bahwa orang Eropa
bukanlah negeri muslim, lantas mengapa sih mereka jauh lebih menghargai orang
lain dalam kehidupan kesehariannya? Mengapa pula mereka jauh lebih mampu
memelihara kebersihan lingkungan ya?
No, tentu bukan maksud saya untuk mendikotomi
muslim non muslim. Tidak, Guys! Itu jelas pola pikir yang kadaluarsa. Di
sini, di senja begini, saya hanya iri sekali pada mereka yang perilakunya jelas
lebih berteladan dibanding kita yang bahkan kemana-mana membawa simbol Islam
dan rajin memekikkan takbir segala. *yawn.
Hemmm, nggak kurangan kan sebenarnya
ajaran Islam tentang ta’awun atau mu’amalah bagi umat Islam yang
telah diwariskan Rasulullah di al-Qur’an atau haditsnya. Tapi semua itu tetap
saja tinggal teks kenangan belaka. Setidaknya, di negeri kita yang mayoritas
muslim.
Saat saya menatap jalan raya di
seberang sana, berkali-kali saya menyaksikan mobil-mobil berhenti tanpa diminta
begitu ada orang yang akan menyeberang. Iya, berhentinya udah dari jarak 5
meteran lebih. Bukan kok berhenti mendadak di dekat tubuh pejalan kaki, untuk
kemudian mengklakson dengan keras, lalu melongokkan kepala dari kaca jendela
mobil demi meludahkan caci-maki.
Tidak, di Istanbul tidak ada
seperti itu. Itu mah di kota-kota kita. Mungkin, telah menjadi semacam
aib bagi semua pengemudi di sini jika sampai tidak memberikan jalan menyeberang
bagi setiap pejalan kaki. Malu! Merasa malu diri adalah orang yang tak
bermoral, tak berkemanusiaan, tak terdidik, jika sampai tidak mengerem dengan
aman demi memberikan kenyamanan para pejalan kaki yang menyeberang.
Kapan di kita akan begitu juga ya?
Pun tak kurangan petunjuk syari’ah
tentang betapa utamanya thaharah (kebersihan, diri dan lingkungan).
Bahkan, thaharah selalu dijadikan bab pertama dalam semua mazhab fiqh
kan? Shalatmu takkan dianggap benar jika wudhu’mu nggak benar. Iya kan?
Tapi, kenapa sih ya kok di negeri
kita begitu sulitnya untuk memelihara kebersihan lingkungan? Seolah ibadah dianggap
satu hal khusus, dan kebersihan (bersuci) merupakan hal lainnya yang nggak ada
hubungannya dengan kualitas ibadah. Ah, sedih….
Saya yakin, siapa pun yang pernah
menginjakkan kakinya di tanah Istanbul, yang berasal dari negeri-negeri yang kere
pedestrian yang nyaman, pasti akan terpesona begitu luar biasanya pada
kenyataan ini. Orang sini, jika ditilik dengan prinsip thaharah tersebut,
jelas jauh lebih Islami kehidupannya dibanding negeri-negeri Islam sekalipun!
Tak ada orang yang menganggu saya
sedikit pun meski saya begitu berlama-lama sekadar mondar-mandir di areal
pedestrian yang sangat luas, indah, bersih, dan nyaman ini.
Kapan ya Jogja memiliki pedestrian
begini? Iya, pedestrian yang menghormati orang lain.
Tag :
Traveling
6 Komentar untuk "PEDESTRIAN: SURGA JALAN KAKI (Ottoman Part 3)"
Huft... Aku gagal menemukan sisi romantismenya sama Tuan Putri... :)
Pun saya, ikut bertanya: Kapan ya surga jalan kaki ini ada di kota-kota di Indonesia? :)
Mereka mungkin beranggapan bahwa orang yang berjalan kaki itu lebih tua umurnya daripada naik kendaraan bermotor. Maka, pedestrian harus lebih diistimewakan daripada pada jalan raya karena pedestrian lebih senior daripada jalan beraspal :-)
Saya mau jadi penjual jagung deh disana.
Masuk akal ini ra
Kacang rebus Turkiye blm ada kim